BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Sejak awal sejarah pembentukan umat
manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat, persoalan kaidah atau norma
merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai dinamisasi dan harmonisasi
kehidupan. Secara empirik sosiologis kaidah atau norma merupakan tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi
interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi hukuman atau sanksi sosial. Selain kaidah atau
norama ada Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah social
ia merupakan payung kehidupan dalam masyarakat.
Interaksi kehidupan manusia dalam
masyarakat sepanjang perjalanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan
aman-aman saja. Sepanjang kehidupan manusia, yang namanya persengketaan,
kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik SARA dan
sebagainya adalah warna-warni dari realitas yang dihadapi.
Persoalan-persoalan tersebut semakin
berkembang dalam modifikasi lain akibat
pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua usia bumi. Manusia menyadari
bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak akan tercapai tanpa kesadaran pada
diri untuk berubah, memperbaiki perilaku selain dukungan masyarakat untuk
memulihkannya. Secara kodrati, hal essensial ini akan dicapai apabila
masyarakat “menyediakan” perangkat kontrol, pengawasan sosial, baik itu berupa
peraturan tertulis maupun tidak tertulis, kelembagaan penerapan sanksi maupun
bentuk-bentuk kesepakatan masyarakat yang menjalankan fungsi tersebut. Secara
realitas unsur-unsur pengawasan sosial akan mengalami perubahan-perubahan, baik
secara evolusi maupun revolusi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah reorientasi bekerjanya
hukum dalam masyarakat ?
2) Bagaimanakah interaksi perubahan
sosial dan perubahan hukum ?
BAB II
PENBAHASAN
A. Reorientasi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat
Hukum mempunyai arti penting dalam
kehidupan masyarakat agar memelihara
harmonisasi kehidupan manusia. Sehingga sistem sosial yang berjalan dapat
harmonis dengan kehadiran hukum positif. Keberadaan hukum positif dalam
masyarakat pada akhirnya akan mengukuhkan komponen-komponen lain secara yuridis
yang membentuk satu kesatuan dalam suatu sistem hukum. Lawrence M.Friedman
dalam bukunya yang berjudul The Legal System.A Social Science Perspective, 1975
; menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa
lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum
atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di
suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat
dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa
yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun
revolusi.
Tuntutan perubahan sosial membawa dampak pada keberadaan sistem hukum
yang selama ini berlangsung dalam keajegannya. Perubahan hukum secara
sunatullah, natural dan melalui seleksi alamiah mengalami perubahan dengan
sendirinya, bukan persoalan apakah hukum mau tidak mau, suka atau tidak suka,
tetapi kembali pada persoalan perubahan itu sendiri. Jika hukum tidak mengalami
perubahan maka akan menemui banyak kendala baik itu yang berhadapan langsung
dengan rasa keadilan masyarakat, maupun persoalan penegakan hukum (law enforcement). [1]Tuntutan
yang terjadi pada diri “hukum” yang harus melakukan “pemulihan-pemulihan”
terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan memberikan konsekuensi berbeda
pada perubahan hukum yang akan dilakukan.
Selama perubahan hukum dilakukan
responsif dan mengikuti “irama” hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum
akan selalau selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari
masyarakat, dan jika hal itu dilakukan maka hukum akan seperti benda asing,
sesuatu yang berada di menara emas, tidak berpijak ke bumi, dan hal itu yang
tidak diiginkan oleh hukum itu sendiri, baik secara yuridis, sosiologis maupun
filosofis.
Untuk mencapai tujuan di atas maka
hukum memerankan dirinya sebagai kendali sosial atau kontrol sosial. Kendali
sosial atau kontrol sosial merupakan tujuan pembentukan hukum di dalam
masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi tersebut maka aspek ketertiban,
ketentraman maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi.
Secara sosiologis, persoalan
penegakan hukum, law enforcement adalah
persoalan yang kompleks jika ingin ditegakkan, serta melihat betapa banyak
penyakit hukum (patologi hukum), baik
itu sejak pra, proses maupun hasil, evaluasi, bahkan implementasi, penuh onak
dan duri. Penyelesaian penyakit ini di satu sisi membutuhkan ketekunan dan
komitmen segenap pihak adalah jawaban yang umum kita dengar. Namun pengaruh
atau intervensi adalah hal yang sosiologis dan manusiawi terjadi.[2]
Persoalan lain yang muncul adalah
beragamnya penafsiran terhadap pengaturan. Dalam kerangka ilmu hukum telah
jelas patokannya. Persoalan penafsiran merupakan persoalan yang rumit sekaligus
penting. Mengapa seseorang bertahan pada pendapat yang tidak mau terbantahkan,
merasa pendapatnya yang paling benar, tidak mau mengakui pendapat orang lain,
apalagi seseorang itu melekat jabatan penguasa, adalah perilaku yang melekat
sejak aturan disosialisasikan. Implementasi pengaturan merupakan perwujudan
dari keinginan kaidah hukum agar fungsi pengendalian sosial, kontrol sosial
dapat terjelmakan dalam masyarakat. Sejak implementasi aturan dijalankan sejak
itu pula aturan berbaur dengan masyarakat.
Aturan akan diuji kehandalannya,
apakah dapat efektif berlaku, apakah hanya barang pelengkap saja. Sejak itu
pula aturan mengalami dinamika intervensi, mengalami perbenturan, pergeseran
dan akhirnya perubahan akibat gesekan-gesakan sosial dalam interaksinya
di dalam masyarakat. Maka kondisi ini akan kembali lagi pada setting social
awal dari rangkaian pentahapan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Artinya kita
akan melihat perputaran ini merupakan siklus alamiah yang akan dihadapi dan
terus menerus berlangsung dalam tatanan kehidupan masyarakat.
B. Interaksi Perubahan Sosial dan
Perubahan Hukum
Interaksi perubahan sosial di satu sisi adalah perubahan
hukum di sisi lain juga merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, seperti
dua sisi sekeping mata uang. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah
karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Paradigma atau yang
disebut model atau cara pandang yang bersifat ilmiah adalah cara pandang yang
tidak bersifat individual melainkan kolektif,. Oleh sebab itu perjalanan
paradigma adalah perjalanan otodidak, tidak diciptakan dan diuji keabsahannya
oleh kaum ilmuwan dan masyarakat.
Apa yang kita sebut sebagai
paradigma telah mengalami proses berfikir secara metodologis keilmuan yang akan
dibuktikan keterandalannya melewati ruang dan waktu. Sebagai bentuk pegangan
dalam menganalisis, paradigma bukan merupakan hasil akhir tetapi sebuah tawaran
akademik yang memberikan jalan berfikir pada pengamat untuk mengevaluasi
kembali pola pikir yang telah dianut orang banyak. Sejalan dengan hal ini maka
yang dihindari adalah penganutan paradigma secara “kultus individu”, yang berpegang pada satu paradigma dan
membelanya mati-matian, tanpa berfikir bahwa persoalan hukum adalah persoalan
sosial, maka kerap kali yang dihadapi adalah memberikan penjelasan yang mudah
dan dapat diterima semua pihak.
Paradigma dalam proses berfikir
merupakan sebuah tawaran saja bagi proses pembelajaran suatu kaidah keilmuan,
bukan tawaran akhir. Sepanjang perjalanan umat manusia untuk terus berfikir,
maka terbuka banyak sekali kemungkinan untuk timbul paradigma-paradigma baru
dengan setting social yang berbeda.[3]
Adapun paradigma yang berkembang
dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan
hukum adalah:
1. Hukum melayani kebutuhan masyarakat,
agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya
perkembangan masyarakat
Ciri-ciri
yang terdapat dalam paradigma ini adalah:
a) Perubahan yang cenderung diikuti
oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b) Ketertinggalan hukum di belakang
perubahan sosial.
c) Penyesuaian yang cepat dari hukum
kepada keadaan baru.
d) Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e) Hukum berkembang mengikuti kejadian
berarti ditempatnya adalah dibelakang peristiwa bukan mendahuluinya.[4]
Paradigma pertama ini kita sebut
sebagai Paradigma Hukum Penyesuaian Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal
ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan
perundang-undangan yang baru, misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma
ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu
pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang
maksimal.
Lajunya perubahan sosial yang
membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan
secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk
dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat. Tetapi kebutuhan
masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan,
kepastian hukum dapat terus terpelihara.
Paradima pertama ini dalam interaksi
perubahan sosial terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini
membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan
pengaturannya. Jadi sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan
sengketa, konflik, bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian difikirkan,
apakah diperlukan pengaturannya secara formal dalam peraturan
perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum sangat tergantung
sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial yang terjadi.
2. Hukum dapat menciptakan perubahan
sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan
yang berlangsung dalam masyarakat.
Ciri-ciri
yang terdapat dalam paradigma kedua ini adalah :
a) Law
as a tool of social engineering.
b) Law
as a tool of direct social change.
c) Berorientasi ke masa depan (forward look-ing)
d) Ius Constituendum
e) Hukum berperan aktif.
f) Tidak hanya sekedar menciptakan
ketertiban tetapi menciptakan dan mendorong terjadinya perubahan dan
perkembangan tersebut.
Essensi
dari paradigma ini adalah penciptaan hukum digunakan untuk menghadapi persoalan
hukum yang akan datang atau diperkirakan bakal muncul. Paradigma kedua ini
disebut sebagai Paradigma Hukum Antisipasi Masa Depan. Persoalan hukum yang
akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang
misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Hal ini banyak kita jumpai
perundang-undangan yang telah diratifikasi di bidang hukum internasional
misalnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
Berkaitan
dengan paradigma ini, terdapat juga peraturan perundang-undangan yang digunakan
untuk mengantisipasi perubahan sosial tetapi menghadapi polemik yang
kontroversial dalam masyarakat oleh karena sanksi penjara dan denda yang sangat
tinggi seperti UULLAJR (Undang-undang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya).
Akibatnya pemerintah menunda pemberlakuan UU ini.
Kedua
paradigma di atas pada akhirnya akan berujung pada keinginan untuk membuat
produk hukum berupa peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain nilai
positif yang diambil ambil adalah :[5]
a.
Aspek
pengkajian hukum
Didahului
dengan observasi lapangan dan dianalisis berdasarkan nilai kebutuhan riil
masyarakat. Hasil riset dapat dijadikan parameter untuk menentukan produk
hukum yang dikeluarkan. Studi komparatif sangat dimungkinkan mengingat produk
hukum yang akan dibuat telah belajar di tempat lain.
b.
Aspek
pendidikan hukum.
Kedua paradigma tersebut menjadi wadah penting
bagi proses pembelajaran dalam pendidikan hukum. Orientasi pendidikan hukum
sangat berhubungan dengan pola peningkatan intelektual hukum dengan menelaah
kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat yang nantinya dapat diambil
konsep-konsep dasar pengembangan pendidikan hukum.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulana adalah Hukum mempunyai arti penting dalam pengendalian
sosial dan sarana kontrol sosial maka
dalam pengaturanya memerlukan sistem
hukum yang ampuh sesuai dengan
perkembangan dan perubahan sosial dalam masyarakat, dengan mengacu pada kaidah-kaidah dasar yakni kaidah agama, kaidah
hukum dan kaidah sosial. Kemududian hukum di satu sisi melayani kebutuhan masyarakat
disisi lain juga harus dapat menciptakan perubahan sosial agar supaya hukum
tidak akan menjadi ketinggalan eleh karena lajunya perkembangan masyarakat.
B. Saran
Hukum dan
masyarakat mempunyai hubungan yang erat dan saling membutuhkan, masyarakt butuh
hukum, hukum butuh masyrakat, dalam perjalannya hukum tidak berlaku efektif
tampa ada partisipasi aktif baik berupa lembaga pengerak hukum maupun
masyarakat sebagi subjek hukum itu sendiri.
[1]
Sabian Usman, Dasar-Dasar
sosiologi Hukum (makna dialok antara hukum dan masyarakat), Penerbit
Pustaaka pelajar Yogyakarta 2010 hlm 161
[2]
Nitibaskara, R,R,T Ketika kejahatan Berdaulat sebuah pendekatan
kriminologi hukum dan sosiologi Jakarta , CV Rajawali hlm 36
Ibid, hlm 73
[3] http://www.google.com/search,
pradigma-pradigma sosial dalam maksyarkat,, di akses 15 desember 2012
[4]http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1878:dinamisasi-hukum
dalam-realit di akses 18
desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar