Beranda

Minggu, 17 Februari 2013

Sistem peradilan pidana progresif



BAB I
PENDAHULUAN

A .  Latar Belakang

Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang seyogyanya  dapat diterima oleh  semua insan yang ada di dalamnya.
Cara pandang legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya.
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, bahkan dunia internasional menilai lembaga pengadilan Indonesia sangat buruk, terutama yang dilakukan oleh elemen-elemen penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim sampai para petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Peradilan merupakan  hal yang menunjuk pada segala aktivitas pengadilan dalam menjalankan fungsinya yakni penegakan hukum dan penegakan keadilan.[1] Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya memerankan fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan, dapat menjadi sarana rekayasa social (social engineering) bagi masyarakat. Kenyataannya malah menimbulkan anarkhi sosial yang berkepanjangan. Tidak sedikit polisi yang bertindak tidak dengan hati nurani, tapi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, tidak jarang pula jaksa, hakim yang memeras dan merubah perkara hanya demi mendapatkan keuntungan yang bersifat materi. Putusan- putusan pengadilan sering tidak diterima masyarakat. Keadaan-keadaan seperti itu diperparah dengan perilaku oknum aparat penegak hukum yang kurang terpuji dan melakukan perbuatan yang mencoreng diri dan lembaganya sendiri. Kasus suap yang terjadi di hakim  Agung . Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa penegakan hukum di Indonesia memang sedang dihadapkan pada masalah besar.
Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gagasan hukum progresif serta penerapannya dalam konteks sistem peradilan pidana ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Penerapan Hukum Progresif  dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara sederhana sistem peradilan pidana merupakan suatu sarana penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan.  Secara eksplisit, pengertian sistem peradilan pidana itu menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam peradilan, sehingga dikenal dengan sebutan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).[2] Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan istilah law enforcement system,[3]
Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu terdapat kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat.
1)         Gagsan hukum progresif di Lembaga Kepolisian
 Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian,  tidak lain berupa penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status quo dari hukum. polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum yang menjadi “majikannya”.
Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama.  Ketika polisi menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang-undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.[4]
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan community policing.[5]
 Memang  berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan paradigm polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak antara lain; mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
 Di samping  gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum. Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenanganformal yang diberikan tidak otomatis memberi kekuasaan kepada badan badan untuk mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.[6] Jika konsep ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.

2)         Gagasan hukum progresif  di lembaga kejaksaan.
Kejaksaan ada dua hal yang melekat  yaitu: birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hirarkhis dan berlaku sistem komando. Keempat karakter ini diturunkan dari doktrin bahwa “kejaksaan adalah satu” (een en ondeelbaar).
Karakter birokratis, menghendaki penanganan perkara dilakukan dengan pentahapan- pentahapan yang tegas, berurutan dan berjenjang, yang dilaksanakan oleh bidang yang berbeda (penyelidikan oleh intelijen dan penyidikan- penuntutan oleh bagian pidana khusus).
Karakter sentralistik menghendaki semua tahap penanganan perkara (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) dikendalikan dan didasarkan atas kebijaksanaan serta petunjuk pimpinan secara hierarkhis. Sistem komando, menempatkan birokrasi di tingkat yang lebih tinggi sebagai komandan yang dapat memberikan perintah kepada birokrasi tingkat bawah, dan birokrasi level bawah wajib menjalankan perintah. Pengendalian penanganan perkara dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) hingga Kepala Jaksa Agung (Kejagung), yang diwujudkan dalam bentuk: (1) pembuatan laporan penanganan perkara (hasil penyelidikan, hasil penyidikan, hasil persidangan); (2) ekspose (hasil penyelidikan, hasil penyidikan, rencana dakwaan); (3) pembuatanrencana dakwaan sebelum dilimpahkan ke pengadilan; (4) pengajuan rencana tuntutan (rentut) sebelum pembacaan tuntutan pidana.[7]
Karakteristik lembaga kejaksaan di atas, tentu saja masih pro status qou dalam arti masih menghamba pada aturan-aturan hukum formal dengan paradigma positivisme yang menjadi meanstream utamanya. Sistem yang diterapkan tidak memberikan kebebasan kepada aktor-aktor jaksa untuk melakukan kreasi khususnya berkaitan dengan mekanisme penyusunan dakwaan dan penuntutan.
Hukum progresif melakukan upaya pembebasan terhadap konsep-konsep yang dianggap mapan, dimana kekakuan sistem dan aturan formal masih membelenggu dan menjadi pusat perhatian, tapi beralih pada manusia sebagai titik sentralnya, karena hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya. Karakteristik yang demikian, menurut Satjipto Rahardjo, merupakan karakteristik dari hukum modern yang telah menimbulkan perubahan paradigmatic dari orde keadilan menjadi orde undang-undang dan prosedur dengan adanya rasionalisasi strukturisasi, formulasi serta birokratisasi. Fokus perhatian juga bergeser dari manusia dan kemanusiaan, kearah penegakan pada peraturan, struktur dan prosedur.[8]
 Dengan pemahaman seperti ini, jaksa menjadi titik sentral. Ketika ia menghadapi penjahat, yang ada dalam pikirannya bukan pada bagaimana menerapkan aturan yang terdapat dalam rumusan pasal, tapi mementingkan aspek manusia, empati, hati nurani, dan keberanian, karena hukum progresif melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum.  menyangkut budaya aparat penegak hukum (jaksa) di dalam mengkonstruksi pandangan mereka ketika menegakkan hukum, yang tidak menyerahkan bulat-bulat kepada aturan, tetapi kepada unsur lain di luar hukum. Keberanian dibutuhkan di sini, karena hukum progresif membutuhkan keberanian di dalamnya. Penegakan hukum ada kaitannya dengan keberanian. Lebih-lebih menghadapi suatu keadaan luar biasa dewasa ini, yang dibutuhkan sungguh adalah penegakan yang progresif. Penegakan hukum progresif oleh Jaksa tidak bisa diserahkan kepada caracara konvensional sistem pencet tombol, melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan yang penuh greget (compassion, empathy, commitment, dandare atau courage). Oleh karena itu, faktor keberanian pun menjadi penting dan mendapat tempat.[9]
 Keberanian ini meliputi keberanian untuk menghukum seseorang yang telah nyata melakukan perbuatan yang merugikan dan bertentangan dengan perasaan keadilan dan hati nurani masyarakat, dan keberanian untuk tidak meneruskan perkara ke pengadilan. Hal yang terakhir ini lazim disebut dengan diskresi. Diskresi merupakan salah satu bagian dari gagasan hukum progresif, karena terkait dengan masalah hati nurani, empati dan kemanusiaan. Hukum progresif menolak anggapan bahwa manusia untuk hukum, tapi hukum untuk manusia. Ketika jaksa berpandangan bahwa membawa suatu perkara ke pengadilan hanya akan membuat seseorang (penjahat) semakin sengsara, maka dengan keberanian, empati, kejujuran yang dimiliki, ia bisa saja tidak melakukan itu. Ia memberontak dari kungkungan aturan-aturan formal yang serba formal, prosedural dan sentralistik.
3)            Gagasan Hukum progresif di  Lembaga pengadilan.
Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.[10] Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem hukum formal yang terlepas dengan masyarakat, sehingga tidak heran kalau dikatakan, pengadilan terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan itu berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke kediktatoran pengadian (judicial dictatorship), oleh karena pengadilan sebagai lembaga  memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengdilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dari tubuh itu.[11]
Tidak sedikit dari putusan-putusan pengadilan yang malah jauh dari dinamika masyarakat.  Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case). Praktik yang berlandaskan filsafat liberal ini makin meluas dilakukan dunia sehingga sedikit banyak menjadi standar. Bangsa yang mencoba mengotak-atik kemapanan dari sistem liberal itu akan dicap sebagai tidak beradab, melanggar prinsip universal, hak asasi dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan ini, pengadilan progresif menolak pemahaman , dengan suatu maksim “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim bukan hanya teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sesunggunya mulia karena bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya,[12] sehingga tidak salah ungkapan yang mengatakan, bahwa penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan. Ungkapan di atas menggambarkan betapa berat dan terkurasnya hakim saat menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu pergulatan batin. Suasana ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan yang sering tidak mudah. Hakim harus menyadari benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan dihadapkan aturan hukum, fakta-fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa atau advokat, dan lebih dari itu masih harus meletakkan dirinya di jantung masyarakat. Ada suatu ungkapan indah yang mengatakan bahwa hakim juga harus mewakili suara rakyat yang diam, yang tidak terwakili, dan yang tidak terdengar (unrepresented dan under-represented).
 Alangkah mulia sebenarnya tugas hakim. Mendengarkan, melihat, membaca, kemudian menjatuhkan pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan karena itu menguras tenaga dan pikiran. Dalam keadaan sekarang, masih ditambah dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan ke arah dunia materiil.[13]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sistem peradilan pidana dalam  hukum progresif  harus menjadi ruh dalam penegakan hukum pidana  khususnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Karena , “hukum   untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Gagasan ini merupakan antitesa dari karakteristik sistem peradilan pidana yang masih “mengkultuskan” hukum  modern, sehingga dianggap tidak mampu lagi mendatangkan keadilan bagi pencari  keadilan. Kebanyakan dari polisi, jaksa dan  hakim masih menjadikan aturan-aturan formal sebagai “majikan” yang  selalu  “disembah” dan dijadikan patokan di dalam menyelesaikan suatu perkara.  Jika gagasan ini diterapkan, akan ada cara pandang baru dalam penegakan hukum di Indonesia, yang tidak hanya bertolak pada aturan-aturan formal, tapi juga melihat hal-hal yang di luar itu.  Misalnya Kesabaran, kejujuran, empati, dedikasi, komitmen, keberanian dan hati nurani menjadi bagian penting dalam penegakan hukum.
B.     Saran

sistem peradilan pidana dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan merupakan lembaga penegak hukum dan penegak keadilan, maka lembaga-lembaga tersebut di tuntut untuk berada pada garda terdepan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum demi menjaga independensinya  untuk menjadi   sistem peradilan pidana yang baik dan berhati nurani, untuk mewujudkanya bukan saja tangung jawab kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tetapi  menjadi kewajiban kita semua untuk bersama-sama menjaga ketertiban . Artinya, tidak hanya menjadi tugas dan kewajiban para penegak hukum yang ada dalam sistem peradilan pidana saja, tapi juga tugas dan kewajiban kita semua.


[1]  Sidik Sunaryo, 2005, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit UMM Press, Malang, , hlm 56.
[2] Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetk. Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang , hlm 1
[3] Bryan A. Garner, 2004.Black’s Law Dictionary, ,  Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika Serikat, , hlm. 901
[4] Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta,  hlm. 30-31
[5] Ibid  hlm, 33
[6] Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 45-46
[7] Rekonstruksi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, dalam www.antikorupsi.org, diakses tanggal 28 november  2012
[8] Satjipto Rahardjo, 2005 “Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia”, artikel pada Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1 No. 1 , hlm. 1
[9] Satjipto Rahardjo,2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 63.
[11] Ibid., hlm. 38
[12] Ibid., hlm. 56
[13] Satjipto Rahardjo, “Perang di Balik Toga Hakim”, artikel pada Harian Kompas, 9 Juli 2003 http://www.google.com/s=Perang+di+Balik+Toga+Hakim”%2C+artikel+pada+Harian+Kompas di akses 17 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar