Hingga kini, Penetapan
Presiden yang Kemudian Menjadi Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU 2/PNPS/1964”) masih
menjadi pedoman untuk mengeksekusi pidana mati atau hukuman mati bagi
terpidana yang diputus pada pengadilan di lingkungan peradilan umum dan
militer.
Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 antara
lain diatur bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer dilakukan
dengan ditembak sampai mati.
Adapun aturan lain tentang pelaksanaan pidana mati adalah Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”). Lebih jauh mengenai aturan ini dapat Anda simak dalam artikel Pelaksanaan Hukuman Mati Kejahatan Narkotika.
Kemudian,
apa saja yang menjadi alasan ditundanya eksekusi pidana mati itu? Salah
satu hal yang menyebabkan dilakukannya penundaan eksekusi pidana mati
adalah terpidana mati yang bersangkutan sedang hamil. Hal ini disebut
dalam Pasal 7 UU 2/PNPS/1964 yang berbunyi:
“Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.”
Jadi,
eksekusi pidana mati bagi terpidana mati yang sedang hamil itu ditunda
hingga empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Artinya, eksekusi
pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan
hamil. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Eksekusi Hukuman Mati Bagi Terpidana yang Hamil.
Penundaan eksekusi pidana mati juga dapat dilakukan karena faktor lain, yaitu perihal permintaan terpidana. Dalam Pasal 6 ayat (2) UU 2/PNPS/1964 dikatakan
bahwa apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan
atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.
Terkait dengan hal ini, Jaksa Agung, Basrief Arief dalam artikel Alasan Penundaan Eksekusi Hukuman Mati yang kami akses dari laman jpnn.com
mengatakan bahwa sesuai dengan UU 2/PNPS/1964, disyaratkan terpidana
memiliki kesempatan mengajukan permintaan terakhir, dimana disebutkan,
apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau
pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa terkait. Ia
mengatakan antara lain bahwa permintaan terakhir terpidana ini
bermacam-macam, diantaranya ada yang minta bertemu keluarga, sementara
keluarganya di luar sana sakit sehingga minta waktu dan permintaan ini
harus dipenuhi.
Dalam artikel yang sama, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Untung Setia Arimuladi,
mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa eksekusi dari seorang
terpidana mati tertunda pelaksanaannya begitu lama pasca jatuhnya vonis
pengadilan, karena masih diberikan hak-haknya sebagai terpidana,
Hak-hak
tersebut menurut Untung Setia Arimuladi, di antaranya upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK) maupun permohonan pengampunan dari Presiden
(grasi). Setelah dilalui dan terpenuhi semua hak-hak terpidana, maka
eksekusi dilaksanakan.
Hal serupa juga dijelaskan oleh Heri Aryanto, S.H. dalam artikel Apakah Polisi Bisa Menembak Mati Orang yang Diduga Perampok/Teroris?.
Beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati belum dieksekusi
mati meskipun putusannya sudah berkekuatan hukum tetap, antara lain:
1. Bahwa
dalam sistem peradilan pidana, yang menjalankan putusan pengadilan
adalah jaksa penuntut umum. Apabila belum ada keputusan eksekusi dari
jaksa penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi
tersebut belum bisa dilaksanakan;
2. Bahwa
terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, terpidana berhak
mengajukan upaya hukum grasi (pengampunan) kepada presiden berupa
permohonan perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU No. 22/2002”). Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati, sebagaimana ketentuan Pasal 3 UU No. 22/2002,
pelaksanaan eksekusi mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda sampai
ada keputusan dari presiden mengenai permohonan grasi dari terpidana
tersebut.
Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”),
permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali atas putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Permohonan grasi diajukan
paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010).
Masih terkait dengan grasi, serupa dengan penjelasan Heri Aryanto, Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko dalam artikel Penundaan Eksekusi Hukuman Mati Diduga Disengaja yang kami akses dari laman resmi Berita Satu
mengakui adanya kendala untuk mengeksekusi para terpidana mati
tersebut. Menurut dia, hal itu terkait dengan kesempatan yang diberikan
terkait upaya-upaya hukum lanjutan dari para terpidana. Seorang
terpidana mati yang menjelang eksekusinya tiba-tiba mengajukan PK
(Peninjauan Kembali) itu mau tidak mau harus diakomodir sehingga
mengakibatkan mundurnya proses eksekusi. Selain itu, usai PK ditolak, terpidana mati pun masih diberi kesempatan jika ingin mengajukan grasi. Hal itulah yang menyebabkan beberapa eksekusi terpidana mati tertunda.
Dasar Hukum:
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi;
4. Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Referensi:
1. http://www.jpnn.com/read/2013/05/20/172827/Alasan-Penundaan-Eksekusi-Hukuman-Mati-#, diakses pada 5 Agustus 2014 pukul 13.59 wib
2. http://www.beritasatu.com/hukum/116840-penundaan-eksekusi-hukuman-mati-diduga-disengaja.html,diakses pada 5 Agustus 2014 pukul 13.38 WIB