BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman
Yunani istilah konstitusi telah dikenal
namun konstitusi itu masih diartikan secara materiil karena belum tertuang
dalam naskah tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pandangan Aristoteles yang
membedakan arti politea dan nomoi.[1] Dalam
kebudayaan Yunani terkenal pula sebuah pandangan yang berbunyi “Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica
Suprema Lex”, yang berarti rajalah yang berhak menentukan
organisasi/struktur negara, oleh karena, ia adalah satu-satunya pembuat
undang-undang. Namun dalam era kekinian istilah konstitusi lebih dikenal dengan
kata constitution (Inggris) yang
berarti membentuk, constitutie (Belanda)
yang berarti menyusun, constituer
(Prancis) yang berarti membentuk.[2] Secara
etimologis antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme”
mempunyai makna yang sama, namun penggunaan maupun penerapannya berbeda.
Dalam
beberapa pandangan konstitusi disamakan dengan Undang-Undang Dasar yang menjadi
landasan suatu negara. Pandangan seperti ini dapat dilihat keliru karena
khilafan menyamaratakan Undang-Undang Dasar dengan konstitusi. Konstitusi tidak
hanya sebatas Undang-Undang Dasar yang begitu sempit dan juga tidak bersifat
yuridis semata melainkan terdapat pula sifat sosiologis dan politis. Hal ini
dikarenakan paham kodifikasi yang menghendaki seluruh aturan agar tertuang
dalam sebuah naskah. Maka akan terlihat dengan jelas bahwa konstitusi tidak
hanya sebatas Undang-Undang Dasar jika merujuk pada pandangan Hermann Heller[3] yang
membagi konstitusi ke dalam tiga tahapan yakni sebagai berikut:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan
politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische verfassung als geselschaftiche Rechtsverfassung) dan
ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum dan masih merupakan pengertian
sosiologis atau politis.
2.
Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang
hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai satu kesatuan kaidah hukum,
maka konstitusi itu disebut Rechtverfassung.
3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam
suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu
negara.
Sedangkan apa
yang diartikan K.C. Wheare tentang konstitusi ialah sebagai
resultante atau kesepakatan politik
lembaga yang berhak menetapkannya sesuai dengan situasi poleksusbud[4].
Sedangkan menurut E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional
Law, Undang-Undang Dasar adalah
naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan-badan
tersebut.[5]
Jimly Asshiddiqie pun menegaskan bahwa konstitusi adalah hukum dasar yang
dijadikan pegangan dalam penyelenggaran suatu negara. Konstitusi dapat berupa
hukum dasar tertulis yang lazim disebut undang-undang dasar, dan dapat pula
tidak tertulis.[6]
Dalam beberapa pandangan terdapat perbedaan
dalam mengartikan konstitusi, namun pada dasarnya konstitusi tidak seharusnya
diartikan secara sempit yang hanya tertuang dalam sebuah naskah tertulis
sehingga pemahaman kodifikasi mengekang “pola pikir” konstitusi yang begitu
luas.
Penyamaan pengertian konstitusi dan
Undang-Undang Dasar telah dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan
Undang-Undang Dasar sebagai Instrument of
Government, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar dibuat sebagai pegangan untuk
memerintah suatu Negara.[7]
Namun terlepas dari pada itu semua,
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa Indonesia
adalah Negara hukum, seperti yang tertuang dalam perubahan ke tiga UUD 1945
pasal 1 ayat (3). Oleh karenanya
dibutuhkan suatu landasan hukum yang fundamental. Konstitusi dalam hal ini
peraturan dasar dianggap penting bagi suatu Negara sebab terdapat materi-materi
muatan asas-asas pokok yang tertulis yang menjadi landasan norma. Dengan ini
pula, fokus kajian adalah materi-materi muatan yang terkandung dalam konstitusi
sebagai peraturan dasar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja materi
muatan yang dimuat dalam konstitusi Indonesia?
2. Mengapa materi
tersebut perlu dimuat dalam konstitusi Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Materi Pokok Yang Termuat Dalam Konstitusi
Hakikat
keberadaan konstitusi dalam suatu negara menurut pendapat Jimly Asshiddiqie dan
hasil kajian Komisi Konstitusi bahwa konstitusi berfungsi sebagai[8]:
1.
Dokumen nasional yang
mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan-kesepakatan tentang politik,
hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi tujuan Negara;
2.
Merupakan sumber hukum Negara;
3.
Identitas nasional dan
lambang persatuan;
4.
Pelindung HAM dan
kebebasan warga Negara;
5.
Pengatur hubungan
kekuasaan antar organ Negara;
6.
Pengatur hubungan
kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara;
7.
Pemberi atau sumber
legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan
Negara;
8.
Penyalur atau pengalih
kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah
rakyat) kepada organ Negara;
9.
Pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan
identitas dan keagungan kebangsaan (identity
of nation), serta sebagai center of
ceremony;
10. Pengendalian
masyarakat (social control), baik
dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup
bidang sosial dan ekonomi;
11. Sarana
perekayasa dan pembaruan masyarakat (social
engineering atau social reform).
Suatu
konstitusi atau Undang-Undang Dasar pada dasarnya hanya memuat aturan-aturan
pokok, baik berupa prinsip-prinsip hukum maupun berupa norma-norma hukum.
Menurut
Miriam Budiardjo berpendapat bahwa setiap undang-undang dasar memuat
ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut[9]:
1. Organisasi
Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Dalam Negara federal pembagian kekuasaan antara pemerintah federal
dan pemerintah Negara-negara bagian, prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran
yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;
2. Hak
Asasi Manusia
3. Prosedur
mengubah undang-undang dasar
4. Adakalanya
memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar.
Menurut Hans Kelsen menyatakan bahwa materi pokok
undang-undang dasar atau konstitusi, meliputi[10]:
1. Preamble;
2. Determination of the
contens of the future statue;
3. Determination of the
administrarives and judicial function;
4. The “unconstitutional
law”
5. Constitutional
prohibitions
6. Bill of Right
7. Guarantee of the
Constitutions
J.G. Steenbeek mengemukakan bahwa pada umumnya undang-undang
dasar atau konstitusi memuat tiga materi pokok, yaitu[11]:
1. Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga Negara
2. Ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamnetal.
3. Adanya
pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental
Untuk menguraikan materi pokok yang diatur oleh konstitusi, kami
akan menguraikan berdasarkan pendapat J.G
Steenbeek karena cukup komprehensif untuk menjelaskan materi muatan yang
terdapat dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu:
1.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara
Pasal-pasal yang mengatur adanya jaminan
terhadap Hak Asasi Manusia terdapat pada: Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 A –
Pasal 28 J, Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 34 ayat
(1).
2. Ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
Di dalam UUD 1945
susunan ketatanegaraan yang fundamental terdiri dari 8 kelembagaan, yaitu:
a. Majelis
Permusyawaratan Rakyat, diatur di dalam Pasal 2;
b. Dewan
Perwakilan Rakyat, diatur di dalam Pasal 19, Pasal 20A ayat (2) – ayat (4), dan
Pasal 22B;
c. Dewan
Perwakilan Daerah, diatur di dalam Pasal 22C dan Pasal 22D ayat (5)
d. Presiden
dan Wakil Presiden, diatur di dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, Pasal 6A dan
Pasal 7; dalam kelembagaan ini termasuk juga lembaga Kementerian yang
keberadaaannya diatur di dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (4);
e. Badan
Pemeriksa Keuangan, diatur di dalam Pasal 23E ayat (1) Pasal 23F dan Pasal 23G;
f. Mahkamah Agung, diatur di dalam Pasal 24 ayat
(2) Pasal 24A ayat (2) – ayat (5);
g. Mahkamah
Konstitusi, diatur di dalam Pasal 24C ayat (3) – ayat (6);
h. Komisi
Yudisial, diatur di dalam Pasal 24 B ayat (2) – ayat (4).\
3. Adanya
pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental
Pengaturan mengenai
pembatasan dan pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam susunan
ketatanegaraan yang terdapat dalam UUD 1945:
a. Majelis
Permusyawaratan Rakyat, diatur Pasal 3, Pasal 7A, Pasal 7B ayat (6) dan ayat
(7), Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3);
b. Dewan
Perwakilan Rakyat, diatur dalam Pasal 7B ayat (1) – ayat (3), Pasal 11 ayat
(2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal
23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3), Pasal
24B ayat (3), Pasal 24C ayat (3)
c. Dewan
Perwakilan Daerah, diatur dalam Pasal 22D ayat (1) – ayat (3), Pasal 23 ayat
(2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F
d. Presiden,
diatur dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7C,
Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (2), Pasal 20 ayat (2) dan ayat
(4), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat
(3), Pasal 24C ayat (3). Sedangkan kewenangan menteri diatur di dalam Pasal 17
ayat (3)
e. Badan
Pemeriksa Keuangan, diatur dalam Pasal 23 E ayat (1) dan ayat (2)
f. Mahkamah Agung, diatur dalam Pasal 14 ayat
(1), Pasal 24A ayat (1)
g. Mahkamah
Konstitusi, diatur dalam Pasal 7B ayat (4) dan ayat (5), Pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2)
h. Komisi
Yudisial, diatur dalam Pasal 24B ayat (1)
Selain memuat tiga materi pokok diatas, UUD 1945 juga mengatur
hal-hal lainnya, yaitu:
1.
Pembukaan
2.
Sistem Pemerintahan,
ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
3.
Sumpah jabatan Presiden
dan Wakil Presiden, ketentuan ini diatur dalam Pasal 9
4.
Pemerintahan Daerah,
ketentuan ini diatur dalam Pasal 9
5.
Pemilihan Umum, ketentuan
ini diatur dalam Pasal 22E
6.
Sistem Peradilan,
ketentuan ini diatur dalam Pasal 24 ayat (1)
7.
Wilayah Negara,
ketentuan ini diatur dalam Pasal 25A
8.
Kewarganegaraan dan Kependudukan, ketentuan
ini diatur dalam Pasal 26
9.
Agama, ketentuan ini
diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
10. Pertahanan
dan Keamanan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2)
11. Perekonomian
dan Kesejahteraan Sosial, ketentuan ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) – ayat
(5)
12. Pendidikan
dan Kebudayaan, ketentuan tentang Pendidikan diatur dalam pasal 31 ayat (2) –
ayat (5). Ketentuan tentang Kebudayaan diatur dalam Pasal 32
13. Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, ketentuan tentang Bendera
diatur dalam Pasal 35. Ketentuan tentang Bahasa diatur dalam Pasal 36.
Ketentuan tentang Lambang Negara diatur dalam Pasal 36A.Ketentuan tentang lagu
kebangsaan diatur dalam Pasal 36B. Ketentuan lebih lanjut tentang Bendera,
Bahasa, dan Lamabang Negara serta Lagu Kebangsaan diatur dalam Pasal 36 C
14. Perubahan
UUD, ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) – ayat (4)
15. Aturan
Peralihan dan Aturan Tambahan. Aturan peralihan terdiri dari 3 (tiga) pasal,
sedangkan aturan tambahan terdiri dari 2 pasal
B. Perlunya Materi Muatan tersebut diatur dalam
Konstitusi
Apabila
masing-masing materi muatan tersebut kita kaji bersama, maka kita akan
menemukan perlunya materi
muatan tersebut dimuat dalam konstitusi, di bawah ini dijelaskan mengapa materi
muatan tersebut perlu di muat dalam konstitusi;
1. Pengaturan
Bentuk Negara
Pengaturan
bentuk Negara perlu diatur dalam konstitusi yaitu untuk memperjelas bagaimana
bekerjanya Negara, tata hukum dan pengaturan kekuasaan Negara. Dilihat dari bentuknya Negara Indonesia
adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik sesuai dengan yang diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, penerapannya adalah tidak ada Negara dalam Negara maksudnya
adalah Indonesia tidak terdiri dari Negara-negara bagian melainkan Indonesia
terbagi atas daerah-daerah provinsi. Penegasan pernyataan bentuk Negara Indonesia
diatur pula dalam pasal 18 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan
daerah-daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan
undang-undang.
2.
Pengaturan pengakuan
dan perlindungan HAM
Kepentingan
paling mendasar dari setiap warga Negara adalah perlindungan terhadap
hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap
orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[12]Artinya,
yang dimaksud sebagai HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia.[13]
Oleh
karena itu, materi pengaturan mengenai pengakuan dan perlindungan HAM dipandang
perlu untuk diatur dalam konstitusi karena mengenai pengakuan dan perlindungan
HAM merupakan hal dasar yang harus ada dalam konstitusi (tata hukum), agar
mempunyai legitimasi yang kuat sehingga dalam penerapan perlindungan terhadap
HAM mempunyai dasar hukum yang kuat.
Pasal-pasal
tentang hak asasi manusia itu sendiri, terutama yang termuat dalam Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami
konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis, ketiga
instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu kontinum[14].
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak
asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistim hukum dan konstitusi
Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional dan deklarasi
universal tentang Hak Asasi Manusia serta berbagai instrumen hukum
internasional lainnya[15]. Hal tersebut sesuai dengan Ketetapan MPR
No. XVII/MPR/1998 di dalam konsideren “Menimbang” menyatakan bahwa bangsa
Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia
yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen Internasional lainnya mengenai hak asasi
manusia.[16] Oleh
karena HAM itu perlu diatur dikarenakan mengikuti konvensi HAM international
yang juga disepakati oleh Indonesia dan harus diatur dalam konstitusi sebab
harus menjadi aturan dasar dalam perlindungan HAM. Untuk itulah dalam perubahan
undang-undang perlu dimasukannya aturan mengenai konvensi HAM internasional
dalam konstitusi indonesia.
3.
Pengaturan struktur negara disertai
pembagian dan pembatasan kekuasaannya
Mengenai
pengaturan materi struktur Negara beserta pembatasan dan pembagian kekuasaan
bertujuan agar memperjelas struktur organisasi Negara beserta tugas pokok dan
fungsi lembaga-lembaga yang terdapat dalam struktur Negara tersebut, selain itu
pembagian dan pemisahan kekuasaan juga perlu agar tidak terjadinya overlapping (tumpang tindih kekuasaan). Dan
kemudian diatur secara jelas kewenangan dari masing-masing kekuasaan seperti
kekuasaan untuk membuat aturan/undang-undang merupakan kewenangan lembaga legislatif,
kekuasaan untuk melaksanakan aturan/undang-undang merupakan kewenangan eksekutif,
dan lembaga yudikatif yang mempunyai kekuasaan peradilan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Materi muatan konstitusi
pada umumnya, yaitu:
a. Ditetapkannya susunan
ketatanegaraan secara fundamental,
b. Ditetapkannya pula hubungan
kewenangan antara susunan ketatanegaraan secara fundamental,
c. Jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia.
2. Perlunya
materi muatan diatur dalam konstitusi dikarenakan materi muatan tersebut sangat
fundamental, yang mengatur hal-hal dasar misalnya, pengaturan bentuk Negara, memperjelas
bagaimana bekerjanya Negara, tata hukum dan pengaturan kekuasaan Negara. Selanjutnya
pengaturan mengenai pengakuan dan perlindungan HAM perlu diatur karena kepentingan
paling mendasar dari setiap warga Negara adalah perlindungan terhadap
hak-haknya sebagai manusia. Serta adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan adalah
untuk memperjelas struktur organisasi Negara beserta tugas pokok dan fungsi serta
kewenangan lembaga-lembaga agar tidak terjadi overlapping (tumpang tindih kekuasaan).
[1]
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia
Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak
Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.
54.
[2] Dedi Ismatullah dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Tata Negara Refleksi Kehidupan
Ketatanegaraan Di Negara Republik Indonesia, Pustaka Setia, Jakarta, 2009,
hal. 227.
[3]
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, hal. 56.
[5] Wade and Philips, G. Godfrey, Constitutional Law, An Outline of the Law and Practice of the
Constitutional, Including Central and Local Goverment, the Citizen and the
state and administrative. Seventh ed, by E.C.S. Wade and A.W. Bradley,
London, Longmans, 1965.
[6] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
& Konstitusionalisme, Kerja Sama Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 16.
[7] Lihat, C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, hal, 57, dan lihat
pula Dedi Ismatullah dan Beni Ahmad Saebani, hal. 230.
[8] Romi, Urgensi
Eksistensi Konstitusi dan Materi Muatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jurnal Universitas Mahaputera Mohammad Yamin, Padang,
hal. 7
[15] Baca Peter Bachr, Pieter van Dijk, Adnan
Buyung Nasution, dkk, (eds.), Instrumen
Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 2001.
[16]
Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata
Negara Indonesia, Yogyakarta,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar