Pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi, demikian yang disebut dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan"). Namun, larangan tersebut dikecualikan berdasarkan [Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan]:
a. indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Menjawab
pertanyaan Anda yang pertama, dari sini dapat kita ketahui bahwa aborsi
itu legal untuk dilakukan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang
dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun,
tindakan aborsi akibat perkosaan itu hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang sebagaimana disebut dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan.
Adapun
sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan ini dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1
miliar sebagaimana disebut dalam Pasal 194 UU Kesehatan. Lebih lanjut mengenai pidana terkait aborsi, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal.
Sebagai pelaksana dari UU Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”). Ketentuan legalitas aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP 61/2014 yang
antara lain mengatakan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan
berdasarkan kehamilan akibat perkosaan dan hanya dapat dilakukan apabila
usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak
hari pertama haid terakhir.
Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan [Pasal 34 ayat (2) PP 61/2014]:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Adapun
yang dimaksud dengan “ahli lain” berdasarkan penjelasan Pasal 34 ayat
(2) huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter
spesialis forensik, dan pekerja sosial.
Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP 61/2014.
Ini berarti, pada pengaturannya, wanita hamil yang ingin melakukan
aborsi berhak untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan
bertanggung jawab.
Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi tercermin dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang
pada intinya mengatakan bahwa tindakan aborsi berdasarkan kehamilan
akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra
konseling dan pasca konseling. Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat (3) PP 61/2014):
a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. menyampaikan
dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa
tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya;
d. membantu
perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri
untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan
aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37 ayat (4) PP 61/2014):
a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
d. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Dari
tujuan-tujuan di atas sekiranya dapat kita peroleh hak-hak wanita
korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi, antara lain yaitu hak
untuk mendapatkan kejelasan apakah tindakan aborsi dapat atau tidak
dapat dilakukan, hak untuk mendapatkan kejelasan tahapan tindakan aborsi
dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya, hak untuk memutuskan
apakah aborsi dilakukan atau dibatalkan, hak untuk dievaluasi kondisinya
setelah melakukan aborsi, dan sebagainya.
Dalam
hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan
aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi atau tidak memenuhi
ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi, korban perkosaan dapat
diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, demikian
dikatakan dalam Pasal 38 ayat (1) PP 61/2014.
Sekedar
tambahan informasi untuk Anda, di luar hal-hal yang berkaitan dengan
aborsi, hak lain yang juga didapat oleh wanita korban perkosaan yaitu
mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan. Hal
ini disebut dalam Pasal 24 ayat (1) PP 61/2014.
Dasar hukum:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar