BAB
I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Penegakan hukum melalui
sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir legisme,
cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan kepada peraturan
perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat persoalan hukum
sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-mata ruang
hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula dilihat dari
perspektif sosial, perilaku yang seyogyanya dapat diterima oleh semua insan yang ada di dalamnya.
Cara pandang legisme
inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum sehingga ia sesuai
dengan konteks sosialnya.
Penegakan hukum melalui
sistem peradilan pidana saat ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak,
bahkan dunia internasional menilai lembaga pengadilan Indonesia sangat buruk,
terutama yang dilakukan oleh elemen-elemen penegak hukum mulai dari polisi,
jaksa, hakim sampai para petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Peradilan
merupakan hal yang menunjuk pada segala
aktivitas pengadilan dalam menjalankan fungsinya yakni penegakan hukum dan
penegakan keadilan.[1]
Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya memerankan fungsinya
sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran dan keadilan.
Bahkan, dapat menjadi sarana rekayasa social (social engineering) bagi masyarakat. Kenyataannya malah
menimbulkan anarkhi sosial yang berkepanjangan. Tidak sedikit polisi yang
bertindak tidak dengan hati nurani, tapi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang
dimiliki, tidak jarang pula jaksa, hakim yang memeras dan merubah perkara hanya
demi mendapatkan keuntungan yang bersifat materi. Putusan- putusan pengadilan
sering tidak diterima masyarakat. Keadaan-keadaan seperti itu diperparah dengan
perilaku oknum aparat penegak hukum yang kurang terpuji dan melakukan perbuatan
yang mencoreng diri dan lembaganya sendiri. Kasus suap yang terjadi di
hakim Agung . Hal ini menjadi salah satu
tanda bahwa penegakan hukum di Indonesia memang sedang dihadapkan pada masalah
besar.
Kebanyakan aparat
penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan
menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum
(undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak
dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat
secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral, perilaku,
dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam
penegakan hukum.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah gagasan hukum progresif serta
penerapannya dalam konteks sistem peradilan pidana ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penerapan Hukum Progresif dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara
sederhana sistem peradilan pidana merupakan suatu sarana penanggulangan
kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan. Secara eksplisit, pengertian sistem peradilan
pidana itu menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada
dalam peradilan, sehingga dikenal dengan sebutan sistem peradilan pidana
terpadu (integrated criminal justice
system).[2] Pengertian
sistem peradilan pidana (criminal justice
system) disebut juga dengan istilah law
enforcement system,[3]
Pengertian
di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu terdapat
kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang
meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat.
1)
Gagsan
hukum progresif di Lembaga Kepolisian
Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan
kepolisian, tidak lain berupa penerapan
atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status quo dari hukum. polisi itu adalah
“hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas
membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi lain untuk polisi, kecuali sebagai
aparat penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga
semata-mata terhadap hukum yang menjadi “majikannya”.
Dilihat
dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai pusatnya,
tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi menjadi pengayom dan pelindung
rakyat, maka bukan hukum yang menjadi patokan utama, tapi hati nurani. Artinya,
ketika ada suatu kasus, yang pertama kali dilihat bukan aturan-aturan hukum
yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal lain di luar hukum. Ia tidak lagi
terkungkung dengan rumusan formal perundang-undangan yang mengancam hukuman
penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat kasus itu sesuai dengan hati dan
pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut dengan “polisi protagonis”, yaitu
polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat kecil. Ia memiliki kesabaran,
keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis yang selama ini menjadi
majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.[4]
Pemahaman
ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari masyarakat.
Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang ditekankan bukan
pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan peraturan-peraturan,
melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada masyarakat dan warganya.
Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban terhadap tuntutan dan
kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep inilah yang kemudian
dikenal dengan community policing.[5]
Memang berat
konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham formalisme yang diterapkan
oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau konsep ini diterapkan, akan
ada perubahan pola pikir, cara pandang dan paradigm polisi di dalam
memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu sendiri. Kriteria untuk
terciptanya community policing ini paling tidak antara lain; mendekatkan kepada
rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan akuntabel terhadap
masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan melayani dan menolong; peka
dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga Negara (masyarakat) seperti
membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan, frustasi, pengangguran,
sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga
ditemukan dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan
diskresi. Jika hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan
tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal
diskresi yang dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam
penyelenggaraan hukum. Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan
bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan
aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang
bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral,
kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan
formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan pelaksana
(enforcement agencies). Artinya, kewenanganformal yang diberikan tidak otomatis
memberi kekuasaan kepada badan badan untuk mengimplementasikan kekuasaan
tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi legalisasi, sedang aktualisasi
kekuasaan disebarkan ke masyarakat.[6]
Jika konsep ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki
kewenangan untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara
otomatis dapat diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku
dan kejahatan yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial
kemasyarakatan. Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi
satu-satunya majikan yang harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan
manusia.
2)
Gagasan
hukum progresif di lembaga kejaksaan.
Kejaksaan
ada dua hal yang melekat yaitu:
birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hirarkhis dan berlaku
sistem komando. Keempat karakter ini diturunkan dari doktrin bahwa “kejaksaan
adalah satu” (een en ondeelbaar).
Karakter
birokratis, menghendaki penanganan perkara dilakukan dengan pentahapan- pentahapan
yang tegas, berurutan dan berjenjang, yang dilaksanakan oleh bidang yang
berbeda (penyelidikan oleh intelijen dan penyidikan- penuntutan oleh bagian
pidana khusus).
Karakter
sentralistik menghendaki semua tahap penanganan perkara (penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan) dikendalikan dan didasarkan atas kebijaksanaan serta
petunjuk pimpinan secara hierarkhis. Sistem komando, menempatkan birokrasi di
tingkat yang lebih tinggi sebagai komandan yang dapat memberikan perintah kepada
birokrasi tingkat bawah, dan birokrasi level bawah wajib menjalankan perintah.
Pengendalian penanganan perkara dilaksanakan secara berjenjang mulai dari
tingkat Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati)
hingga Kepala Jaksa Agung (Kejagung), yang diwujudkan dalam bentuk: (1)
pembuatan laporan penanganan perkara (hasil penyelidikan, hasil penyidikan,
hasil persidangan); (2) ekspose (hasil penyelidikan, hasil penyidikan, rencana
dakwaan); (3) pembuatanrencana dakwaan sebelum dilimpahkan ke pengadilan; (4)
pengajuan rencana tuntutan (rentut) sebelum pembacaan tuntutan pidana.[7]
Karakteristik
lembaga kejaksaan di atas, tentu saja masih pro status qou dalam arti masih menghamba pada aturan-aturan hukum
formal dengan paradigma positivisme yang menjadi meanstream utamanya. Sistem yang diterapkan tidak memberikan
kebebasan kepada aktor-aktor jaksa untuk melakukan kreasi khususnya berkaitan
dengan mekanisme penyusunan dakwaan dan penuntutan.
Hukum
progresif melakukan upaya pembebasan terhadap konsep-konsep yang dianggap
mapan, dimana kekakuan sistem dan aturan formal masih membelenggu dan menjadi
pusat perhatian, tapi beralih pada manusia sebagai titik sentralnya, karena
hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya. Karakteristik yang demikian, menurut
Satjipto Rahardjo, merupakan karakteristik dari hukum modern yang telah
menimbulkan perubahan paradigmatic
dari orde keadilan menjadi orde undang-undang dan prosedur dengan adanya
rasionalisasi strukturisasi, formulasi serta birokratisasi. Fokus perhatian
juga bergeser dari manusia dan kemanusiaan, kearah penegakan pada peraturan,
struktur dan prosedur.[8]
Dengan pemahaman
seperti ini, jaksa menjadi titik sentral. Ketika ia menghadapi penjahat, yang
ada dalam pikirannya bukan pada bagaimana menerapkan aturan yang terdapat dalam
rumusan pasal, tapi mementingkan aspek manusia, empati, hati nurani, dan
keberanian, karena hukum progresif melibatkan unsur manusia atau perbuatan
manusia dalam berhukum. menyangkut
budaya aparat penegak hukum (jaksa) di dalam mengkonstruksi pandangan mereka
ketika menegakkan hukum, yang tidak menyerahkan bulat-bulat kepada aturan,
tetapi kepada unsur lain di luar hukum. Keberanian dibutuhkan di sini, karena
hukum progresif membutuhkan keberanian di dalamnya. Penegakan hukum ada
kaitannya dengan keberanian. Lebih-lebih menghadapi suatu keadaan luar biasa
dewasa ini, yang dibutuhkan sungguh adalah penegakan yang progresif. Penegakan
hukum progresif oleh Jaksa tidak bisa diserahkan kepada caracara konvensional sistem pencet tombol,
melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan yang penuh greget (compassion, empathy, commitment, dandare
atau courage). Oleh karena itu, faktor keberanian pun menjadi penting dan
mendapat tempat.[9]
Keberanian ini meliputi keberanian untuk
menghukum seseorang yang telah nyata melakukan perbuatan yang merugikan dan
bertentangan dengan perasaan keadilan dan hati nurani masyarakat, dan
keberanian untuk tidak meneruskan perkara ke pengadilan. Hal yang terakhir ini
lazim disebut dengan diskresi.
Diskresi merupakan salah satu bagian dari gagasan hukum progresif, karena
terkait dengan masalah hati nurani, empati dan kemanusiaan. Hukum progresif
menolak anggapan bahwa manusia untuk hukum, tapi hukum untuk manusia. Ketika
jaksa berpandangan bahwa membawa suatu perkara ke pengadilan hanya akan membuat
seseorang (penjahat) semakin sengsara, maka dengan keberanian, empati,
kejujuran yang dimiliki, ia bisa saja tidak melakukan itu. Ia memberontak dari
kungkungan aturan-aturan formal yang serba formal, prosedural dan sentralistik.
3)
Gagasan
Hukum progresif di Lembaga pengadilan.
Pengadilan adalah badan
atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara.[10]
Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem hukum formal
yang terlepas dengan masyarakat, sehingga tidak heran kalau dikatakan,
pengadilan terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan itu berada.
Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke kediktatoran pengadian (judicial dictatorship), oleh karena
pengadilan sebagai lembaga memutus
semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh
hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat
tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengdilan menjadi terisolasi dari
keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dari tubuh itu.[11]
Tidak
sedikit dari putusan-putusan pengadilan yang malah jauh dari dinamika masyarakat.
Pengadilan yang seharusnya menjadi
tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari
menang (to win the case). Praktik
yang berlandaskan filsafat liberal ini makin meluas dilakukan dunia sehingga
sedikit banyak menjadi standar. Bangsa yang mencoba mengotak-atik kemapanan
dari sistem liberal itu akan dicap sebagai tidak beradab, melanggar prinsip
universal, hak asasi dan sebagainya.
Dalam
kaitan dengan ini, pengadilan progresif menolak pemahaman , dengan suatu maksim
“hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat untuk hukum, apa pun
yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah
kata-kata undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim bukan hanya
teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim
sesunggunya mulia karena bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya,[12]
sehingga tidak salah ungkapan yang mengatakan, bahwa penjatuhan pidana adalah
suatu pergulatan kemanusiaan. Ungkapan di atas menggambarkan betapa berat dan
terkurasnya hakim saat menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu
pergulatan batin. Suasana ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan
yang sering tidak mudah. Hakim harus menyadari benar bahwa dalam dirinya
terjadi pergulatan kemanusiaan dihadapkan aturan hukum, fakta-fakta, argumen jaksa,
argumen terdakwa atau advokat, dan lebih dari itu masih harus meletakkan
dirinya di jantung masyarakat. Ada suatu ungkapan indah yang mengatakan bahwa
hakim juga harus mewakili suara rakyat yang diam, yang tidak terwakili, dan
yang tidak terdengar (unrepresented dan
under-represented).
Alangkah mulia sebenarnya tugas hakim.
Mendengarkan, melihat, membaca, kemudian menjatuhkan pilihan yang adil adalah
pekerjaan yang amat berat dan karena itu menguras tenaga dan pikiran. Dalam
keadaan sekarang, masih ditambah dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan
ke arah dunia materiil.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sistem peradilan pidana dalam hukum progresif harus menjadi ruh dalam penegakan hukum pidana
khususnya kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Karena , “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.
Gagasan ini merupakan antitesa dari karakteristik sistem peradilan pidana yang masih
“mengkultuskan” hukum modern, sehingga
dianggap tidak mampu lagi mendatangkan keadilan bagi pencari keadilan. Kebanyakan dari polisi, jaksa dan hakim masih menjadikan aturan-aturan formal
sebagai “majikan” yang selalu “disembah” dan dijadikan patokan di dalam menyelesaikan
suatu perkara. Jika gagasan ini
diterapkan, akan ada cara pandang baru dalam penegakan hukum di Indonesia, yang
tidak hanya bertolak pada aturan-aturan formal, tapi juga melihat hal-hal yang
di luar itu. Misalnya Kesabaran, kejujuran,
empati, dedikasi, komitmen, keberanian dan hati nurani menjadi bagian penting
dalam penegakan hukum.
B.
Saran
sistem
peradilan pidana dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan merupakan
lembaga penegak hukum dan penegak keadilan, maka lembaga-lembaga tersebut di
tuntut untuk berada pada garda terdepan untuk menyelesaikan masalah-masalah
hukum demi menjaga independensinya untuk
menjadi sistem peradilan pidana yang baik dan berhati
nurani, untuk mewujudkanya bukan saja tangung jawab kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan tetapi menjadi kewajiban kita
semua untuk bersama-sama menjaga ketertiban . Artinya, tidak hanya menjadi
tugas dan kewajiban para penegak hukum yang ada dalam sistem peradilan pidana
saja, tapi juga tugas dan kewajiban kita semua.
[2] Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Cetk. Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang , hlm 1
[3] Bryan A.
Garner, 2004.Black’s Law Dictionary, , Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika
Serikat, , hlm. 901
[4] Satjipto
Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil
Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 30-31
[5] Ibid hlm, 33
[6] Satjipto
Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir,
Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 45-46
[7] Rekonstruksi
Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan,
dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, dalam www.antikorupsi.org, diakses
tanggal 28 november 2012
[8] Satjipto
Rahardjo, 2005 “Pendidikan Hukum Sebagai
Pendidikan Manusia”, artikel pada Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1 No. 1 ,
hlm. 1
[9] Satjipto
Rahardjo,2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 63.
[11] Ibid., hlm. 38
[12] Ibid., hlm. 56
[13] Satjipto
Rahardjo, “Perang di Balik Toga Hakim”,
artikel pada Harian Kompas, 9 Juli 2003 http://www.google.com/s=Perang+di+Balik+Toga+Hakim”%2C+artikel+pada+Harian+Kompas di akses 17 Desember
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar