Beranda

Rabu, 13 Maret 2013

DINAMISASI HUKUM DALAM REALITAS SOSIAL



BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat, persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai dinamisasi dan harmonisasi kehidupan. Secara empirik sosiologis kaidah atau norma merupakan  tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi  hukuman atau sanksi sosial. Selain kaidah atau norama ada Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah social ia merupakan payung kehidupan dalam masyarakat.
Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat sepanjang perjalanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-aman saja. Sepanjang kehidupan manusia, yang namanya persengketaan, kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik  SARA  dan sebagainya adalah warna-warni  dari realitas yang dihadapi. Persoalan-persoalan  tersebut semakin berkembang dalam  modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua usia bumi. Manusia menyadari bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak akan tercapai tanpa kesadaran pada diri untuk berubah, memperbaiki perilaku selain dukungan masyarakat untuk memulihkannya. Secara kodrati, hal essensial ini akan dicapai apabila masyarakat “menyediakan” perangkat kontrol, pengawasan sosial, baik itu berupa peraturan tertulis maupun tidak tertulis, kelembagaan penerapan sanksi maupun bentuk-bentuk kesepakatan masyarakat yang menjalankan fungsi tersebut. Secara realitas unsur-unsur pengawasan sosial akan mengalami perubahan-perubahan, baik secara evolusi maupun revolusi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

      B. Rumusan Masalah
     1)      Bagaimanakah reorientasi bekerjanya hukum dalam masyarakat ?
     2)      Bagaimanakah interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum ?


BAB II
PENBAHASAN
A.    Reorientasi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat
Hukum mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat  agar memelihara harmonisasi kehidupan manusia. Sehingga sistem sosial yang berjalan dapat harmonis dengan kehadiran hukum positif. Keberadaan hukum positif dalam masyarakat pada akhirnya akan mengukuhkan komponen-komponen lain secara yuridis yang membentuk satu kesatuan dalam suatu sistem hukum. Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System.A Social Science Perspective, 1975 ; menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.
Tuntutan perubahan sosial  membawa dampak pada keberadaan sistem hukum yang selama ini berlangsung dalam keajegannya. Perubahan hukum secara sunatullah, natural dan melalui seleksi alamiah mengalami perubahan dengan sendirinya, bukan persoalan apakah hukum mau tidak mau, suka atau tidak suka, tetapi kembali pada persoalan perubahan itu sendiri. Jika hukum tidak mengalami perubahan maka akan menemui banyak kendala baik itu yang berhadapan langsung dengan rasa keadilan masyarakat, maupun persoalan penegakan hukum (law enforcement). [1]Tuntutan yang terjadi pada diri “hukum” yang harus melakukan “pemulihan-pemulihan” terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan memberikan konsekuensi berbeda pada perubahan hukum yang akan dilakukan.
Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti “irama” hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalau selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari masyarakat, dan jika hal itu dilakukan maka hukum akan seperti benda asing, sesuatu yang berada di menara emas, tidak berpijak ke bumi, dan hal itu yang tidak diiginkan oleh hukum itu sendiri, baik secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Untuk mencapai tujuan di atas maka hukum memerankan dirinya sebagai kendali sosial atau kontrol sosial. Kendali sosial atau kontrol sosial merupakan tujuan pembentukan hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi tersebut maka aspek ketertiban, ketentraman maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi.
Secara sosiologis, persoalan penegakan hukum, law enforcement adalah persoalan yang kompleks jika ingin ditegakkan, serta melihat betapa banyak penyakit hukum (patologi hukum), baik itu sejak pra, proses maupun hasil, evaluasi, bahkan implementasi, penuh onak dan duri. Penyelesaian penyakit ini di satu sisi membutuhkan ketekunan dan komitmen segenap pihak adalah jawaban yang umum kita dengar. Namun pengaruh atau intervensi adalah hal yang sosiologis dan manusiawi terjadi.[2]
Persoalan lain yang muncul adalah beragamnya penafsiran terhadap pengaturan. Dalam kerangka ilmu hukum telah jelas patokannya. Persoalan penafsiran merupakan persoalan yang rumit sekaligus penting. Mengapa seseorang bertahan pada pendapat yang tidak mau terbantahkan, merasa pendapatnya yang paling benar, tidak mau mengakui pendapat orang lain, apalagi seseorang itu melekat jabatan penguasa, adalah perilaku yang melekat sejak aturan disosialisasikan. Implementasi pengaturan merupakan perwujudan dari keinginan kaidah hukum agar fungsi pengendalian sosial, kontrol sosial dapat terjelmakan dalam masyarakat. Sejak implementasi aturan dijalankan sejak itu pula aturan berbaur dengan masyarakat.

Aturan akan diuji kehandalannya, apakah dapat efektif berlaku, apakah hanya barang pelengkap saja. Sejak itu pula aturan mengalami dinamika intervensi, mengalami perbenturan, pergeseran dan akhirnya perubahan akibat gesekan-gesakan sosial dalam interaksinya  di dalam masyarakat. Maka kondisi ini akan kembali lagi pada setting social awal dari rangkaian pentahapan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Artinya kita akan melihat perputaran ini merupakan siklus alamiah yang akan dihadapi dan terus menerus berlangsung dalam tatanan kehidupan masyarakat.

B.     Interaksi Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum

Interaksi perubahan sosial di satu sisi adalah perubahan hukum di sisi lain juga merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, seperti dua sisi sekeping mata uang. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Paradigma atau yang disebut model atau cara pandang yang bersifat ilmiah adalah cara pandang yang tidak bersifat individual melainkan kolektif,. Oleh sebab itu perjalanan paradigma adalah perjalanan otodidak, tidak diciptakan dan diuji keabsahannya oleh kaum ilmuwan dan masyarakat.
Apa yang kita sebut sebagai paradigma telah mengalami proses berfikir secara metodologis keilmuan yang akan dibuktikan keterandalannya melewati ruang dan waktu. Sebagai bentuk pegangan dalam menganalisis, paradigma bukan merupakan hasil akhir tetapi sebuah tawaran akademik yang memberikan jalan berfikir pada pengamat untuk mengevaluasi kembali pola pikir yang telah dianut orang banyak. Sejalan dengan hal ini maka yang dihindari adalah penganutan paradigma secara “kultus individu”, yang berpegang pada satu paradigma dan membelanya mati-matian, tanpa berfikir bahwa persoalan hukum adalah persoalan sosial, maka kerap kali yang dihadapi adalah memberikan penjelasan yang mudah dan dapat diterima semua pihak.

Paradigma dalam proses berfikir merupakan sebuah tawaran saja bagi proses pembelajaran suatu kaidah keilmuan, bukan tawaran akhir. Sepanjang perjalanan umat manusia untuk terus berfikir, maka terbuka banyak sekali kemungkinan untuk timbul paradigma-paradigma baru dengan setting social yang berbeda.[3]
Adapun paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum adalah:

1.      Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat

Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma  ini adalah:
a)      Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b)      Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial.
c)      Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru.
d)     Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e)      Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti ditempatnya adalah dibelakang peristiwa bukan mendahuluinya.[4]
Paradigma pertama ini kita sebut sebagai Paradigma Hukum Penyesuaian Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru, misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang maksimal.
Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat. Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus terpelihara.
Paradima pertama ini dalam interaksi perubahan sosial terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan pengaturannya. Jadi sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa, konflik, bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian difikirkan, apakah diperlukan pengaturannya secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum sangat tergantung sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial yang terjadi.

2.      Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat.

Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma kedua ini adalah :
a)      Law as a tool of social engineering.
b)      Law as a tool of direct social change.
c)      Berorientasi ke masa depan (forward look-ing)
d)     Ius Constituendum
e)      Hukum berperan aktif.
f)       Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut.

Essensi dari paradigma ini adalah penciptaan hukum digunakan untuk menghadapi persoalan hukum yang akan datang atau diperkirakan bakal muncul. Paradigma kedua ini disebut sebagai Paradigma Hukum Antisipasi Masa Depan. Persoalan hukum yang akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Hal ini banyak kita jumpai perundang-undangan yang telah diratifikasi di bidang hukum internasional misalnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
Berkaitan dengan paradigma ini, terdapat juga peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial tetapi menghadapi polemik yang kontroversial dalam masyarakat oleh karena sanksi penjara dan denda yang sangat tinggi seperti UULLAJR (Undang-undang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya). Akibatnya pemerintah menunda pemberlakuan UU ini.
Kedua paradigma di atas pada akhirnya akan berujung pada keinginan untuk membuat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain nilai positif yang diambil ambil adalah :[5]

a.          Aspek pengkajian hukum
Didahului dengan observasi lapangan dan dianalisis berdasarkan nilai kebutuhan riil masyarakat.  Hasil riset dapat dijadikan parameter untuk menentukan produk hukum yang dikeluarkan. Studi komparatif sangat dimungkinkan mengingat produk hukum yang akan dibuat telah belajar di tempat lain.

b.         Aspek pendidikan hukum.
 Kedua paradigma tersebut menjadi wadah penting bagi proses pembelajaran dalam pendidikan hukum. Orientasi pendidikan hukum sangat berhubungan dengan pola peningkatan intelektual hukum dengan menelaah kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat yang nantinya dapat diambil konsep-konsep dasar pengembangan pendidikan hukum.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat  di tarik  kesimpulana adalah  Hukum mempunyai arti penting dalam pengendalian sosial dan sarana kontrol sosial  maka dalam pengaturanya  memerlukan sistem hukum yang ampuh sesuai dengan  perkembangan dan perubahan sosial dalam masyarakat, dengan mengacu pada  kaidah-kaidah dasar yakni kaidah agama, kaidah hukum dan kaidah sosial. Kemududian hukum di satu sisi melayani kebutuhan masyarakat disisi lain juga harus dapat menciptakan perubahan sosial agar supaya hukum tidak akan menjadi ketinggalan eleh karena lajunya perkembangan masyarakat.


B.     Saran
Hukum dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat dan saling membutuhkan, masyarakt butuh hukum, hukum butuh masyrakat, dalam perjalannya hukum tidak berlaku efektif tampa ada partisipasi aktif baik berupa lembaga pengerak hukum maupun masyarakat sebagi subjek hukum itu sendiri.















[1]  Sabian Usman, Dasar-Dasar sosiologi Hukum (makna dialok antara hukum dan masyarakat), Penerbit Pustaaka pelajar Yogyakarta 2010 hlm 161
[2]  Nitibaskara, R,R,T  Ketika kejahatan Berdaulat sebuah pendekatan kriminologi hukum dan sosiologi Jakarta , CV Rajawali hlm 36
Ibid, hlm 73
[3] http://www.google.com/search, pradigma-pradigma sosial dalam maksyarkat,, di akses  15 desember 2012
[5]  Ibid  hlm 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar