Beranda

Jumat, 19 Oktober 2012

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TIDAK PIDANA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya  manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan fisik,mental, dan sosial secara utuh . Bagi bagsa Indonesia anak merupakan subyek dan modal pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat adil dan makmur sesuai amanat undang-undang  dasar 1945 . oleh karena itu seorang anak patut mendapat perhatian khusus untuk di timbuh kembangkan sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajibanya sebagai warga Negara dan penuh tanggung jawab.
Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 3 tahun1997 tentang pengadilan anak menyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 ntahun dan belum kawin.
Ketentuan pasal ini mendapat pengecualiaan apabila seorang yang belum mencapai 18 tahun tetapi telah melakukan perkawianan/pernikahan, maka anak tersebut tetap dianggap telah dewasa walaupun umurnya belum mencapai 18 tahun.[1]
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dan tidak ada kecualinya. Namun terhadap seorang anak sebagai pelaku tindak pidana berlaku perlindungan khusus dengan tujuan melindungi kepentingan anak dan masa depan anak.[2]
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan representasi dari seluruh bangsa mendeklarasikan hak-hak anak pada tanggal 20  November tahun 1958, menyatakan bahwa “ umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik baigi anak”. Deklarasi ini mengisaraktkan kepada seluruh masyarakat dunia agar senantiasa menempatkan kepentingan anak sebagai salah satu prioritas dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia di masa yang akan datang.[3]
Pada tanggal 25 januari 1990 Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention The Right Of The Child yang dilakukan di New York  dan disahkan dengan Kepres Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convension On The Rights Of The Chlid  yang dicatat dalam Lembaran Negara Nomor 57 Tahun 1990. Hal ini menunjukan sikap pemerintah  Republik Indonesia  untuk mewujudkan kebutuhan perlindungan hak-hak anak secara konsekuwen.[4] Menurut Undang-undang Nomor 4 1979 Tentang Kesejahteraan anak, pasal 2 ayat (1) bahwa anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang yang baik dalam keluarganya maupun dalam usaha khusus untuk tumbuh dan berkembang.[5]
Di jelaskan juga dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindunggi anak dan hak-haknya agar dapat hidup , tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[6]
Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau sangsi pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Perlindungan hukum anak merupakan upaya perlindungaan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak.[7] Bentuk perlindungan hukum terhadap anak misalnya  pendampingan dari petugas kemasyarakatan, masa penahanan yang lebih singkat di banding orang dewasa, fasilitas oleh aparat penegak hukum khusus anak, termasuk pemisahan tahanan anak dari tahanan orang dewasa merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap anak.

B . Rumusan Masalaha
Berdasarkan uraian latar belakang  yang telah dikemukakan diatas maka dapat diambil beberapa  permasalahan   sebagai berikut
1.      Bagaimana kebiajakan  hukum  pidana terhadap anak pelaku tindak pidana ?
2.      Bagaimana hak-hak anak dalam proses Peradilan pidana   ?
3.      Apa Faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Kebiajakan Hukum Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana .
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[8] Perbuatan pidana dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, diingat bahwa larangan tersebut di tujukan pada perbuatanya yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan seseorang, sedangkan ancaman pidananya ditunjukan pada seseorang yang menimbulkan kejadian itu, antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat karena antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula.[9]
Mengenai ancaman pidana bagi anak telah ditentukan dalam undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak yang menjatuhkan hukuman  (Satu per dua) terhadap sangsi maksimum orang dewasa. Ketentuan tersebut jelas berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yang telah dinyatakan tidak berlaku  setelah terbitnya undang-undang pengadilan anak. Penjatuhan pidana mati dan pidana seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak di bawah umur.[10]
Perbedaan ancaman yang diatur dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi dan menyayangi anak agar dapat menyonsong masa depanya yang masi panjang. Selain itu perbedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada anak agar melalui pembinaan akan memeperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluargga, masyarakat bangsa dan Negara.
Proses penegakan hukum untuk mengajukan anak pada proses  peradilan, maka sejak penyidikan sampai pada putusan hakim harus sesuai dengan ketentuan yang ada, selain itu ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang batas umur yang dapat  diajukan pada proses peradilan anak harus sesuai ketentuan dalam undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, karena batas umur dalam proses hukum pidana adalah berkaitan dengan alasan kemampuan tanggung jawab dari seseorang terhadap seluruh perbuatan yang dilakukanya.[11]
Ketentuan seorang anak yang dapat diajukan didepan persidangan tertuang dalam pasal 4 ayat (1)  Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak yang menyatak bahwa “ batas umur  anak yang diajukan kesidang anak adalah telah mencapai 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 18 tahun atau belum kawin”. Pada usia 12 tahun apabila diperoleh bukti permulaan yang cukup bahwa ia telah melakukan tindak pidana maka ia dapat diajukan kepersidangan karena pada umur tersebut seorang anak dianggap telah mampu mempertanggung jawabkan perbuatanya.[12]
Berdasrkan pasal 5 Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak bahwa “anak yang belum berumur 8 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana tidak dapat diajukan ke persidangan anak. Hal ini apabila didasarkan pada pemeriksaan yang menyatakan bahwa anak tersebut masih dapat dibina yang menyatakan bahwa anak itu masih dapat dibina oleh orang tua, wali, orang tua aslinya. Apabila hasil pemeriksaan menunjukan bahwa anak tersebut tidak dapat dibina oleh kedua orang tua, wali dan orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan anak itu pada departemen social setelah mendengar dari pembimbing masyarakat”.[13]
Penerapan sangsi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pada dasrnya sama dengan penerapan sangsi pidana yang ditetapkan pada orang dewasa yang melakukan tindak pidana yang sama, yaitu pada hakikatnya siapa yang melakukan tindakan yang melanggar hukum atau yang bertebtangan dengan aturan yang ada dan berlaku disuatu wilayah harus menerima sangsi sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan orang yang bersangkutan.
Meskipun secara hukum anak yang belum genap 18 tahun dan belum menikah, dikatakan belum dewasa, akan tetapi terhadap dirinya tetap harus menjalangkan sangsi pidana apabila anak terbukti bersalah melakukan tindak pidana, sebagaimana tercantum dalam undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, khususnya dalam Bab III yang mengatur tentang pidana dan tindakan. Pasal 22 sampai pasal 24 menyatakan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana dapat dijatuhkan dua macam sangsi yaitu sangsi pidana dan sangsi tindakan.
Sangsi yang dimaksud adalah berupa sangsi pidana pokok yang terdiri dari sangsi pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan, sedangkan pidana tambahan yang berupa perampasan barang-barang tertentu. Mengenai sangsi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah dengan cara mengembalikan anak kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, atau menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan pembinaan dan latihan kerja.
Anak yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana, dalam praktek penyelesaian perkaranya mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Khususnya diberikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak yang berlaku di Indonesia. Khususnya meliputi:
1.         Penangkapan, di tentukan paling lama 1 hari untuk kepentingan pemeriksaan  (pasal 43 ayat 2 )
2.         Penahanan, hanya berlaku 20 hari (pasal 44 ayat 2 ); dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan dapat pemeriksaan penuntut umum untuk paling lama 10 hari (pasal 44 ayat 3 )
3.         Terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana pokok (pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pengawasan) selain itu dapat juga di jatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi (pasal 23 ayat (1), (2) dan (3). Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh; menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada departemen sosial kemasyarakatan lain yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (pasal 24 ayat 1). Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditentuan oleh hakim (pasal 24 ayat 2).
4.      Pidana pokok yang berupa pidana penjara yang dapat dijatuhkan pada anak paling lama ½  (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (pasal 26 ayat 1 ) dan apabila anak melakukan pidana dengan ancaman pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun  Pasal 26 ayat (2); dan apabila seorang anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup belum mencapai umur 12 tahun, maka terhadap anak tersebut hanya dapat di jatuhkan sangsi tindakan seperti yang tercantum dalam pasal 24 aayat (1) huruf b dan pasal 26 ayat (3), pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana adalah paling lama ½ dari ancaman kurungan maksimal orang dewasa (pasal 27). Pidana denda yang dapat dijatuhkan pada anak pelaku tindak pidana paling banyak ½ dari ancaman denda orang dewasa, dan apabila tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 hari kerja dan lama latihan kerja tidak latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (pasal 28 ayat 3 )
5.      Siding tertutup untuk umum dan hanya dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan (pasal 28 ayat 3)
6.      Hakim, penuntut umum umum, penyidik, penasehat hukum serta petugas lainya dalam ruang siding anak, tidak memakai toga atau pakaian dianas (pasal 6)
7.      Hakim, yang mengadili adalah hakim khusus anak yang ditetetapkan surat keputusan mahkamah agung (pasal 9)
8.      Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 8 ayat 6 )
Melihat banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur, sudah seharusnya kita mulai melihat tidak hanya pada sisi, bahwa anak bersalah dan harus dihukum saja, akan tetapi harus bersifat objektif terhadap permasalahan itu dengan cara mencari tahu terlebih dahulu latar belakang pelaku dan sebab anak melakukan tindak pidana, terjadinya tindak pidana dengan pelaku anak tidak bisa dikatakan murni keslahan anak karena dalam hal ini juga perlu dipertanyakan peran orang tua anak, masyarakat dan aparat penegak hukum. Penerapan sangsi terhadap seorang anak harus benar-benar efektif dan sesuai denagn tujuan pemidanaan.

B.     Hak-Hak  Anak Dalam Proses Peradilan Pidana.
Anak yang menjalani proses peradilan pidana perlu mendapatkan bantuan dan perlindungan dalam pelaksanaan dan kewajibanya dari pihak-pihak yang terkait langsung dalam proses peradilan pidana, baik penyidik, jaksa penuntut umum maupun hakim. Salah satu pihak yang dapat membantu memberikan pemahaman dan pengertian tentang hak dan kewajiban anak dalam menjalani proses peradilan pidana adalah penasehat hukum.
Hukum acara yang berlaku dalam proses peradilan anak adalah KUHAP dan Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Pasal 40 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara peradilan anak, kecuali ditentuakan lain dalam undang-undang ini.
Hak-hak tersangka atau terdakwa anak diatur dalam BAB IV KUHAP pasal 50- pasal 68 kecuali pasal 64 KUHAP. Pengecualian tersebut karena dalam pasal ini menghendaki persidangan terdakwa dilakukan terbuka untuk umum. Hal ini tidak sesuai dengan pasal 8 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak yang menghedaki agar hakim dalam memerikasa perkara anak dilakukan dalam sidang terturup. Hak-hak tersangka atau terdakwa yang dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 antara lain .[14]Pasal 51 huruf b Pasal 52, pasal 58, pasal 60, pasal 62, pasal 65, pasal 66, pasal 67.
Ketentuan Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, menyatakan hak-hak tersangka atau terdakwa di atur diatur dalam pasal 45 ayat (4) dan pasal 51 ayat (1) dan (3). Pasal 45 ayat (4) menyatakan bahwa selama ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan social anak harus tetap dipenuhi.
Pasal 51 ayat (1) dan ayat (3)
(1)      Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
(3), setiap anak yang ditangkap dan ditahan berhak berhubungan langsung dengan   penasehat hukum dengan diawasi tampa didengar oleh pejabat yang berwewenang.
Dalam penjelasan pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum acara pidana (KUHAP) adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya perilaku sewenang-wenang dan tidak wajar selama menjalani proses peradilan pidana, maka tersangka anak juga berhak untuk didampingi penasehat hukum dengan harapan anak tersebut dapat menerapkan hak-haknya dengan baik.[15]
Kaitanya dengan hak-hak anak yang disangka atau didakwa melakukan perbuatan pidana. Arif Gosita sebagaimana dikutip Mulyana W. Kusumah Mengemukakan beberapa hak-hak anak yang perlu diperjuangkan pelaksanaanya secara bersama-sama dalam proses peradilan pidana yaitu:.[16]
a.         Sebelum Persidangan
Seseorang anak sebagai pelaku suatu perbuatan pidana mempunyai hak sebagai berikut:
1.      Hak diperlukan sebagai yang belum terbukti bersalah
2.      Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, social dari siapa saja (ancaman penganiyayaan, cara dan tempat penahanan misalnya)
3.      Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan .
4.      Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).



b.         Selama persidangan.
Selama pemeriksaan tersangka atau terdakwa mempunyai hak sebagai berikut:
1.      Hak mendaptkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusunya.
2.      Hak mendapatkan pendamping, penasehat selama persidangan.
3.      Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).
4.      Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik social, dari siapa saja (ancaman penganiyayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).
c.       Setelah persidangan.
Seseorang anak sebagai pelaku suatu perbuatan pidana mempunyai hak sebagai berikut:
1.      Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan  Pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan.
2.      Hak untuk mendapatkan perlindunagan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, social, dari siapa saja(ancaman penganiyayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).
3.      Hak  untuk dapat tetap berhubungan dengan orang tua, keluarganya.

C.    Faktor Anak Melakukan Tindak Pidana.
Suatu kejahatan, kenakalan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki penyebab yang menjadi latar belakang mengapa perbuatan itu dilakukan. Faktor-faktor yang mendorong perbuatan itu dilakukan sering juga disebut sebagai motivasi dimana didalamnya mengandung unsur niat, hasrat, kehendak, dorongan kebutuhan, cita-cita yang kemudian diwujudkan dengan lahirnya perbuatan-perbuatan, demikian pula perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak tidak terlepas dari factor yang mendukung anak yang melakukan perbuatan pidana.
Menurut Kartini Kartono, perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu:
1.         Faktor Intern
Faktor interen adalah faktor yang berasal dari dalam diri  anak itu sendiri, faktor yang mendorong anak melakukan perbuatan  pidana yang berasal dari dirinya sendiri yang meliputi beberapa hal yaitu:
a.       Untuk memuaskan kecenderunagan keserakahan.
b.      Meningkatkan agresifitas dan dorongan seksual
c.       Salah asuhan, salah didik dari orang tua sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya.
d.      Hasrat untuk berkumpul dengan teman-teman senasib dan sebaya menjadi kesukaan untuk meniru-niru.
e.       Kecenderungan pembawaan yang patologis.
f.       Konflik bathin sendiri dan kemudian mempergunakan mekanisme pelarian diri yang irasional.[17]


2.      Faktor ekstern
Menurut Kartini Kartono Faktor ekstern adalah faktor yang lahir dari luar dari anak faktor ini terdiri dari beberapa hal yaitu:

a.      Faktor Lingkunagan Keluarga
Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap seorang anak. Keluarga merupakan lingkungan pertama dalam kehidupan seorang anak dan dari keluarga pula untuk pertama kalinya anak mendapat pendidikan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Bimo Walgito mengenai arti keluarga bagi anak adalah merupakan tumpuan pendidikan anak. Keluarga pertama-tama bagi anak, dan dari keluarga pulalah anak pertama-tama akan menerima pendidikan , karena keluarga mempunyai perannan penting dalam keluarga.[18]
Seorang anak dalam keluarga belajar untuk memegang peranan sebagai makhaluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan tertu yang akan dibawahnya untuk memasuki kehidupan yang lebih luas dalam pergaulan dimasyarkat. Pengalaman yang didaptkan dari keluarga ikut menentukan cara anak untuk bertingkah laku. Apabila keluarga memberikan contoh yang baik maka akan berpengaruh positif bagi anak dan akan diwujudkan tingkahlakunya dalam pergaulan, baik pun sebaliknya jika dalam keluarga terjadi hubungan yang kurang baik, maka kemungkinan besar anak  dalam pergaulanya akan berjalan secara tidak baik pula. Jadi bukan merupakan suatu yang mustahil apabila kemudian banyak dijumpai anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakt.
      Pada umumnya sebagian besar waktu anak adalah berada dalam keluarga. Oleh karena itu tidak mustahil apabila anak nakal disebabkan karena pengaruh dari keadaan keluarganya, apalgi kondisi keluarga itu tidak normal.
Keluarga tidak normal bisa berupa keluarga yang mengalami perpecahan  atau sering disebut dengan istilah broken home .
Perpecahan (broken home) sering mengakibatkan anak kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari bapak dan ibu atau bahkan keduaduanya. Kemudian Sudarsono mengatakan bahwa “ kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing angota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan sehingga keduanya tidak sempat memberikan perhatianya terhadap pendidikan anak.[19]
Perkembangan kehidupan masyarakat yang makin modern, sering dijumpai orang tua yang sibuk dengan urusanya masing-masing terutama dalam hal mencari nafkah. Kondisi ini menyebabkan anak kurang mendapatkan pengarahan dan pengawasan dari orang tuanya, sehingga tidak jarang anak kemudian mencari kesibukan di luar rumah yang bisa saja bersifat negatif untuk menarik perhatian orang tuanya sebagai bentuk pelampiasan karena merasa diabaikan.
Lemahnya ekonomi keluarga juga bisa menjadi pendirong bagi anak untuk melakukan perbuatan pidana. Fenomena ini sering terjadi pada keluarga kelas menengah kebawah yang pada umumnya hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dalam batas minimum. Bahkan kadang-kadang untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga (anak) harus ikut berpartisipasi dalam mencari nafkah demi mempertahangkan hidup mereka. Dengan kondisi yang seperti ini orang tua secara otomatis kurang dapat mengawasi anak-anaknya sehingga kadang untuk dapat memenihi kebutuhanya sendiri seorang anak melakukan perbuatan yang tidak benar, (seperti mencuri, memeras, merampas dan sebagainya)

b.      Faktor Lingkungan sekolah
Bambang Muliyono menegaskan bahwa” sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang mempunyai peranan untuk mengembangkan anak-anak sesuai  dengan kemampuan dan pengetahuanya yang bertujuan agar anak belajar mengembangkan kreatifitas pengetahuan dan keterampilan”.[20]
Masalah pendidikan disekolah bisa menjadi motifasi dariluar yang bisa mendorong anak untuk melakukan suatu perbuatan yang menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik dapat menggaggu proses belajar mengajar anak didik yang pada giliranya dapat memberikan peluang bagi anak didik untuk berperilaku menyimpang, kondisi sekolah yang tidak sehat bisa menyebabkan karena :
a.          Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai
b.         Kualitas dan kuantitas tenagga guru yang tidak memadai;
c.          Kesejahteraan guru yang tidak memadai;
d.         Kurikulim sekolah yang perlu ditinjau ulang;
e.          Lokasi sekolah yang rawan dengan kejahatan.
Hal yang perlu diperhatikan yaitu sesuai dengan perkembangan keadaan pada waktu sekarang ini  adalah diantara anak-anak yang memasuki sekolah tidak semuanya berwatak baik (misalnya ada yang penakut, ada yang patuh dan adapula anak yang keras kepala dan tidak dapat diatur. Bahkan tidak jarang dijumpai dalam suatu sekolah yang anak didiknya suka merokok dan mengkonsumsi obat-obat terlarang. Sikap-sikap tidak disiplin seperti inilah yang dapat berpengaruh besar kepada anak yang pada awlnya bermental baik.

c.       Faktor lingkungan pergaulan
Masyarakat merupakan tempat pendidikan ketiga setelah lingkungan keluarga dan sekolah, karena anak disamping berinteraksi dengan anggota keluarganya juga akan memasuki pergaulan yang labih besar lagi yaitu lingkunagn masyarakt disekitarnya.
Pengaruh yang diberikan lingkungan pergaulan besar sekali dan bahkan terkadang dapat membawa perubahan besar dalam kehidupan keluarga. Dari lingkungan keluarga ini seorang anak akan banyak menyerap ahal-hal baru yang dapat mempengaruhinya, untuk bertingkah laku lebih baik atau sebaliknya menjadi buruk.
Pengaruh pergaulan dengan lingkunagan tempat tinggal seperti yang dikemukakan oleh A. Qirom Syamsudin Meliala, bahwa sudah merupakan naluri manusia untuk berkumpul dengan teman-teman bergaul. Tapi pergaulan itu akan menimbulkan efek yang baik dan yang tidak baik pula. Efek yang tidak baik akan mendorong anak yang tidak mendapat bimbingan yang baik dari orang tuanya menjadi terperosok pada hal-hal yang negatif. [21]
Proses pembentukan keperibadian anak biasanya mulai dan berkembang pada saat anak tersebut menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkumpul dengan teman-temanya. Dengan demikian pengaruh lingkungan pergaulan terutama pengaruh dari teman-teman mainya sangat besar bagi anak dapat melakukan apa yang dianggap baik menurutnya dan apa yang menjadi sumber bagi anak untuk melakukan perbuatan menyimpang.

d.      Faktor mass media atau media massa
Mas media ayau yang sering dikenal dengan media massa, seperti majalah, surat kabar, radio, tape, televise, VCD, dan lain-lain, memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Tidak dapat disangkal bahwa media massa memegang peranan yang positif dalam meningkatkan ilmu pengetahuan masyarakat. Kebaradaan sarana dan pra sarana dan alat-alat tersebut mempermudah masyarakat dapat mengetahui peristiwa yang terjadi baik diluar maupun dalam negri dengan cepat.
Namun demikian kita juga harus mengigat tentang satu hal yakni  yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa . apalgi jika dikaitkan dengan sifat anak-anak yang suka meniru, ingin tahu dan mencoba-coba hal-hal yang dianggap oleh merekamerupakan hal yang baru.
Saat ini banyak sekali kita jumpai Mass Media yang tidak mendidik . contoh umum seperti buku dan majalah yang menyajikan gambar dan cerita-cerita yang dikatagorikan sebagai pornigrafi dan tayangan-tayangan baik film maupun acara televisi yang mengetengahkan adegan porno dan kekerasan.
Hal ini bisa memberikan pengaruh yang buruk terhadap anak, dengan mengigat kondisi control diri  anak yang masi belum secara penuh dan juga mudahnya anak untuk melakukan hal-hal yang bagi mereka suatu hal yang menantang. Kita sering melihat kasus perkosaan oleh anak dibawah umur atau tindak pidana lainya dengan pelaku dibawah umur yang seringkali  kita ketahui alasan dari anak melakukan tindakan tersebut akibat tontonan dan bacaan tentang kekerasan.
Semakin canggih dan banyaknya alat untuk mengakses ilmu pengetahuan semakin banyak pula hal negatif  yang harus diwaspadai, karena dampak dari kecanggihan teknologi tidak selalu bersifat positif tetapi juga negatif. Disinilah peran orang tua dan masyarakat untuk bisa memberikan pengertian lebih baik bagi anak terhadap acara-acara televisi, film-film yang ditonton, buku-buku bacaan dan hal-hal lain untuk menyikapi pengaruh negatif dari media massa





BAB III
PENUTUP

A . Kesimpulan
Beberapa urain dan  pembahasan yang dikemukakan pada bab terdahulu maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1)      Kebijakan hukum pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana  berupa sangsi pidana pokok yang terdiri dari sangsi pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan, sedangkan pidana tambahan yang berupa perampasan barang-barang tertentu. Mengenai sangsi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah dengan cara mengembalikan anak kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, atau menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan pembinaan dan latihan kerja.
2)      Hak-hak anak dalam proses peradilan pidana  termuat  dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 antara lain . Pasal 51 huruf b Pasal 52, pasal 58, pasal 60, pasal 62, pasal 65, pasal 66, pasal 67
3)      Faktor anak melakukan tindak pidana.
-          Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam diri  anak itu sendiri, yang mendorong anak melakukan perbuatan  pidana yang berasal dari dirinya sendiri
-          Faktor ekstern yaitu Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan atau masyarakat dan faktor media  massa.

B . Saran
Saran penulis Pemerintah Harus lebih giat lagi dalam sosialisasi Undang-Undang perlindungan Anak sampai keseluruh lapisan masyarakat. Kemudian Peran keluarga atau orang tua sebagai pendidikan awal bagi anak, lebih serius dan di tingkatkan, terutama membantu anak dalam pemecahan masalah yang dihadapi sehingga anak tidak perlu mencari pelarian diluar rumah ,agar anak berguna demi keluarga, masyarakt, bangsa dan Negara.


[1] Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang  Pengadilan Anak , Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 3 Tahun 1997.
[2] Pasal  27 Unadang-Undang Dasar 1945
[3]  Gatot supramono , 2007 Hukum acara pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta hal 8
[4]  Darwin prinst, 2003, Hukum anak Indonesia , citra daya bakti  Bandung ,hal 328
[5] Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tenntang kesejahteraan Anak lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979
[6] Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 109 Tahun 2002
[7]  Barda Nawawi Arif, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan penegakan dan pengembangan  Hukum pidana, PT Citra Aditya Bagti, Bandung hal, 153
[8]  Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum pidana Indonesia , Bina Aksara, Jakarta, hal 37
[9]  Moeljatno Ibid  Hal 74
[10]  Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak , lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
[11] Endang Sumiarni, 2003, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam hukum pidana, Universitas Atma Jaya, Jogjakarta, hal, 447
[12]  Lilik Mulyadi, 2005, pengadilan anak di Indonesia : teori, praktek dan permasaalhnya, Mandar maju , bandung , hal 4
[13] Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun1997. Tentang pengadilan anak.
[14]  Pasal 51 huruf b, Pasal 52, Pasal 58, Pasal 60 , Pasal 62, pasal 65, Pasal 66 dan Pasal 67, UU Nomor 3 Tahun 1997
 [15]  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[16] Mulyana W. Kusuma, 1986. Hukum dan Anak , Rajawali, hal 72
[17] Kartini Kartono. 1982, Pisikologi Anak, Alumni, Bandung, hal 149
[18] Bimo Walgito 1982, Kenakalan Anak, Fakultas Pisikologi UGM Yogyakarta hal 9
[19] Bimo Walgitop Op. Cit  hal 126
[20] Bambang Muliyono , 1995. Pendekatan Anlisis Kenakalan Remaja Dan Penangulanganya, Kanisius, Yogyakarta hal 29
[21]  A. Qirom Syamsudin Meliala 1985. Kejahatan Anak Suatu Tujuan Dari Pisikologi Dan Hukum  Liberty, Yogyakarta, hal 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar