BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Anak adalah bagian dari generasi muda
sebagai salah satu sumber daya manusia
yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki
peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan fisik,mental, dan sosial secara utuh . Bagi bagsa Indonesia anak merupakan subyek dan modal pembangunan
nasional demi tercapainya masyarakat adil dan makmur sesuai amanat
undang-undang dasar 1945 . oleh karena
itu seorang anak patut mendapat perhatian khusus untuk di timbuh kembangkan
sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajibanya sebagai warga Negara dan penuh
tanggung jawab.
Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 3
tahun1997 tentang pengadilan anak menyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam
perkara anak telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 ntahun dan
belum kawin.
Ketentuan pasal ini mendapat
pengecualiaan apabila seorang yang belum mencapai 18 tahun tetapi telah
melakukan perkawianan/pernikahan, maka anak tersebut tetap dianggap telah
dewasa walaupun umurnya belum mencapai 18 tahun.[1]
Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah
itu dan tidak ada kecualinya. Namun terhadap seorang anak sebagai pelaku tindak
pidana berlaku perlindungan khusus dengan tujuan melindungi kepentingan anak
dan masa depan anak.[2]
Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan representasi dari seluruh
bangsa mendeklarasikan hak-hak anak pada tanggal 20 November tahun 1958, menyatakan bahwa “ umat
manusia berkewajiban memberikan yang terbaik baigi anak”. Deklarasi ini
mengisaraktkan kepada seluruh masyarakat dunia agar senantiasa menempatkan kepentingan
anak sebagai salah satu prioritas dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia di
masa yang akan datang.[3]
Pada tanggal 25
januari 1990 Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention The Right Of The Child yang dilakukan di New York dan disahkan dengan Kepres Nomor 36 Tahun 1990
tentang pengesahan Convension On The
Rights Of The Chlid yang dicatat
dalam Lembaran Negara Nomor 57 Tahun 1990. Hal ini menunjukan sikap
pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan kebutuhan perlindungan
hak-hak anak secara konsekuwen.[4]
Menurut Undang-undang Nomor 4 1979 Tentang Kesejahteraan anak, pasal 2 ayat (1)
bahwa anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang yang baik dalam keluarganya maupun dalam usaha khusus untuk tumbuh
dan berkembang.[5]
Di jelaskan juga dalam pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa “perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindunggi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup , tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.[6]
Setiap anak berhak memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau sangsi pidana
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Perlindungan hukum anak merupakan upaya
perlindungaan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak.[7]
Bentuk perlindungan hukum terhadap anak misalnya pendampingan dari petugas kemasyarakatan, masa
penahanan yang lebih singkat di banding orang dewasa, fasilitas oleh aparat
penegak hukum khusus anak, termasuk pemisahan tahanan anak dari tahanan orang
dewasa merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap anak.
B . Rumusan Masalaha
Berdasarkan
uraian latar belakang yang telah
dikemukakan diatas maka dapat diambil beberapa
permasalahan sebagai berikut
1.
Bagaimana kebiajakan hukum pidana terhadap anak pelaku tindak pidana ?
2.
Bagaimana hak-hak anak dalam proses
Peradilan pidana ?
3.
Apa Faktor-faktor penyebab anak
melakukan tindak pidana ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kebiajakan Hukum Pidana Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana .
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana
adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut.[8]
Perbuatan pidana dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana, diingat bahwa larangan tersebut di tujukan pada
perbuatanya yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan
seseorang, sedangkan ancaman pidananya ditunjukan pada seseorang yang
menimbulkan kejadian itu, antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat
karena antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan
yang erat pula.[9]
Mengenai ancaman pidana bagi anak
telah ditentukan dalam undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak
yang menjatuhkan hukuman (Satu per dua) terhadap
sangsi maksimum orang dewasa. Ketentuan tersebut jelas berbeda dengan ketentuan
yang diatur dalam kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yang telah dinyatakan
tidak berlaku setelah terbitnya
undang-undang pengadilan anak. Penjatuhan pidana mati dan pidana seumur hidup
tidak diberlakukan terhadap anak di bawah umur.[10]
Perbedaan
ancaman yang diatur dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi dan
menyayangi anak agar dapat menyonsong masa depanya yang masi panjang. Selain
itu perbedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada anak agar
melalui pembinaan akan memeperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluargga, masyarakat bangsa
dan Negara.
Proses
penegakan hukum untuk mengajukan anak pada proses peradilan, maka sejak penyidikan sampai pada
putusan hakim harus sesuai dengan ketentuan yang ada, selain itu
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang batas umur yang dapat diajukan pada proses peradilan anak harus
sesuai ketentuan dalam undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan
anak, karena batas umur dalam proses hukum pidana adalah berkaitan dengan
alasan kemampuan tanggung jawab dari seseorang terhadap seluruh perbuatan yang
dilakukanya.[11]
Ketentuan
seorang anak yang dapat diajukan didepan persidangan tertuang dalam pasal 4
ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang pengadilan anak yang menyatak bahwa “ batas umur anak yang diajukan kesidang anak adalah telah
mencapai 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 18 tahun atau belum kawin”.
Pada usia 12 tahun apabila diperoleh bukti permulaan yang cukup bahwa ia telah
melakukan tindak pidana maka ia dapat diajukan kepersidangan karena pada umur
tersebut seorang anak dianggap telah mampu mempertanggung jawabkan perbuatanya.[12]
Berdasrkan
pasal 5 Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak bahwa “anak
yang belum berumur 8 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana tidak
dapat diajukan ke persidangan anak. Hal ini apabila didasarkan pada pemeriksaan
yang menyatakan bahwa anak tersebut masih dapat dibina yang menyatakan bahwa
anak itu masih dapat dibina oleh orang tua, wali, orang tua aslinya. Apabila
hasil pemeriksaan menunjukan bahwa anak tersebut tidak dapat dibina oleh kedua orang
tua, wali dan orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan anak itu pada
departemen social setelah mendengar dari pembimbing masyarakat”.[13]
Penerapan
sangsi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pada dasrnya sama
dengan penerapan sangsi pidana yang ditetapkan pada orang dewasa yang melakukan
tindak pidana yang sama, yaitu pada hakikatnya siapa yang melakukan tindakan
yang melanggar hukum atau yang bertebtangan dengan aturan yang ada dan berlaku
disuatu wilayah harus menerima sangsi sebagai akibat dari tindakan yang
dilakukan orang yang bersangkutan.
Meskipun
secara hukum anak yang belum genap 18 tahun dan belum menikah, dikatakan belum
dewasa, akan tetapi terhadap dirinya tetap harus menjalangkan sangsi pidana
apabila anak terbukti bersalah melakukan tindak pidana, sebagaimana tercantum
dalam undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, khususnya dalam
Bab III yang mengatur tentang pidana dan tindakan. Pasal 22 sampai pasal 24
menyatakan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana dapat dijatuhkan dua macam
sangsi yaitu sangsi pidana dan sangsi tindakan.
Sangsi
yang dimaksud adalah berupa sangsi pidana pokok yang terdiri dari sangsi pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan, sedangkan
pidana tambahan yang berupa perampasan barang-barang tertentu. Mengenai sangsi
tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah dengan cara mengembalikan
anak kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, atau menyerahkan kepada
Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau
menyerahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang
bergerak dibidang pendidikan pembinaan dan latihan kerja.
Anak
yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana, dalam praktek
penyelesaian perkaranya mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan pelaku tindak
pidana orang dewasa. Khususnya diberikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3
tahun 1997 tentang pengadilan anak yang berlaku di Indonesia. Khususnya
meliputi:
1.
Penangkapan, di tentukan paling lama 1
hari untuk kepentingan pemeriksaan
(pasal 43 ayat 2 )
2.
Penahanan, hanya berlaku 20 hari (pasal
44 ayat 2 ); dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan dapat
pemeriksaan penuntut umum untuk paling lama 10 hari (pasal 44 ayat 3 )
3.
Terhadap anak nakal dapat dijatuhkan
pidana pokok (pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pengawasan)
selain itu dapat juga di jatuhkan pidana tambahan berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi (pasal 23 ayat (1), (2)
dan (3). Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah mengembalikan kepada
orang tua, wali, orang tua asuh; menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada departemen
sosial kemasyarakatan lain yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja (pasal 24 ayat 1). Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditentuan oleh hakim
(pasal 24 ayat 2).
4. Pidana
pokok yang berupa pidana penjara yang dapat dijatuhkan pada anak paling lama ½
(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa (pasal 26 ayat 1 ) dan apabila anak melakukan pidana
dengan ancaman pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang
dapat dijatuhkan adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun Pasal 26 ayat (2); dan apabila seorang anak
pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup belum
mencapai umur 12 tahun, maka terhadap anak tersebut hanya dapat di jatuhkan
sangsi tindakan seperti yang tercantum dalam pasal 24 aayat (1) huruf b dan
pasal 26 ayat (3), pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku
tindak pidana adalah paling lama ½ dari ancaman kurungan maksimal orang dewasa
(pasal 27). Pidana denda yang dapat dijatuhkan pada anak pelaku tindak pidana
paling banyak ½ dari ancaman denda orang dewasa, dan apabila tidak dapat
dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 hari kerja dan
lama latihan kerja tidak latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta
tidak dilakukan pada malam hari (pasal 28 ayat 3 )
5. Siding
tertutup untuk umum dan hanya dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta
orang tua, wali, orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan
(pasal 28 ayat 3)
6. Hakim,
penuntut umum umum, penyidik, penasehat hukum serta petugas lainya dalam ruang
siding anak, tidak memakai toga atau pakaian dianas (pasal 6)
7. Hakim,
yang mengadili adalah hakim khusus anak yang ditetetapkan surat keputusan
mahkamah agung (pasal 9)
8. Putusan
pengadilan dalam memeriksa perkara anak diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (pasal 8 ayat 6 )
Melihat banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh
anak dibawah umur, sudah seharusnya kita mulai melihat tidak hanya pada sisi,
bahwa anak bersalah dan harus dihukum saja, akan tetapi harus bersifat objektif
terhadap permasalahan itu dengan cara mencari tahu terlebih dahulu latar
belakang pelaku dan sebab anak melakukan tindak pidana, terjadinya tindak
pidana dengan pelaku anak tidak bisa dikatakan murni keslahan anak karena dalam
hal ini juga perlu dipertanyakan peran orang tua anak, masyarakat dan aparat
penegak hukum. Penerapan sangsi terhadap seorang anak harus benar-benar efektif
dan sesuai denagn tujuan pemidanaan.
B.
Hak-Hak
Anak Dalam Proses Peradilan Pidana.
Anak yang menjalani proses
peradilan pidana perlu mendapatkan bantuan dan perlindungan dalam pelaksanaan
dan kewajibanya dari pihak-pihak yang terkait langsung dalam proses peradilan
pidana, baik penyidik, jaksa penuntut umum maupun hakim. Salah satu pihak yang
dapat membantu memberikan pemahaman dan pengertian tentang hak dan kewajiban
anak dalam menjalani proses peradilan pidana adalah penasehat hukum.
Hukum acara yang berlaku dalam
proses peradilan anak adalah KUHAP dan Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
pengadilan anak. Pasal 40 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan
anak menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara
peradilan anak, kecuali ditentuakan lain dalam undang-undang ini.
Hak-hak tersangka atau terdakwa
anak diatur dalam BAB IV KUHAP pasal 50- pasal 68 kecuali pasal 64 KUHAP.
Pengecualian tersebut karena dalam pasal ini menghendaki persidangan terdakwa
dilakukan terbuka untuk umum. Hal ini tidak sesuai dengan pasal 8 UU Nomor 3 Tahun
1997 tentang pengadilan Anak yang menghedaki agar hakim dalam memerikasa
perkara anak dilakukan dalam sidang terturup. Hak-hak tersangka atau terdakwa
yang dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 antara lain .[14]Pasal
51 huruf b Pasal 52, pasal 58, pasal 60, pasal 62, pasal 65, pasal 66, pasal
67.
Ketentuan Undang-undang nomor 3
tahun 1997 tentang pengadilan anak, menyatakan hak-hak tersangka atau terdakwa
di atur diatur dalam pasal 45 ayat (4) dan pasal 51 ayat (1) dan (3). Pasal 45
ayat (4) menyatakan bahwa selama ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan social
anak harus tetap dipenuhi.
Pasal
51 ayat (1) dan ayat (3)
(1) Setiap
anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
(3),
setiap anak yang ditangkap dan ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasehat hukum dengan diawasi tampa didengar
oleh pejabat yang berwewenang.
Dalam
penjelasan pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum acara pidana (KUHAP) adalah untuk
menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya perilaku sewenang-wenang dan tidak
wajar selama menjalani proses peradilan pidana, maka tersangka anak juga berhak
untuk didampingi penasehat hukum dengan harapan anak tersebut dapat menerapkan
hak-haknya dengan baik.[15]
Kaitanya
dengan hak-hak anak yang disangka atau didakwa melakukan perbuatan pidana. Arif
Gosita sebagaimana dikutip Mulyana W. Kusumah Mengemukakan beberapa hak-hak
anak yang perlu diperjuangkan pelaksanaanya secara bersama-sama dalam proses
peradilan pidana yaitu:.[16]
a.
Sebelum
Persidangan
Seseorang anak sebagai pelaku suatu
perbuatan pidana mempunyai hak sebagai berikut:
1. Hak
diperlukan sebagai yang belum terbukti bersalah
2. Hak
untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan,
menimbulkan penderitaan mental, fisik, social dari siapa saja (ancaman
penganiyayaan, cara dan tempat penahanan misalnya)
3. Hak
untuk mendapatkan pendamping, penasehat dalam rangka mempersiapkan diri
berpartisipasi dalam persidangan .
4. Hak
untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap
dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).
b.
Selama
persidangan.
Selama pemeriksaan tersangka atau terdakwa mempunyai
hak sebagai berikut:
1. Hak
mendaptkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusunya.
2. Hak
mendapatkan pendamping, penasehat selama persidangan.
3. Hak
untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap
dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).
4. Hak
untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan,
menimbulkan penderitaan mental, fisik social, dari siapa saja (ancaman
penganiyayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).
c.
Setelah
persidangan.
Seseorang anak sebagai pelaku suatu perbuatan pidana
mempunyai hak sebagai berikut:
1. Hak
untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai
pemasyarakatan.
2. Hak
untuk mendapatkan perlindunagan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan,
menimbulkan penderitaan mental, fisik, social, dari siapa saja(ancaman
penganiyayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).
3. Hak
untuk dapat tetap berhubungan dengan
orang tua, keluarganya.
C.
Faktor
Anak Melakukan Tindak Pidana.
Suatu kejahatan, kenakalan atau
perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki penyebab yang
menjadi latar belakang mengapa perbuatan itu dilakukan. Faktor-faktor yang
mendorong perbuatan itu dilakukan sering juga disebut sebagai motivasi dimana
didalamnya mengandung unsur niat, hasrat, kehendak, dorongan kebutuhan,
cita-cita yang kemudian diwujudkan dengan lahirnya perbuatan-perbuatan,
demikian pula perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak tidak terlepas dari
factor yang mendukung anak yang melakukan perbuatan pidana.
Menurut Kartini Kartono, perbuatan pidana
yang dilakukan oleh anak terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
tersebut dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu:
1.
Faktor
Intern
Faktor interen adalah faktor yang
berasal dari dalam diri anak itu
sendiri, faktor yang mendorong anak melakukan perbuatan pidana yang berasal dari dirinya sendiri yang
meliputi beberapa hal yaitu:
a. Untuk
memuaskan kecenderunagan keserakahan.
b. Meningkatkan
agresifitas dan dorongan seksual
c. Salah
asuhan, salah didik dari orang tua sehingga anak menjadi manja dan lemah
mentalnya.
d. Hasrat
untuk berkumpul dengan teman-teman senasib dan sebaya menjadi kesukaan untuk
meniru-niru.
e. Kecenderungan
pembawaan yang patologis.
f. Konflik
bathin sendiri dan kemudian mempergunakan mekanisme pelarian diri yang
irasional.[17]
2.
Faktor
ekstern
Menurut Kartini Kartono Faktor
ekstern adalah faktor yang lahir dari luar dari anak faktor ini terdiri dari
beberapa hal yaitu:
a.
Faktor
Lingkunagan Keluarga
Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap seorang anak. Keluarga merupakan lingkungan pertama dalam
kehidupan seorang anak dan dari keluarga pula untuk pertama kalinya anak
mendapat pendidikan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Bimo Walgito mengenai
arti keluarga bagi anak adalah merupakan tumpuan pendidikan anak. Keluarga
pertama-tama bagi anak, dan dari keluarga pulalah anak pertama-tama akan
menerima pendidikan , karena keluarga mempunyai perannan penting dalam
keluarga.[18]
Seorang anak dalam keluarga belajar
untuk memegang peranan sebagai makhaluk sosial yang memiliki norma-norma dan
kecakapan tertu yang akan dibawahnya untuk memasuki kehidupan yang lebih luas
dalam pergaulan dimasyarkat. Pengalaman yang didaptkan dari keluarga ikut
menentukan cara anak untuk bertingkah laku. Apabila keluarga memberikan contoh
yang baik maka akan berpengaruh positif bagi anak dan akan diwujudkan
tingkahlakunya dalam pergaulan, baik pun sebaliknya jika dalam keluarga terjadi
hubungan yang kurang baik, maka kemungkinan besar anak dalam pergaulanya akan berjalan secara tidak
baik pula. Jadi bukan merupakan suatu yang mustahil apabila kemudian banyak
dijumpai anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku dalam masyarakt.
Pada
umumnya sebagian besar waktu anak adalah berada dalam keluarga. Oleh karena itu
tidak mustahil apabila anak nakal disebabkan karena pengaruh dari keadaan
keluarganya, apalgi kondisi keluarga itu tidak normal.
Keluarga tidak normal bisa berupa
keluarga yang mengalami perpecahan atau
sering disebut dengan istilah broken home
.
Perpecahan (broken home) sering mengakibatkan anak kurang mendapatkan kasih
sayang dan perhatian dari bapak dan ibu atau bahkan keduaduanya. Kemudian
Sudarsono mengatakan bahwa “ kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing
angota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan sehingga keduanya tidak
sempat memberikan perhatianya terhadap pendidikan anak.[19]
Perkembangan kehidupan masyarakat
yang makin modern, sering dijumpai orang tua yang sibuk dengan urusanya masing-masing
terutama dalam hal mencari nafkah. Kondisi ini menyebabkan anak kurang
mendapatkan pengarahan dan pengawasan dari orang tuanya, sehingga tidak jarang
anak kemudian mencari kesibukan di luar rumah yang bisa saja bersifat negatif
untuk menarik perhatian orang tuanya sebagai bentuk pelampiasan karena merasa
diabaikan.
Lemahnya ekonomi keluarga juga bisa
menjadi pendirong bagi anak untuk melakukan perbuatan pidana. Fenomena ini
sering terjadi pada keluarga kelas menengah kebawah yang pada umumnya hanya
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dalam batas minimum. Bahkan kadang-kadang
untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga (anak) harus ikut berpartisipasi
dalam mencari nafkah demi mempertahangkan hidup mereka. Dengan kondisi yang
seperti ini orang tua secara otomatis kurang dapat mengawasi anak-anaknya
sehingga kadang untuk dapat memenihi kebutuhanya sendiri seorang anak melakukan
perbuatan yang tidak benar, (seperti mencuri, memeras, merampas dan sebagainya)
b.
Faktor
Lingkungan sekolah
Bambang Muliyono menegaskan bahwa”
sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang mempunyai peranan untuk
mengembangkan anak-anak sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuanya yang bertujuan agar anak belajar mengembangkan
kreatifitas pengetahuan dan keterampilan”.[20]
Masalah pendidikan disekolah bisa
menjadi motifasi dariluar yang bisa mendorong anak untuk melakukan suatu
perbuatan yang menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik dapat menggaggu
proses belajar mengajar anak didik yang pada giliranya dapat memberikan peluang
bagi anak didik untuk berperilaku menyimpang, kondisi sekolah yang tidak sehat
bisa menyebabkan karena :
a.
Sarana dan prasarana sekolah yang tidak
memadai
b.
Kualitas dan kuantitas tenagga guru yang
tidak memadai;
c.
Kesejahteraan guru yang tidak memadai;
d.
Kurikulim sekolah yang perlu ditinjau
ulang;
e.
Lokasi sekolah yang rawan dengan
kejahatan.
Hal yang perlu diperhatikan yaitu sesuai dengan
perkembangan keadaan pada waktu sekarang ini
adalah diantara anak-anak yang memasuki sekolah tidak semuanya berwatak
baik (misalnya ada yang penakut, ada yang patuh dan adapula anak yang keras
kepala dan tidak dapat diatur. Bahkan tidak jarang dijumpai dalam suatu sekolah
yang anak didiknya suka merokok dan mengkonsumsi obat-obat terlarang.
Sikap-sikap tidak disiplin seperti inilah yang dapat berpengaruh besar kepada
anak yang pada awlnya bermental baik.
c.
Faktor
lingkungan pergaulan
Masyarakat merupakan tempat
pendidikan ketiga setelah lingkungan keluarga dan sekolah, karena anak
disamping berinteraksi dengan anggota keluarganya juga akan memasuki pergaulan
yang labih besar lagi yaitu lingkunagn masyarakt disekitarnya.
Pengaruh yang diberikan lingkungan
pergaulan besar sekali dan bahkan terkadang dapat membawa perubahan besar dalam
kehidupan keluarga. Dari lingkungan keluarga ini seorang anak akan banyak
menyerap ahal-hal baru yang dapat mempengaruhinya, untuk bertingkah laku lebih
baik atau sebaliknya menjadi buruk.
Pengaruh pergaulan dengan
lingkunagan tempat tinggal seperti yang dikemukakan oleh A. Qirom Syamsudin
Meliala, bahwa sudah merupakan naluri manusia untuk berkumpul dengan
teman-teman bergaul. Tapi pergaulan itu akan menimbulkan efek yang baik dan
yang tidak baik pula. Efek yang tidak baik akan mendorong anak yang tidak
mendapat bimbingan yang baik dari orang tuanya menjadi terperosok pada hal-hal
yang negatif. [21]
Proses pembentukan keperibadian
anak biasanya mulai dan berkembang pada saat anak tersebut menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk berkumpul dengan teman-temanya. Dengan demikian
pengaruh lingkungan pergaulan terutama pengaruh dari teman-teman mainya sangat
besar bagi anak dapat melakukan apa yang dianggap baik menurutnya dan apa yang
menjadi sumber bagi anak untuk melakukan perbuatan menyimpang.
d.
Faktor
mass media atau media massa
Mas
media ayau yang sering dikenal dengan media massa,
seperti majalah, surat kabar, radio, tape, televise, VCD, dan lain-lain,
memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Tidak dapat
disangkal bahwa media massa memegang peranan yang positif dalam meningkatkan
ilmu pengetahuan masyarakat. Kebaradaan sarana dan pra sarana dan alat-alat
tersebut mempermudah masyarakat dapat mengetahui peristiwa yang terjadi baik
diluar maupun dalam negri dengan cepat.
Namun demikian kita juga harus
mengigat tentang satu hal yakni yang tidak
dapat disamakan dengan orang dewasa . apalgi jika dikaitkan dengan sifat
anak-anak yang suka meniru, ingin tahu dan mencoba-coba hal-hal yang dianggap
oleh merekamerupakan hal yang baru.
Saat ini banyak sekali kita jumpai Mass Media yang tidak mendidik . contoh
umum seperti buku dan majalah yang menyajikan gambar dan cerita-cerita yang
dikatagorikan sebagai pornigrafi dan tayangan-tayangan baik film maupun acara
televisi yang mengetengahkan adegan porno dan kekerasan.
Hal ini bisa memberikan pengaruh yang
buruk terhadap anak, dengan mengigat kondisi control diri anak yang masi belum secara penuh dan juga
mudahnya anak untuk melakukan hal-hal yang bagi mereka suatu hal yang
menantang. Kita sering melihat kasus perkosaan oleh anak dibawah umur atau tindak
pidana lainya dengan pelaku dibawah umur yang seringkali kita ketahui alasan dari anak melakukan
tindakan tersebut akibat tontonan dan bacaan tentang kekerasan.
Semakin canggih dan banyaknya alat
untuk mengakses ilmu pengetahuan semakin banyak pula hal negatif yang harus diwaspadai, karena dampak dari
kecanggihan teknologi tidak selalu bersifat positif tetapi juga negatif.
Disinilah peran orang tua dan masyarakat untuk bisa memberikan pengertian lebih
baik bagi anak terhadap acara-acara televisi, film-film yang ditonton,
buku-buku bacaan dan hal-hal lain untuk menyikapi pengaruh negatif dari media
massa
BAB III
PENUTUP
A
. Kesimpulan
Beberapa
urain dan pembahasan yang dikemukakan
pada bab terdahulu maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Kebijakan
hukum pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana berupa sangsi pidana pokok yang terdiri dari
sangsi pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan,
sedangkan pidana tambahan yang berupa perampasan barang-barang tertentu.
Mengenai sangsi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah dengan cara
mengembalikan anak kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, atau
menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja, atau menyerahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan pembinaan dan latihan kerja.
2) Hak-hak
anak dalam proses peradilan pidana
termuat dalam UU Nomor 3 Tahun
1997 antara lain . Pasal 51 huruf b Pasal 52, pasal 58, pasal 60, pasal 62,
pasal 65, pasal 66, pasal 67
3) Faktor
anak melakukan tindak pidana.
-
Faktor intern yaitu faktor yang berasal
dari dalam diri anak itu sendiri, yang
mendorong anak melakukan perbuatan
pidana yang berasal dari dirinya sendiri
-
Faktor ekstern yaitu Lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan atau masyarakat dan faktor media massa.
B
. Saran
Saran
penulis Pemerintah Harus lebih giat lagi dalam sosialisasi Undang-Undang
perlindungan Anak sampai keseluruh lapisan masyarakat. Kemudian Peran keluarga
atau orang tua sebagai pendidikan awal bagi anak, lebih serius dan di
tingkatkan, terutama membantu anak dalam pemecahan masalah yang dihadapi
sehingga anak tidak perlu mencari pelarian diluar rumah ,agar anak berguna demi
keluarga, masyarakt, bangsa dan Negara.
[1] Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak , Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997.
[2] Pasal 27 Unadang-Undang
Dasar 1945
[3]
Gatot supramono , 2007 Hukum acara
pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta hal 8
[4]
Darwin prinst, 2003, Hukum anak
Indonesia , citra daya bakti Bandung
,hal 328
[5] Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 Tenntang kesejahteraan
Anak lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979
[6] Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 109 Tahun 2002
[7] Barda
Nawawi Arif, 1998, Beberapa Aspek
Kebijaksanaan penegakan dan pengembangan
Hukum pidana, PT Citra Aditya Bagti, Bandung hal, 153
[8]
Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum
pidana Indonesia , Bina Aksara, Jakarta, hal 37
[10]
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak , lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
[11] Endang Sumiarni, 2003, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam hukum
pidana, Universitas Atma Jaya, Jogjakarta, hal, 447
[12]
Lilik Mulyadi, 2005, pengadilan
anak di Indonesia : teori, praktek dan permasaalhnya, Mandar maju , bandung
, hal 4
[13] Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor
3 tahun1997. Tentang pengadilan anak.
[14] Pasal
51 huruf b, Pasal 52, Pasal 58, Pasal 60 , Pasal 62, pasal 65, Pasal 66 dan
Pasal 67, UU Nomor 3 Tahun 1997
[16] Mulyana W. Kusuma, 1986. Hukum dan Anak , Rajawali, hal 72
[17] Kartini Kartono. 1982, Pisikologi Anak, Alumni, Bandung, hal 149
[18] Bimo Walgito 1982, Kenakalan Anak, Fakultas Pisikologi UGM
Yogyakarta hal 9
[19] Bimo Walgitop Op. Cit
hal 126
[20] Bambang Muliyono , 1995. Pendekatan Anlisis Kenakalan Remaja Dan Penangulanganya, Kanisius, Yogyakarta hal 29
[21]
A. Qirom Syamsudin Meliala 1985. Kejahatan
Anak Suatu Tujuan Dari Pisikologi Dan Hukum Liberty, Yogyakarta, hal 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar