SAMBUTAN PEMERINTAH
ATAS
PERSETUJUAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM RAPAT PARIPURNA TERBUKA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TANGGAL, 29 NOVEMBER 2002
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Hadirin dan Sidang yang kami muliakan,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya pada hari yang berbahagia ini, Jum’at tanggaI 29 November
2002, kita dapat kembali melaksanakan tugas konstitusional di bidang
legislasi, yakni menyelenggarakan Rapat Paripurna Dewan PerwakilanRakyat
Republik Indonesia, guna mengambil keputusan atas hasil akhir
pembahasan RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sidang
Paripurna pengambilan keputusan ini diselenggarakan pada saat kita
berada pada hari-hari terakhir bulan suci ramadhan. Mudah-mudahan,
dengan segala kemulyaan bulan suci ini, tugas-tugas yang telah kita
tunaikan dan telah pula kita putuskan, merupakan amal ibadah serta
mendapat ridho Tuhan Yang MahaEsa.
Selanjutnya
kami atas nama Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada Dewan yang
terhormat; yang telah memberikan kesempatan untuk menyampaikan Sambutan
Pemerintah atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia terhadap
RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Baru
saja kita dengarkan bersama pendapat akhir Fraksi-fraksi yang
menyetujui RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk
disahkan menjadi Undang-undang. Atas persetujuan terse but, Pemerintah
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada
Dewan yang terhormat, khususnya kepada Anggota Komisi II, atas
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran, serta sikap arif dalam pembahasan
RUU sehingga pada akhimya dapat diselesaikan dengan baik dan disetujui
untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Kami
mengikuti dengan cermat pandangan dan harapan yang dikemukakan
Fraksi-fraksi dalam menyertai persetujuan tersebut, begitu pula terhadap
beberapa catatan khusus yang disampaikan oleh Fraksi Partai· Persatuan
Pembangunan. Semua yang dikemukakan menunjukkan komitmen kuat kita untuk
memerangi korupsi, tidak saja untuk menyelamatkan keuangan negara,
tetapi lebih daripada itu untuk kepentingan bangsa dan negara pada
umumnya; tidak saja untuk masa kini tetapi terutama untuk masa-masa
mendatang.
Harapan kita
semua, semoga RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang telah kita setujui bersama, kelak setelah berlaku efektif menjadi
landasan hukum yang kokoh dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Korupsi.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Sudah
menjadi pengetahuan bersama, bahwa korupsi yang terjadi di negara kita
sudah sedemikian meluas, meresap ke dalam hampir semua aspek kehidupan
masyarakat, tak terkecuali dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, bahwa korupsi yang tak
terkendali telah membawa bencana bagi kehidupan masyarakat. Keterpurukan
ekonomi yang akibatnya masih kita rasakan, harus diakui untuk sebagian
terbesar diakibatkan oleh praktik-praktik tercela tersebut. Dibarengi
oleh praktik kolusi dan nepotisme, ditambah dengan lemahnya penegakan
hukum serta ditumbuhsuburkan oleh praktik penyelenggaraan pemerintahan
negara yang tertutup, sentralistik dan otoritarian, telah menjadikan
korupsi sedemikian meluas seperti sekarang ini.
Melalui
RUU yang baru kita setujui bersama, kita sepakat melihat korupsi tidak
lagi sebagai suatu kejahatan biasa tetapi merupakan kejahatan yang luar
biasa, karena telah merampas hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya. Adalah merupakan
suatu kemestian kita menempuh cara-cara yang luar biasa pula, karena
penegakan hukum secara konvensional dalam memerangi korupsi terbukti
mengandung banyak kendala, dan hambatan. Dengan Rancangan Undang-undang
ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai
kewenangan luas dan independen, yang dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya bebas dari kekuasaan mana pun.
Dalam
Rancangan Undang undang ini, pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut
diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan secara optimal,
intensif, dan efektif serta profesional dan berkesinambungan. Kami
menaruh harapan bahwa dengan kelahiran Komisi ini praktik-praktik
korupsi akan banyak dapat kita kurangi, kalau tidak mungkin. dapat
diberantas sama sekali. Harapan ini tidaklah berlebihan karena
pengalaman beberapa negara yang mempunyai lembaga serupa menunjukkan
penurunan tingkat korupsi secara signifikan. Sistem politik yang semakin
terbuka dan transparan di mana masyarakat dapat secara terus menerus
ikut melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara juga
ikut memperkuat harapan tersebut.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Merupakan
suatu hal yang menggembirakan bahwa proses pembahasan RUU ini telah
berlangsung secara dinamis dan produktif, dengan tetap mengedepankan
prinsip-prinsip musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan terhadap
masalah-masalah krusial yang ditemui dalam substansi RUU.
Mengenai
dinamika pembahasan serta beberapa masalah krusial yang telah dibahas
secara mendalam, yang disepakati dicabut, disempurnakan atau yang
disepakti untuk ditambahkan, telah digambarkan secara baik dan cermat
oleh juru bicara Fraksi-fraksi. Dalam kaitan ini kami hanya menambahkan
beberapa hal, sebagai berikut:
1.
Bahwa RUU yang baru kita sepakati, jika kelak menjadi Undang-undang
yang berlaku merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum nasional
yang sedang kita bangun, disamping semakin memperkuat· kebijakan
pemberantasan tindak korupsi yang selama ini telah diletakkan, antara
lain dalam Ketetapan MPRI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Negara
Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang
Nomor 28 Tabun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-undang Nomor 31 Tabun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana te:lah
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
2.
Krusialitas pengaturan tugas dan wewenang Komisi, pada dasarnya
terletak pada persoalan pokok yaitu bagaimana menempatkan kedudukan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kerangka sistem
penegakan hukum yang kini ada, tanpa perlu menimbulkan kerancuan dan
tumpang tindih dengan tugas dan wewenang instansi penegak hukum yang
lain.
Setelah melewati
diskusi yang cukup panjang dan intensif maka keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi disepakati tidak menghilangkan tugas dan wewenang
penegak hukum lain, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menyusun
jaringan kerja (networking) yang kuat, dengan memperlakukan institusi penegak hukum yang ada sebagai counterpartner
yang kondusif sehinggga pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara
efisien dan efektif. Di samping itu, Komisi dapat berfungsi menjadi
pemicu dan pemberdayaan institusi yang ada (trigger mechanism)
dalam pemberantasan korupsi serta dengan kewenangan melakukan supervisi,
maka dengan alasan-alasan tertentu Komisi dapat mengambil alih
penyeliidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh institusi penegak hukum lainnya.
3.
Untuk mencegah timbulnya kerancuan dan sekaligus untuk menghindari
terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan instansi kepolisian dan
kejaksaan, maka perkara korupsi yang menjadi kewenangan Komisi, adalah
tindak pidana korupsi, yang:
a.
melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, serta orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
4.
Pengangkatan keanggotaan Komisi serta pelaksanaan tugas dan kewenangan
Komisi yang luas tetap harus berlandaskan pada prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik yang meliputi asas kepastian hukum, transparansi,
akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Berkenaan dengan
hal yang disebut terakhir ini maka setiap orang yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh Komisi dapat mengajukan gugatan
rehabilitasi darurat atau kompensasi.
5.
Cara-cara khusus dalam penanganan dan penyelesaian perkara tindak
pidana korupsi yang telah kita sepakati sebagai kejahatan yang luar
biasa, tidak saja berhenti pada tingkat penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan (LikDitTut), tetapi ditentukan secara berkesinambungan
sampai pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Dinilai kurang
bermanfaat jika cara-cara yang luar biasa dalam memberantas tindak
pidana korupsi dibatasi pada tahap LikDitTut.
Untuk
itu dalam RUU ini diatur secara tegas berbagai ketentuan hukum acara
khusus untuk setiap tahap pemeriksaan, yang berbeda dengan ketentuan
yang berlaku bagi tindak pidana biasa lainnya.
Berbagai
ketentuan tersebut dapat ditemui antara lain dalam pengatura kewenangan
Komisi dalam melakukan LikDiktut, ketentuan mengenai pembentukan
pengadilan tindak pidana korupsi yang berwenang memeriksa dan memutus
tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi, dan
ketentuan mengenai komposisi majelis hakim, yang terdiri 2 (dua) hakim
dari pengadilan dan 3 (tiga) hakim ad hoc. Komposisi majelis hakim ini berlaku untuk setiap tingkat pemeriksaan perkara; tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi.
Dalam
RUU juga ditentukan pula tenggang-tenggang waktu yang harus
diperhatikan dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi pada
setiap tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.
6.
RUU ini tidak hanya memuat kebijakan yang bersifat represif tetapi juga
preventif dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehubungan
dengan hal yang terakhir, salah satu kewenangan Komisi yang cukup
penting adalah melakukan pendekatan budaya dalam upaya pemberantasan
korupsi, berupa usaha penyadaran masyarakat akan bahaya korupsi serta
pengembangan program pendidikan anti korupsi yang dimulai sejak usia
dini.
7. Untuk
mendayagunakan secara optimal segala potensi dan sumber daya dalam usaha
pemberantasan korupsi, maka kelembagaan yang kini ada yang tugas dan
wewenangnya berkenaan dengan usaha pencegahan tindak pidana korupsi yang
dilakukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN),
disepakati nantinya menjadi bagian atau diintegrasikan ke dalam Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui cara yang demikian
efektifitas dan efesiensi pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
dilakukan secara optimal.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Pemerintah
menyadari bahwa kehadiran Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, tidaklah berarti bahwa tugas kita telah selesai.
Masih banyak pekerjaan yang harus kita persiapkan dan lebih banyak lagi
yang harus kita lakukan agar perangkat hukum yang telah kita persiapkan
tersebut kelak betul-betul menjadi kenyataan.
Oleh
karena itu, melalui forum yang terhormat ini, kami ingin menyerukan
dengan rasa tulus kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Aparat Penegak Hukum, dan segenap unsur yang terkait dengan usaha
pemberantasan tindak pidana korupsi, untuk bersungguh-sungguh dengan
ketulusan hati melaksanakan Undang-Undang ini demi mewujudkan kehidupan
yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme khususnya dlalam
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Demikian
Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Tak lupa kami sampaikan terima kasih atas
perhatian dan kesabaran Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat dalam
mengikuti acara ini.
Ucapan
tcrima kasih juga kami sampaikan kepada mass media baik media cetak
maupun media elektronik yang telah meliput dan menyebarluaskan
pembahasan RUU ini dan menyampaikan kepada masyarakat.
Akhir
kata, kami ucapkan pula terima kasih kepada Sekretariat Jenderal DPR RI
yang telah membantu menyiapkan segala kebutuhan untuk memperlancar
pembahasan RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Semoga amal ibadah kita sekalian mendapat ridho dari Tuhan Yang Maha Esa.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb.
JAWABAN PEMERINTAH
ATAS
PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TANGGAL 17 SEPTEMBER 2001
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terbormat,
Hadirin dan Sidang yang kami muliakan.
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Hari
ini, dengan rasa bahagia yang dalam kami akan melaksanakan salah satu
kewajiban konstitusional, yaitu menyampaikan jawaban Pemerintah atas
Pemandangan Umum Fraksi-fraksi DPR·RI terhadap RUD tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. o1eh karena iyu kami mengajak
Pimpinan dan Anggota Dewan serta hadirin yang terhormat untuk senantiasa
memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
terselenggaranya Sidang yang mulia ini.
Selanjutnya
izinkanlah kami atas nama Pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Dewan yang terhonnat, terutama kepada Fraksi-fraksi melalui juru
bicara masing-masing yang secara tulus telah menyampaikan Pemandangan
Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi pada tanggal 11 September 2001.
Setelah
mempelajari dan mencermati Pemandangan Umum Fraksi-fraksi atas RUU
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kami mendapat kesan
yang positlf bahwa semua Fraksi dengan jelas menyatakan menerima dan
menyetujui penyampaian RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi untuk dibahas bersama Dewan.
Dari
Pemandangan Umum Fraksi-fraksi pada umumnya terdapat kesamaan pemahaman
antara Fraksi-fraksi dan Pemerintah terhadap pokok-pokok pikiran yang
melatarbelakangi penyusunan RUU ini. Pemerintah mengharapkan kiranya
pokok-pokok pikiran tersebut dapat dijadikan acuan dalam pembahasan dan
seka1igus menjadi tolok ukur penyelesaiannya.
Berbagai
pertanyaan, pemikiran, atau saran yang dikemukakan, kami rasakan
sebagai bahan yang sangat berguna dan dapat menjadi pegangan untuk
menyempurnakan RUU ini dalam Pembicaraan selanjutnya di Tingkat III.
Pertanyaan,
pemikiran, atau saran dati Fraksi-fraksi tersebut menandakan bahwa
Fraksi-fraksi menyambut baik penyampaian RUU untuk menjadi landasan
hukum yang kuat dalam meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi yang dirasakan tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga
melanggar hak asasi dan ekonomi masyarakat.
Penyusunan
RUU ini merupakan bagian integral dari ketentuan yang tercantum dalam
TAP MPR Nomor X1/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negarayang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan Yang Terhormat,
Sebelum
memberikan jawaban atas pertanyaan, tanggapan, atau saran perbaikan
dari Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, terlebih dahulu Pemerintah mengajak para Anggota Dewan
yang terhormat untuk menyatukan persepsi terhadap arti penting usaha
me1akukan pemberantasan tindak pidana korupsi dari muka bumi negara
Republik Indonesia yang sama-sama kita cintai ini, secara tegas dan
tuntas.
Kesatuan
persepsi tersebut sangat diperlukan dan sifatnya sangat mendasar
sehingga usaha yang mulia tersebut dapat dilaksanakan secara mantap
tanpa adanya kendala yang berarti. Mengenai latar belakang mengapa perlu
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pemerintah telah
menjelaskan secara lengkap baik dalam Penjelasan Umum atas RUU tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam Keterangan
Pemerintah untuk mengajukan RUU tersebut di hadapan Sidang Paripuma
Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat pada tanggal 30 Agustus 2001.
Namun,
untuk sama-sama menyegarkan ingatan kita kembali mengenai pentingnya
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak ada salahnya
apabila dalam kesempatan ini Pemerintah mengungkapkan beberapa dasar
hukum dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai
berikut:
1. Dalam
Pasa1 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme antara lain ditegaskan
bahwa upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme harus dilakukan
secara tegas terhadap siapa juga ….. dan seterusnya;
2. Berdasarkan
amanat Pasa1 5 dari Tap MPR tersebut, telah diundangkan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut
merupakan dasar untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3. Agar
usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan lebih
intensif Pemerintah telah menyempumakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Berdasarkan
amanat dari Pasal 43 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu disusun RUU tentang Komisi
Pernberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun
issue pokok yang mendorong usaha untuk melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi secara tegas dan tuntas antara lain, karena :
1. Negara
Republik Indonesia telah dikenal sebagai negara yang tingkat korupsinya
mencapai tingkat ketiga di dunia, dan sebagai akibat tingginya tingkat
korupsi tersebut telah menyebabkan terpuruknya kehidupan perekonomian di
Indonesia yang sangat menyengsarakan rakyat;
2. Kesejahteraan
rakyat pada umumnya berada di bawah standar minimum kehidupan yang
layak sebagai akibat merebaknya korupsi yang terjadi;
3. Selama
ini telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat
kepolisian dan kejaksaan yang secara nyata belum mampu dalam
menuntaskan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi, sehingga
kasus tindak pidana korupsi makin meningkat;
4. Pada
saat ini tindak pidana korupsi tidak lagi dapat dikatagorikan sebagai
“tindak pidana biasa” tetapi sudah merupakan “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crimes),
karena telah terjadi secara sistematik dan meluas yang tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi telah merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. o1eh karena itu,
penanggulangannya harus juga dilakukan secara khusus, antara lain dengan
menerapkan perangkat peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
pula. Perangkat peraturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi
telah diperberat dengan sistem pembuktian terbalik yang sesungguhnya
juga sudah merupakan pembatasan terhadap hak asasi terdakwa. Jika ada
pendapat yang menyatakan bahwa substansi RUU ini tidak boleh menyimpang
dari prinsip-prinsip universal hukum pidana, menurut hemat Pemerintah,
justru kekhususan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip universal
tersebut. Karena kekhususan tersebut justru diperlukan untuk melindungi
hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat yang lebih besar dan harus
didahulukan daripada hak-hak seseorang tersangka, terdakwa sepanjang
ditetapkan berdasarkan Undang-undang. Hal ini sejalan dengan Pasal 29
Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ketentuan ini perlu dijadikan acuan kim semua dalam pemberantasan
korupsi. Jika kita sama-sama sepakat dalam satu persepsi bahwa korupsi
itu sendiri merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat
yang secara universal pula diakui sebagai salah satu bagian dari hak
asasi manusia, maka pemberantasan dengan cara yang luar biasa dan khusus
sudah sewajarnya dilakukan. Penanggulangan secara Iuar biasa dan khusus
tersebut, dimaksudkan agar usaha melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi dapat mencapai tujuan, yakni diberantas secara tuntas sampai ke
akar-akarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut dirasakan tidak memadai
dengan hanya mengandalkan pada institusi penegak hukum yang telah ada
yang kredibilitasnya telah diragukan oleh masyarakat. Oleh karena itu,
perlu dibentuk suatu Komisi yang independen dan diberi kewenangan yang
luas dan kekhususasn tertentu yang berbeda dengan ketentuan yang berlaku
secara umum baik untuk hukum materil maupun hukum formilnya.
Perlu
diingat pula mengenai berhasil atau tidaknya misi dan Komisi tersebut,
lebih tergantung kepada “siapa” yang akan duduk sebagai anggota dalam
Komisi ini. Untuk itu, dalam rekruitmen keanggotaan Komisi tersebut
diperlukan persyaratan secara ketat, untuk mendapatkan orang-orang yang
mempunyai dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk mengemban tugas yang
sangat berat dan mulia dalam usaha memberantas korupsi, dengan harapan
kesejahteraan masyarakat yang sangat kita dambakan bersama dapat
diwujudkan.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Berikut
ini Pemerintah mencoba memberikan penjelasan atas substansi RUU tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendapat tanggapan dati
Fraksi-fraksi.
I. JAWABAN TERHADAP FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA (F-KB)
1. F
-KB menyatakan bahwa dalam konsiderans menimbang belum dijelaskan
secara rinci alasan-alasan filosofis, sosiologis, dan ekonomis adanya
RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah
dapat menjelaskan bahwa sebenarnya alasan-alasan filosofis, sosiologis,
dan ekonomis tersebut te1ah terumuskan dalam konsiderans menimbang yang
tercantum dalam butir a dan b.
2. Atas
pernyataan F-KB dan F-PDIP mengenai pemberian perlindungan hukum
terhadap masyarakat yang memberikan informasi atas kasus korupsi,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa perlindungan terhadap saksi telah
diatur dalam Pasal 14 huruf a RUU, yakni meliputi pemberian jaminan
keamanan dengan meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia, penggantian identitas pelapor, atau melakukan evakuasi.
3. Mengenai
ukuran dan kriteria independensi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPTPK) yang dinilai tidak jelas, Pemerintah kurang sependapat
karena dalam Penjelasan Pasal 3 telah diatur dan hal tersebut telah
diuraikan secara rinci.
4. Mengenai
perlunya diatur secara lebih rinci dan jelas kewenangan Komisi untuk
mengambil a1ih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta masalah
penyitaan harta hasil korupsi, Pemerintah bersedia untuk membahas lebih
lanjut dalam pembahasan selanjutnya.
5. Mengenai usul untuk me1akukan peninjauan ulang terhadap Pasa1 26 RUU, Pemerintah bersedia untuk mendiskusikan lebih lanjut.
6. Terhadap
usul F-KB dan F-PDIP mengenai pembentukan Pengadilan ad-hoc anti
korupsi, Pemerintah kurang sependapat, mengingat apabila berupa
pengadilan Ad Hoc anti korupsi maka sifatnya hanya sementara, sedangkan
untuk pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara terus
menerus, dengan demikian pengadilannya harus bersifat permanen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 RUU.
7. Berkaitan
dengan saran perlunya pengaturan mengenai sosialisasi dalam RUU ini,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan tersebut tidak perlu secara
eksplisit diatur, karena di dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun
1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, secara tegas diatur mengenai
kewajiban Pemerintah untuk melakukan sosialisasi baik masih RUU maupun
setelah menjadi UU.
II. JAWABAN TERHADAP FRAKSI REFORMASI (F-REFORMASI)
1. Pemerintah
sependapat bahwa pembentukan KPTPK adalah merupakan perwujudan dari
komitmen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara
tuntas.
2. F-Refomlasi,
F-TNI/POLRI, F-KKI, F-PDKB, F-PDIP mengharapkan agar Undang-Undang ini
dapat menghilangkan dualisme dalam penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi. Pemerintah dapat menjelaskan, bahwa prinsipnya tidak
terdapat dualisme apabila masing-masing institusi menyadari perannya ada
koordinasi dalam setiap penyelesaian masalah yang sifatnya lintas
sektoral atau yang multidimensional.
3. Disarankan
agar pembentukan komisi ini mampu mengatasi hambatan dalam
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta perlu ada pengaturan
yang jelas antara tugas kejaksaan dengan KPTPK. Atas saran tersebut,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pengaturan tugas Komisi telah diatur
dalam Pasa1 6 RUU, namun hila klausula yang tercantum dalam Pasal 6
dinilai belum memadai tentunya dapat didiskusikan bersama dalam
pembahasan selanjutnya.
4. Perlu
diatur mekanisme yang menjamin keterbukaan kerja KPTPK dengan memberi
ketentuan yang jelas mengenai kewajiban komisi untuk melaporkan secara
berkala kepada DPR. Atas tanggapan tersebut, Pemerintah menjelaskan
bahwa hal tersebut telah diatur dalam Pasal 16 RUU.
5. Berkaitan
dengan Pasal 5 RUU mengenai asas keterbukaan, Komisi dalam melaksanakan
tugas dan wewemmgnya, disarankan perlu adanya penambahan “asas
keadilan”. Pemerintah dapat menje1askan bahwa asas keadilan tersebut
secara implisit telah tercakup dalam asas kepastian hukum dan hal
tersebut te1ah diperjelas lagi dalam Penjelasan Pasal 5 RUU.
6. Berkaitan
dengan Pasal 10 ayat (1) disarankan pada akhir kalimat diberi tambahan
frasa ” … jika Komisi memperoleh petunjuk adanya kompromi yang dilakukan
oleh pihak kejaksaan dan kepolisian”. Atas saran tersebut, Pemerintah
dapat menjelaskan bahwa apa yang disarankan tersebut sebenamya telah
tersirat dalam frasa” ketidakinginan atau ketidakmampuan … “.
7. Berkaitan
dengan Pasal 25 huruf e mengenai persyaratan umur, disarankan untuk
diubah menjadi “berumur sekurang-kurangnya 30 tahun dan
setinggi-tingginya 50 tahun”. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa dasar pemikiran dicantumkan usia minimal 40 (empat
puluh) tahun adalah dengan pertimbangan bahwa seseorang yang lulus
Sarjana pada usia 25 (dua pu]uh lima) tahun maka dianggap sudah
mempunyai pengalaman dan keahlian dalam bidang hukum, ekonomi, atau
perbankan, sekurang-kurangnya 15 (1ima belas) tahun, sehingga pada usia
40 tahun seseorang diperkirakan mampu me1aksanakan tugasnya berdasarkan
keahlian dan pengalamannya.
8. Disarankan
agar diatur mengenai mekanisme kontrol terhadap komisi dalam
melaksanakan tugasnya. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan
hahwa hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 16 RUU.
III. JAWABAN TERHADAP FRAKSI TNI/POLRI
1. Terhadap
tanggapan F-TNI/POLRI dan F-PDU yang meminta penjelasan Pemerintah
mengenai Pasal 35 dan Pasal 11 dikaitkan dengan Pasal 8 tentang
kewenangan komisi yang sifatnya berlaku surut dalam hal membuka kembali
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan alas perkara yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa
Pasal 35 dan Pasal 11 merupakan kewenangan Komisi yang berlaku surut,
namun terhadap Pasal 8 bukan merupakan tindakan yang berlaku surut,
tetapi merupakan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali,
sehingga konteks permasalahannya berbeda.
2. Terhadap
pertanyaan F-TNI/POLRI dan F-PBB mengenai Pasal 21 ayat (1) jika
dikaitkan dengan Pasa1 6 akan menimbulkan kerancuan. Karena Pasa1 21
ayat (1) menyebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas … dst”,
sedangkan dalam Pasa1 6 menyebutkan “Komisi Pemberantas Korupsi
mempunyai tugas…dst” . Atas dasar tersebut, F-TNI/POLRI mempertanyakan
apakah Pasal 21 ayat (1) ditujukan hanya pada Pimpinan Komisi saja yang
bertugas? Sehingga penyebutan Komisi Pemberantasan Korupsi atau
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi dimaksudkan sebagai Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi atau Keputusan KomisH Pemberantasan
Korupsi. Atas pertanyaan tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa
Pasa1 21 ayat (1) ditujukan untuk pengaturan tugas intern Komisi
berkaitan dengan kebijakan intern organisasi sedangkan Pasal 6 merupakan
kewenangan Komisi yang diberikan oleh RUU berdasarkan ketentuan yang
tercantum dalam Pasa1 43 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
3. F-TNI/POLRI
juga mempertanyakan apakah Anggota Tim Penasehat dan pegawas Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah pejabat negara, bagaimana dengan status
pegawai pada Sekretariat Komisi Pemberantasan Korupsi apakah pegawai
negeri atau bukan, Pemerintah dapat menje1askan bahwa Anggota Tim
Penasihat dan pegawai Komisi bukan merupakan pejabat negara. Sedangkan
mengenai status pegawai Sekretariat Komisi, untuk syarat dan tata cam
pengangkatrumya akan ditetapkan dengan Keputusan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
4. F-TNI/POLRI
meminta penjelasan mengenai sanksi yang akan dijatuhkan pada Anggota
atau pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyalahi
prosedur ketika melakukan penyidikan dan penyitaan, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada Anggota atau pegawai
Komisi telah diatur dalam Pasa1 57 dan Pasa1 58 RUU.
5. Meminta
penjelasan mengenai biaya pelaksanaan tugas yang berasal dari APBN dan
pengembalian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi, karena
segala sesuatu pemberian yang berkaitan dengan pekerjaan dapat
dikategorikan korupsi. Pemerintah dapat menje1askan bahwa pembiayaan
yang didapat dari pengembalian keuangan negara yang berasal dari tindak
pidana korupsi sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) penggunaannya
tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak).
IV. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PARTAI BULAN BINTANG (F-PBB)
1. Meminta
penjelasan mengenai batasan dari asas keterbukaan dan asas kerahasiaan
dalam penyidikan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa hal tersebut tetap
mengacu pada ketentuan Hukum Acara yang berlaku, sedangkan mengenai
“keterbukaan” telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 5 huruf b.
2. Terhadap
saran F-PBB mengenai ketentuan kerahasiaan dalam Undang-undang tentang
Perbankan tidak diberlakukan terhadap Komisi dan perlu ada sanksi
terhadap bank maupun tersangka yang tidak melaksanakan perintah Komisi.
Atas saran tersebut, dalam RUU ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c dan d.
3. Terhadap
saran F-PBB agar ada batasan waktu atas kewenangan Komisi untuk
memberhentikan sementara transaksi keuangan, perdagangan, untuk mencegah
tindakan yang dapat merugikan seseorang yang beritikad baik. Atas saran
tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa untuk penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan te1ah ditentukan batas waktunya dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sehingga kerja Komisi
merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Disarankan
agar jumlah Pimpinan dan anggota Komisi ditambah, dipertegas mengenai
syarat keanggotaan panitia seleksi Tim Penasihat, rekruitmen pegawai,
penyidik serta pemmtut dan kriteria pengangkatan pejabat-pejabat
tersebut. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa
kriteria rekruitmen pegawai maupun pejabat yang terkait dengan Komisi
didasarkan pada kepakaran atau keahlian yang dimiliki oleh masing-masing
orang yang direkrut. Dan mengenai jumlah anggo1ta Komisi dan
persyaratan untuk menjadi panitia seleksi, Pemerintah bersedia membahas
bersama dengan Anggota Dewan dalam rapat selanjutnya.
5. Terhadap
pertanyaan F-PBB mengenai mengapa anggota atau mantan anggota partai
politik tidak boleh menjadi anggota Komisi dan Komisi tidak boleh
mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan,
serta bagaimana terhadap perkara yang sedang disidik padahal tidak
cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan. Atas pertanyaan tersebut,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa Komisi bersifat independen dan bebas
dan pengaruh pihak manapun, sehingga dikhawatirkan apabila anggota atau
mantan anggota partai politik yang ikut menjadi anggota Komisi akan
menimbulkan conflict of interest.
V. JAWABAN TERHADAP FRAKSI KESATUAN KEBANGSAAN INDONESIA (F-KKI)
1. Menanggapi
saran dari F-KKI agar pemberian kewenangan yang luar biasa kepada
lembaga baru (KPTPK) jangan sampai mengganggu fungsi dan peran lembaga
penegak hukum lainnya, Pemerintah dapat menjelaskan karena tindak pidana
korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) maka pemberantasannya juga perlu dilakukan dengan eara luar biasa dan khusus.
2. Terhadap
saran agar RUU ini mempunyai materi yang mencakup aspek preventif,
represif, dan edukatif secara komprehensif Pemerintah dapat menjelaskan
bahwa ketiga aspek tersebut telah tersurat dan tersirat dalam RUU ini
antara lain:
a. Aspek preventif PasaI 6 hurufb, huruf c, dan huruf d;
b. Aspek represif Pasal 8 sampai dengan Pasal 12; dan
c. Aspek edukatif Pasal13.
3. Terhadap
pertanyaan F-KKI dan F-PP, mengapa tugas Komisi Pemelfiksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) tidak persis sama dengan KPTPK, pada hal
secara substansial tujuan kedua komisi ini adalah sama. Selanjutnya
dalam RUU Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan pula adanya Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KPTPPU) apakah belum
waktunya dipikirkan untuk menyatukan komisi-komisi tersebut dalam rangka
pembahasan RUU tindak pidana korupsi ini. Pemerintah dapat menjelaskan
bahwa baik pembentukan maupun pemberian tugas suatu Komisi dilaksanakan
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang yang
mendelegasikan pembentukannya. Selanjutnya terhadap pemikiran penyatuan
ketiga Komisi, yakni KPKPN, KPTPK, dan KPTPPU. Pemerintah kurang
sependapat karena dasar hukum pembentukannya berbeda satu sama lainnya.
VI. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PERSERIKATAN DAULATUL UMMAH (F-PDU)
1. Terhadap
usul F-PDU berkaitan dengan Pasal 7 huruf f tentang kewenangan KPTPK,
seharusnya ketentuan ini ditegaskan hanya terhadap penyelenggara negara
yang diduga kuat dengan bukti permulaan yang cukup telah melakukan
tindak pidana korupsi, Pemerintah dapat menje1askan mengenai proses
dimulainya penyelidikan dilakukan berdasarkan KUHAP. Selanjutnya
mengenai usu1 F-PDU terhadap Pasal 7 huruf g kiranya perlu memperhatikan
secara sungguh-sungguh ketentuan Undang-undang tentang Perpajakan,
Pemerintah dapat menyetujui usul tersebut, namun karena KPTPK merupakan
lembaga khusus yang dibentuk untuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa
(extra ordinary crimes), maka da]am melakukan tugasnya juga mempunyai kekhususan terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2. Terhadap
pemyataan F-PDU bahwa Pasa] 8 ayat (1) sangat membingungkan karena
rnernbuka perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
berarti melanggar asas ne bis in idem,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa karena korupsi telah terjadi secara
sistimatik dan meluas dan bukan hanya merupakan ancaman dan serangan
yang merugikan keuangan negara, akan tetapi rnerupakan pe1anggaran
terhadap hak-hak sosia1 dan ekonomi masyarakat secara luas, maka korupsi
tidak dapat 1agi digo1ongan sebagai kejahatan biasa me1ainkan kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime),
oleh karena itu penanggulangan terhadap tindak pidana korupsi tidak
lagi hanya semata-mata dapat diselesaikan dengan cara-cara biasa
melainkan harus dengan cara yang luar biasa dan khusus. Se1anjutnya
frasa “demi kepentingan hukum dan keadilan” dalam Pasa1 8 ayat (3), agar
tidak disalahgunakan dan disalahartikan dikemudian hari perlu
dijelaskan, menurut Pemerintah hal tersebut dapat dibahas bersama untuk
mendapatkan rumusan yang memadai.
3. Perlu
diperjelas mengenai kualitas dan kuantitas yang memadai dari Anggota
Komisi berkaitan dengan Pasa117, Pasal 18, Pasal 20, dan Pasa1 22,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa setelah dicermati berkaitan dengan
Pasa1 17, Pasal 18, Pasa1 20, dan Pasa1 22 hanya mengenai pimpinan KPTPK
yang sudah ditentukan syarat-syaratnya dan jumlahnya tetapi untuk Tim
Penasihat dan pegawai KPTPK belum ditentukan syaratsyaratnya, untuk itu
Pemerintah bersedia mernbahas dalam Pernbicaraan Tingkat III.
VII. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PARTAI DEMOKRASI KASIH BANGSA (F-PDKB)
1. T erhadap saran F -PD KB yang menginginkan agar menganut kebijakan satu pintu (one gate policy)
dimana kewenangan penyidikan dipercayakan pada komisi dan selanjutnya
Komisi tersebut yang menetapkan keterlibatan kepolisian dan atau
kejaksaan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa hal tersebut telah
ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2).
2. Sehubungan
dengan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai
wewenang Komisi mengadakan koordinasi dan supervisi, F-PDKB menyarankan
seyogyanya bertanggung jawab kepada DPR, Pemerintah dapat menjelaskan
bahwa mengenai KPTPK menurut Pasal 16 RUU ayat (1) ditentukan
bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan
menyampaikan laporannya secara berkala kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Presiden.
3. Terhadap perlunya sinkronisasi ketentuan minimum pidana denda dan
pidana penjara antara RUU tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 dengan RUU ini, Pemerintah dapat menje1askan bahwa ketentuan
pidana sebagai ditentukan dalam Pasal 57 dan PasaI 58 RUU hanva berlaku
untuk setiap anggota KPTPK dan pegawai pada KPTPK sedangkan dalam RUU
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 berlaku untuk setiap
orang yakni orang perseorangan atau korporasi, sehingga perlu
dibedakan.
4. Terhadap
saran perlunya perbaikan rumusan Pasal 30 ayat (1) menjadi “Sebelum
memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama atan
lkepercayaannya”, Pemerintah bersedia untuk membahas bersama Dewan yang
terhormat.
VIII. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (F-PDIP)
1. Terhadap
saran bahwa perlunya pengaturan atas keikutsertaan elemen masyarakat
dalam berbagai golongan dan kepentingan serta LSM yang dapat menciptakan
supporting system bagi KPTPK, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk dibahas bersama atas saran tersebut dalam Pembicaraan Tingkat III.
2. Terhadap
pemikiran bahwa perlunya dipertegas dan diperjelas institusi mana yang
menjadi penyidik tunggal dan institusi mana yang berwenang mengajukan
penuntutan serta institusi mana yang akan mengkoordinasi harus
didasarkan pada fungsi-fungsi preventif, detektif, dan represif,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa dalam RUU ini ditentukan dalam tindak
pidana korupsi pada prinsipnya penyidikan dilakukan oleh KPTPK, namun
dalam hal tertentu KPTPK dapat melimpahkan perkara tindak pidana korupsi
kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan
Agung Pasal41 ayat (4) RUU.
3. T
erhadap pertanyaan apakah mampu KPTPK yang berkedudukan di ibukota
negara dapat menangani kejahatan korupsi yang tersebar di wilayah negara
R.I, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa KPTPK selain berkedudukan di
Ibukota negara, perwakilan KPTPK dapat dibentuk juga di daerah provinsi
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan di daerah.
4. Terhadap
pertanyaan F-PDIP dan F-PBB mengenai apa dasar KPTPK tidak berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan
sebagaimana tersurat dalam Ketentuan Pasal 37 RUU, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 34 ayat (1) ditentukan bahwa
ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP berlaku juga bagi
penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPTPK kecuali Pasal 7 ayat
(2) KUHAP. Dengan demikian yang berwenang mengeluarkan surat penghentian
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan adalah pemmtut umum (Pasal 140
ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
5. Terhadap
usulan perlu dibuatnya sebuah sistem yang integrated untuk
mengakomodasi lembaga yang telah ada seperti badan-badan audit internal,
sehingga Komisi initidak bekerja dari bawah lagi, Pemerintah dapat
mempertimibangkan usulan tersebut untuk dibahas dalam Pembicaraan
Tingkat III.
6. Terhadap
saran bahwa perlunya memperhatikan peran MA dalam penyusunan RUU ini,
sehingga KPTPK ini tidak menjadi lembaga otorian baru dalam bidang
yudikatif yang dapat memunculkan ketidakpastian hukum baru, Pemerintah
dapat menjelaskan bahwa peran MA telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2)
RUU, yakni dalam hal perkara tindak pidana yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dibuka kembali hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh persetujuan MA.
7. Terhadap
pemikiran dalam hal pembentukan sebuah KPTPK perlu memperhatikan
hubungan hukum antara lembaga yang akan dibentuk dan yang telah ada,
hukum acaranya, penerapan sistem pembuktian terbalik, kedudukan Komisi
dan bagaimana peran Komisi dalam berbagai tingkat proses pengadilan,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa hal tersebut telah diatur dalam Pasal
47 RUU.
8. Terhadap per1unya konsepsi Integrated Criminal Justice System
dijadikan pertimbangan dalam pembentukan Komisi, sehingga dalam
pembentukannya tidak keluar dari sistem hukum pidana secara holistik,
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pembentukan KPTPK ini dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan mengenai hukum acara yang
digunakan dalam pelaksanaan tugasnya tetap mengacu pada KUHAP kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian tetap
memperhatikan adanya konsepsi Integrated Criminal Justice System tersebut.
9. Hal-hal yang perlu diadopsi dalam RUU ini adalah :
a. Sebagai
undang-undang yang bersifat khusus, RUU ini harus memperhatikan
ketentuan perundang-undangan yang ada, seperti asas dan ketentuan
prinsipil dalam KUHAP, guna menghindari kekacauan dalam penegakan hukum.
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa asas dan ketentuan dalam KUHAP
sepanjang kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan telah terakomodasi dalam Pasal 34 RUU yang tetap dijadikan
landasan dalam pe1aksanaan tugasnya, kecuali ketentuan Pasal 7 ayat (2)
KUHAP.
b. Perlu
diperje1as mekanisme pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kompsi yang
memegang jabatan tertentu, misalnya sebagai pejabat negara, anggota TNI,
dan sebagainya. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa mekanisme
pemeriksaan tetap mengacu pada hukum acara yang berlaku.
IX. FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG)
1. Terhadap pemikiran yang tidak sependapat apabila Komisi ini menjadi super body,
yang keberadaan, kedudukan dan kewenangannya menjadi lebih kuasa dan
lebih tinggi dari jajaran POLRI dan Kejaksaan Agung, begitu pula halnya
apabila menjadi permanent body
yang memiliki struktur organisasi yang tidak jauh berbeda dengan
organisasi Pemerintah pada umumnya, dan yang memiliki kewenangan
Kepolisian dan Kejaksaan dalam satu tangan mulai dari pusat sampai
daerah, serta merekrut tenaga penyelidik dan penyidik hanya cukup diatur
oleh Komisi itu sendiri. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa Komisi ini
dibentuk dengan ide dasar untuk melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi secara tegas dan tuntas, sehingga perlu diberi kewenangan yang
khusus mengenai hal ini telah dijelaskan oleh Pemerintah dalam
memberikan penjelasan secara umum atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi.
2. Berkaitan
dengan Pasa1 3 bagaimana kedudukan dan fungsi Komisi dalam sistem hukum
tata negara kita dan benarkah fungsi dan kedudukannya terlepas dari
cabang kekuasaan eksekutif sebagai bagian dari mekanisme checks and balances
dalam hukum tata negara kita, bukankah Presiden juga
mempertanggtmgjawabkan proses penegakan hukum kepada MPR. Atau dengan
perkataan lain RUU ini menjadikan Komisi lebih kuasa dari eksekutif dan
lepas dari konsepsi pengaturan cabang-cabang kekuasaan negara pada
umumnya. Terhadap pemikiran yang dikemukakan oleh F-PG, Pemerintah telah
menjelaskan dalam Penjelasan Umum mengapa diperlukannya Komisi yang
independen.
X. FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (F-PPP)
1. Memenuhi
harapan F-PPP agar dalam Pembahasan Tingkat III dibentuk Panitia khusus
yang akan membahas RUU inisiatif DPR dan RUU inisiatif Pemerintah,
serta RUU tentang Penlbahan Undang-undang Nomor 31 Tahoo 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga diharapkan terjadi
sinkronisasi yang lebih baik antara undang-undang yang satu dengan
undang-undang lainnya. Mengenai hal tersebut Pemerintah menyerahkan
kepada kebijaksanaan Dewan untuk menentukan mekanisme mana yang terbaik.
2. Terhadap
pendapat yang didasarkan pada jabaran Pasa1 43 ayat (2) Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999, berarti di samping adanya Komisi ini, masih
terdapat instansi lain yang melakukan tugas penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan yang akan disupervisi dan dikoordinasi oleh Komisi ini.
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pengertian koordinasi dan supervisi
da]am Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam penje1asan Pasa1
6 RUU ini
3. Terhadap
pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman Pemerintah yang dianggap
salah menerapkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 daIam bentuk
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 yang selanjutnya dibatalkan
Putusan Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review,
menjadi hikmah bahwa untuk menegakkan hukum tidak harus dengan
melanggar Imkum, dan dalam RUU ini hendaknya ketentuan Pasal 27 UU Nomor
31 Tahun 1999 perlu dijabarkan lebih jelas, tidak hanya seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (2) RUU ini. Memenuhi harapan F-PPP
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa rumusan Pasal 7 ayat (2) sudah cukup
memadai dan tidak melanggar hukum, mengingat salah satu tugas dan
wewenang yang melekat pada KPTPK adaIah melakukan koordinasi.
4. Sehubungan
dengan keinginan F-PPP yang mendasarkan pada keterkaitan pengaturan
ketentuan-ketentuan dalam Bab V, Bab VI , Pasal 57, Pasa1 58 RUU. Dan
terhadap Pasal 32 RUU dapat juga dilakukan oleh Polisi dan Jaksa yang
melaksanakan wewenangnya memberantas korupsi, dapat dijadikan
pertimbangan adanya keterkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, sehingga sebaiknya dilakukan
penyatuan atau dikompilasikan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahlln 1999
yang saat ini akan direvisi. Memenuhi keinginan F-PPP, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa pengaturan ketentuan-ketentuan tersebut dalam RUU ini
merupakan bagian yang integral dalam RUU Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhomat,
Demikianlah
jawaban Pemerintah yang dapat kami sampaikan sehubungan dengan
Pemandangan Umum Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat RepubIik
Indonesia terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pemerintah
menyadari sepenuhnya bahwa jawaban ini masih jauh dari memuaskan para
Anggota Dewan yang terhonnat, karena substansinya belum menjangkau
seluruh permasalahan yang dikemukakan oleh Fraksi-fraksi. Untuk itu,
Pemerintah menyarankan agar masalah-masalah tersebut dijadikan bahan
acuan dalam Pembicaraan Tingkat III.
Akhirnya
Pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dewan Perwakilan
Rakyat yang terhormat dalam mengikuti penyampaian jawaban Pemerintah
atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian
juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para wartawan media
massa, baik cetak maupun elektronik yang telah meliput pembahasan RUU
ini, untuk disampaikan kepada masyarakat.
Ucapan
terima kasih juga kami tujukan kepada Sekretariat lenderal Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang telah membantu kelancaran
dalam rangka pelaksanaan pembahasan RUU ini.
Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada
kita sekalian, sehingga dapat menyelesaikan tugas yang mulia ini dengan
sebaik-baiknya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, 17 September 2001
ATAS NAMA PEMERINTAH
MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
YUSRIL IHZA MAHENDRA
KETERANGAN PEMERINTAH
DI HADAPAN RAPAT PARIPURNA
DEWAN PERWAK:ILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MENGENAI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TANGGAL, 30 AGUSTUS 2001
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Hadirin dan Sidang yang kami muliakan,
Assalamualaikum Wr.Wb.
Pertama-tama
marilah kita mcngucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat, nikmat, dan karunia-Nya, sehingga pada hari yang berbahagia ini,
Kamis 30 Agustus 2001, kita mendapat kesempatan untuk bertemu kembali
dalam sidang yang mulia ini dalam rangka mengabdi kepadabangsa dan
negara yang sarna-sarna kita cintai.
Selanjutnya
perkenankan kami atas nama Pemerintah merigucapkan terima kasih kepada
Dewan yang terhonnat atas kesempatan yang dilberikan kepada kami untuk
menyampaikan Keterangan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah
disampaikan oleh Presiden kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dehgan
Amanat Presiden Nomor R.13/PU/VII2001 tanggal5 Jlilni 2001.
Ucapan
terima kasih secara khusus kami sampaikan atas kesediaan Dewan yang
terhonnat, yang tetap memberikan perhatian yang khusus dengan
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran guna membahas Rancangan
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kami
yakin bahwa semua ini karena adanya komitmen para Anggota Dewan yang
terhormat terhadap pembangunan di bidang hukrun yang mempunyai fungsi
strategis dalam mendukung dan memberikan arahan yang jelas untuk
melanjutkan pembangunan nasional.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Berdasarkan
Ketetapan Majelis Pennusyawaratan Rakyat Nomor XIIMPRIl998 tentang
PenyeJenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, KoJusi dan
Nepotisme, yang merupakan perwujudan dari kehendak rakyat, telah
diundangkan Undang-undang Nomor 28 Tabun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan
Undang-undang Nomor 31 Tabun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pi dana
Korupsi Penyelesaian perkara tindak pi dana korupsi sampai saat ini
masih terdapat berbagai kenda1a dan kesulitan baik untuk penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan pelaku tindak pi dana
korupsi.
Bahkan
tindak pidana korupsi yang selama ini tetjadi secara sistematik dan
meluas, tidak hanya berupa keuangan negara, tetapi juga te1ab merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosia] dan ekonomi masyarakat secara luas
masih tetap berlangsung dan bagailkan penyakit kanker yang sulit untuk
disembuhkan, dan hal tersebut menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
atas kesungguhan aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana
korupsi.
Oleh
karena itu, dengan adanya kendala pelaksanaan dalam pemberantasan
tindak pi dana korupsi dan berdasarkan pertimbangan yuridis terutama
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mendelegasikan pedu dibentuknya suatu lembaga yang
menangani secara khusus pemberantasan tindak pidana korupsi secara
profesional, dari mulai penyelidikan sampai dengan penuntutan, dengan
anggota yang mempunyai komitmen yang bulat dan integritas moral yang
tangguh, dapat memelihara kejujuran, dan kepribadian yang utuh serta
disiplin yang kuat, yang mampu meningkatkan pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Perkenankan
kami di hadapan sidang yang mulia ini menyampaikan beberapa pokok
pikiran yang melandasi penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pokok-pokok materi yang
diaturnya.
Pokok-pokok pikiran yang mellandasi penyusunan Rancangan Undang-undang tersebut adalah :
Pertama,
bahwa untuk lebih meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi yang telah menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara
dan masyarakat pada umumnya sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat,
maka diperlukan landasan hukum yang kuat, yang menjamin untuk mewujudkan
penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan,
kebenaran” dan kepastian hukun.
Kedua.
bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini teIjadi secara sistematik
dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan peJanggaran temadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
dilaksanakan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Ketiga,
bahwa perIu adanya lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi
yang berfimgsi secara intensif, efektif, efisien, profesional,
independen, dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, dalam rangka
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi.
Keempat,
bahwa Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana KOTUpsi telah mendelegasikan untuk membentuk suatu ]embaga yaitu
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam snatu
Undang-undang, sekaligus menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
telahdiputus oleh Mahkamah Agung melalui hak uji materiiJ dengan
Putusan Nomor 03PIHUM/2000, yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah
NomoT 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta Peraturan
Pemerintah tersebut harns dicabut oleh Pemerintah. Dengan demikian
Rancangan Undang-undang dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum
dan mengisi kekosongan hukum serta memberikan perlindungan hak -hak
sosial dan ekonomi masyarakat.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Dengan
berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, maka akan kami sampaikan
pokok-pokok materi dari Rancangan Undang-mndang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Kruppsi kami anggap penting, yaitu :
1. Asas dan Sifat Pembentukan Komisi
Dalam
Rancangan Undang-undang tnt diatur mengenat asas pembentukan Komisi
yaitu asas kepastian hukmn, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan
ummn, dan proporsionalitas. Komisi dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
apapun;
2. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi
Dalam
Rancangan Undang-undang ini juga diatur tugas Komisi antara lain
melakukan penyelidikan, penyiidikan, penuntutan tindak pidana korupsi,
melakukan supervisi dan koordinasi dengan instansi terkait yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pi dana korupsi, serta
melakukan tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Sedangkan
wewenang Komisi diatur secara luas, tennasuk melakukan berbagai tindakan
yang selama ini merupakan kewenangan polisi dan jaksa, antara llain
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Selain mempunyai tugas dan
kewenangan, Komisi mempunyai kewajiban antara lain membe:rikan
perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan pengaduan,
laporan, ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana
korupsi.
3. Keanggotaan Komisi
Keanggotaan
Komisi terdiri dar Pimpinan Komisi merangkap anggota Komisi sebanyak 3
(tiga) ora!lg, Tim Pelaksana yang terdiri dari 5 (lima) orang, dan
pegawai Koinisi sebagai pelaksana tugas. Kesemua anggota dalam
keanggotaan Komisi diangkat berdasarkan kepakaran atau keahlian yang
dimiliki masing-masing dan berasal dari unsur Pemerintah dan masyarakat.
4. Rehabilitasi, Kompensasi, dan Restitusi
Dalam
Rancangan Undang-undang ini diatur mengenai pemberian rehabilitasi,
kompensasi, dan restitusi. RehabiIitasi, kompensasi, dan restitusi
diberikan apabila seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikall,
penyidikan, atau penuntutan yang bertentangan dengan Undang-undang ini
atau hukum yang berlaku, yang dilakukan oleh Komisi.
5. Ketentuan Pidana
Dalam
Rancangan Undang-undang ini diatur mengenai ketentuan pidana. Ketentuan
ini dliberlakukan bagi anggota atau pegawai Komisi yang melakukan
pe]anggaran terhadap larangan-Iarangan yang ditentukan, antara lain
mengumumkan proses dan hasil penyelidikan dan penyidikan Komisi tanpa
seizin Pimpinan Komisi.
6. Pengadilan Khusus
Untuk
penyelesaian proses peradilan secara efektif dan efisien, dibentuk
pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang berada di lingkungan
Peradilan Umum pada Pengadilan Negeri di setiap daerah provmsl.
Pengadilan ini berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi.
Sehubungan
dengan pokok-pokok pikiran yang diatur tersebut, mengingat Rancangan
Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat
diperlukan sebagai landasan hukum untuk penegakan supremasi hukum dan
penegakan dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka kami mohon
kepada Anggota Dewan untuk membahas Rancangan Undang-undang tersebut
dengan penuh kehati-hatian, kecermatan, dan ketelitian.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Demikian
Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas nama Pemerintah sekali lagi
kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Saudara Pimpinan
dan para Anggota Dewan yang terhormat atas segala perhatian dan
kesabarannya untuk mengikuti penyampaian Keterangan Pemerintah atas
Rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindalk Pidana
Korupsi.
Demikian
juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para wartawan media
massa, baik cetak maupun elektronik yang telah meliput pembahasan
Rancangan Undang-undang ini untuk disampaikan kepada masyarakat.
Semoga
Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita
sekalian, sehingga dapat menyelesaikan tugas yang mulia ini dengan
sebaik-baiknya dan tepat waktu.
Semoga amal ibadah dan amal pembangunan kita sekalian mendapat ridho Allah SWT.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 30 Agustus 2001
ATAS NAMA PEMERINTAH
MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA
AD INTERIM
HARI SABARNO, M.B.A., M.M.