Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang
mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30
Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.
UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; yang
bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin
perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum. UU Pengadilan
Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam
masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus
kepada anak yang berhadapan dengan hukum
Adapun
substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan
anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam
Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses
peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam
bagian Penjelasan Umum UU SPPA.
Keadilan Restoratif
merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi
lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari
solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang
tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:
1. Definisi Anak di Bawah Umur
UU
SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur
12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
Sebelumnya, Undang-Undang Pengadilan Anak;
tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya,
Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini
mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan
tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem
peradilan pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
• Pengembalian kepada orang tua/Wali;
• Penyerahan kepada seseorang;
• Perawatan di rumah sakit jiwa;
• Perawatan di LPKS;
• Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
• Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
• Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
· Pidana peringatan;
· Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
· Pelatihan kerja;
· Pembinaan dalam lembaga;
· Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
· Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
· Pemenuhan kewajiban adat.
Selain
itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas)
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi
pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan
sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga;
d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;
g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA
menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan
syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan
tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika
masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak
wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
5. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban
yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang
pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar
sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh
Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau
Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang
terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban
juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh
dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan
keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali,
Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].
6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU
SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana
telah dilakukan.
Anak
berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik
dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap
pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak
Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh
anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi,
jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).
7. Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA,
anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak
ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
Walaupun
demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa
penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan
blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).
Dasar hukum:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar