Beranda

Minggu, 26 Agustus 2012

lahirnya uu tipikor

SAMBUTAN PEMERINTAH
ATAS
PERSETUJUAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM RAPAT PARIPURNA TERBUKA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TANGGAL, 29 NOVEMBER 2002

Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Hadirin dan Sidang yang kami muliakan,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya pada hari yang berbahagia ini, Jum’at tanggaI 29 November 2002, kita dapat kembali melaksanakan tugas konstitusional di bidang legislasi, yakni menyelenggarakan Rapat Paripurna Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia, guna mengambil keputusan atas hasil akhir pembahasan RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sidang Paripurna pengambilan keputusan ini diselenggarakan pada saat kita berada pada hari-hari terakhir bulan suci ramadhan. Mudah-mudahan, dengan segala kemulyaan bulan suci ini, tugas-tugas yang telah kita tunaikan dan telah pula kita putuskan, merupakan amal ibadah serta mendapat ridho Tuhan Yang MahaEsa.
Selanjutnya kami atas nama Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada Dewan yang terhormat; yang telah memberikan kesempatan untuk menyampaikan Sambutan Pemerintah atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Baru saja kita dengarkan bersama pendapat akhir Fraksi-fraksi yang menyetujui RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk disahkan menjadi Undang-undang. Atas persetujuan terse but, Pemerintah menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada Dewan yang terhormat, khususnya kepada Anggota Komisi II, atas ketekunan, ketelitian, dan kesabaran, serta sikap arif dalam pembahasan RUU sehingga pada akhimya dapat diselesaikan dengan baik dan disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Kami mengikuti dengan cermat pandangan dan harapan yang dikemukakan Fraksi-fraksi dalam menyertai persetujuan tersebut, begitu pula terhadap beberapa catatan khusus yang disampaikan oleh Fraksi Partai· Persatuan Pembangunan. Semua yang dikemukakan menunjukkan komitmen kuat kita untuk memerangi korupsi, tidak saja untuk menyelamatkan keuangan negara, tetapi lebih daripada itu untuk kepentingan bangsa dan negara pada umumnya; tidak saja untuk masa kini tetapi terutama untuk masa-masa mendatang.
Harapan kita semua, semoga RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah kita setujui bersama, kelak setelah berlaku efektif menjadi landasan hukum yang kokoh dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa korupsi yang terjadi di negara kita sudah sedemikian meluas, meresap ke dalam hampir semua aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, bahwa korupsi yang tak terkendali telah membawa bencana bagi kehidupan masyarakat. Keterpurukan ekonomi yang akibatnya masih kita rasakan, harus diakui untuk sebagian terbesar diakibatkan oleh praktik-praktik tercela tersebut. Dibarengi oleh praktik kolusi dan nepotisme, ditambah dengan lemahnya penegakan hukum serta ditumbuhsuburkan oleh praktik penyelenggaraan pemerintahan negara yang tertutup, sentralistik dan otoritarian, telah menjadikan korupsi sedemikian meluas seperti sekarang ini.
Melalui RUU yang baru kita setujui bersama, kita sepakat melihat korupsi tidak lagi sebagai suatu kejahatan biasa tetapi merupakan kejahatan yang luar biasa, karena telah merampas hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya. Adalah merupakan suatu kemestian kita menempuh cara-cara yang luar biasa pula, karena penegakan hukum secara konvensional dalam memerangi korupsi terbukti mengandung banyak kendala, dan hambatan. Dengan Rancangan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai kewenangan luas dan independen, yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan mana pun.
Dalam Rancangan Undang undang ini, pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan secara optimal, intensif, dan efektif serta profesional dan berkesinambungan. Kami menaruh harapan bahwa dengan kelahiran Komisi ini praktik-praktik korupsi akan banyak dapat kita kurangi, kalau tidak mungkin. dapat diberantas sama sekali. Harapan ini tidaklah berlebihan karena pengalaman beberapa negara yang mempunyai lembaga serupa menunjukkan penurunan tingkat korupsi secara signifikan. Sistem politik yang semakin terbuka dan transparan di mana masyarakat dapat secara terus menerus ikut melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara juga ikut memperkuat harapan tersebut.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Merupakan suatu hal yang menggembirakan bahwa proses pembahasan RUU ini telah berlangsung secara dinamis dan produktif, dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah krusial yang ditemui dalam substansi RUU.
Mengenai dinamika pembahasan serta beberapa masalah krusial yang telah dibahas secara mendalam, yang disepakati dicabut, disempurnakan atau yang disepakti untuk ditambahkan, telah digambarkan secara baik dan cermat oleh juru bicara Fraksi-fraksi. Dalam kaitan ini kami hanya menambahkan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Bahwa RUU yang baru kita sepakati, jika kelak menjadi Undang-undang yang berlaku merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum nasional yang sedang kita bangun, disamping semakin memperkuat· kebijakan pemberantasan tindak korupsi yang selama ini telah diletakkan, antara lain dalam Ketetapan MPRI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tabun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-undang Nomor 31 Tabun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana te:lah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
2. Krusialitas pengaturan tugas dan wewenang Komisi, pada dasarnya terletak pada persoalan pokok yaitu bagaimana menempatkan kedudukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kerangka sistem penegakan hukum yang kini ada, tanpa perlu menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang instansi penegak hukum yang lain.
Setelah melewati diskusi yang cukup panjang dan intensif maka keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi disepakati tidak menghilangkan tugas dan wewenang penegak hukum lain, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat, dengan memperlakukan institusi penegak hukum yang ada sebagai counterpartner yang kondusif sehinggga pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Di samping itu, Komisi dapat berfungsi menjadi pemicu dan pemberdayaan institusi yang ada (trigger mechanism) dalam pemberantasan korupsi serta dengan kewenangan melakukan supervisi, maka dengan alasan-alasan tertentu Komisi dapat mengambil alih penyeliidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh institusi penegak hukum lainnya.
3. Untuk mencegah timbulnya kerancuan dan sekaligus untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan instansi kepolisian dan kejaksaan, maka perkara korupsi yang menjadi kewenangan Komisi, adalah tindak pidana korupsi, yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, serta orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
4. Pengangkatan keanggotaan Komisi serta pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi yang luas tetap harus berlandaskan pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang meliputi asas kepastian hukum, transparansi, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Berkenaan dengan hal yang disebut terakhir ini maka setiap orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Komisi dapat mengajukan gugatan rehabilitasi darurat atau kompensasi.
5. Cara-cara khusus dalam penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang telah kita sepakati sebagai kejahatan yang luar biasa, tidak saja berhenti pada tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (LikDitTut), tetapi ditentukan secara berkesinambungan sampai pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Dinilai kurang bermanfaat jika cara-cara yang luar biasa dalam memberantas tindak pidana korupsi dibatasi pada tahap LikDitTut.
Untuk itu dalam RUU ini diatur secara tegas berbagai ketentuan hukum acara khusus untuk setiap tahap pemeriksaan, yang berbeda dengan ketentuan yang berlaku bagi tindak pidana biasa lainnya.
Berbagai ketentuan tersebut dapat ditemui antara lain dalam pengatura kewenangan Komisi dalam melakukan LikDiktut, ketentuan mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi yang berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi, dan ketentuan mengenai komposisi majelis hakim, yang terdiri 2 (dua) hakim dari pengadilan dan 3 (tiga) hakim ad hoc. Komposisi majelis hakim ini berlaku untuk setiap tingkat pemeriksaan perkara; tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi.
Dalam RUU juga ditentukan pula tenggang-tenggang waktu yang harus diperhatikan dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi pada setiap tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.
6. RUU ini tidak hanya memuat kebijakan yang bersifat represif tetapi juga preventif dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehubungan dengan hal yang terakhir, salah satu kewenangan Komisi yang cukup penting adalah melakukan pendekatan budaya dalam upaya pemberantasan korupsi, berupa usaha penyadaran masyarakat akan bahaya korupsi serta pengembangan program pendidikan anti korupsi yang dimulai sejak usia dini.
7. Untuk mendayagunakan secara optimal segala potensi dan sumber daya dalam usaha pemberantasan korupsi, maka kelembagaan yang kini ada yang tugas dan wewenangnya berkenaan dengan usaha pencegahan tindak pidana korupsi yang dilakukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), disepakati nantinya menjadi bagian atau diintegrasikan ke dalam Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui cara yang demikian efektifitas dan efesiensi pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara optimal.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Pemerintah menyadari bahwa kehadiran Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidaklah berarti bahwa tugas kita telah selesai. Masih banyak pekerjaan yang harus kita persiapkan dan lebih banyak lagi yang harus kita lakukan agar perangkat hukum yang telah kita persiapkan tersebut kelak betul-betul menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, melalui forum yang terhormat ini, kami ingin menyerukan dengan rasa tulus kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Aparat Penegak Hukum, dan segenap unsur yang terkait dengan usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, untuk bersungguh-sungguh dengan ketulusan hati melaksanakan Undang-Undang ini demi mewujudkan kehidupan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme khususnya dlalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Demikian Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tak lupa kami sampaikan terima kasih atas perhatian dan kesabaran Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat dalam mengikuti acara ini.
Ucapan tcrima kasih juga kami sampaikan kepada mass media baik media cetak maupun media elektronik yang telah meliput dan menyebarluaskan pembahasan RUU ini dan menyampaikan kepada masyarakat.
Akhir kata, kami ucapkan pula terima kasih kepada Sekretariat Jenderal DPR RI yang telah membantu menyiapkan segala kebutuhan untuk memperlancar pembahasan RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Semoga amal ibadah kita sekalian mendapat ridho dari Tuhan Yang Maha Esa.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb.










JAWABAN PEMERINTAH
ATAS
PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TANGGAL 17 SEPTEMBER 2001
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terbormat,
Hadirin dan Sidang yang kami muliakan.
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Hari ini, dengan rasa bahagia yang dalam kami akan melaksanakan salah satu kewajiban konstitusional, yaitu menyampaikan jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi DPR·RI terhadap RUD tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. o1eh karena iyu kami mengajak Pimpinan dan Anggota Dewan serta hadirin yang terhormat untuk senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya Sidang yang mulia ini.
Selanjutnya izinkanlah kami atas nama Pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dewan yang terhonnat, terutama kepada Fraksi-fraksi melalui juru bicara masing-masing yang secara tulus telah menyampaikan Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 11 September 2001.
Setelah mempelajari dan mencermati Pemandangan Umum Fraksi-fraksi atas RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kami mendapat kesan yang positlf bahwa semua Fraksi dengan jelas menyatakan menerima dan menyetujui penyampaian RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk dibahas bersama Dewan.
Dari Pemandangan Umum Fraksi-fraksi pada umumnya terdapat kesamaan pemahaman antara Fraksi-fraksi dan Pemerintah terhadap pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penyusunan RUU ini. Pemerintah mengharapkan kiranya pokok-pokok pikiran tersebut dapat dijadikan acuan dalam pembahasan dan seka1igus menjadi tolok ukur penyelesaiannya.
Berbagai pertanyaan, pemikiran, atau saran yang dikemukakan, kami rasakan sebagai bahan yang sangat berguna dan dapat menjadi pegangan untuk menyempurnakan RUU ini dalam Pembicaraan selanjutnya di Tingkat III.
Pertanyaan, pemikiran, atau saran dati Fraksi-fraksi tersebut menandakan bahwa Fraksi-fraksi menyambut baik penyampaian RUU untuk menjadi landasan hukum yang kuat dalam meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dirasakan tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak asasi dan ekonomi masyarakat.
Penyusunan RUU ini merupakan bagian integral dari ketentuan yang tercantum dalam TAP MPR Nomor X1/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negarayang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan Yang Terhormat,
Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan, tanggapan, atau saran perbaikan dari Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terlebih dahulu Pemerintah mengajak para Anggota Dewan yang terhormat untuk menyatukan persepsi terhadap arti penting usaha me1akukan pemberantasan tindak pidana korupsi dari muka bumi negara Republik Indonesia yang sama-sama kita cintai ini, secara tegas dan tuntas.
Kesatuan persepsi tersebut sangat diperlukan dan sifatnya sangat mendasar sehingga usaha yang mulia tersebut dapat dilaksanakan secara mantap tanpa adanya kendala yang berarti. Mengenai latar belakang mengapa perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pemerintah telah menjelaskan secara lengkap baik dalam Penjelasan Umum atas RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam Keterangan Pemerintah untuk mengajukan RUU tersebut di hadapan Sidang Paripuma Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat pada tanggal 30 Agustus 2001.
Namun, untuk sama-sama menyegarkan ingatan kita kembali mengenai pentingnya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak ada salahnya apabila dalam kesempatan ini Pemerintah mengungkapkan beberapa dasar hukum dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:
1. Dalam Pasa1 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme antara lain ditegaskan bahwa upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa juga ….. dan seterusnya;
2. Berdasarkan amanat Pasa1 5 dari Tap MPR tersebut, telah diundangkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut merupakan dasar untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3. Agar usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan lebih intensif Pemerintah telah menyempumakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Berdasarkan amanat dari Pasal 43 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu disusun RUU tentang Komisi Pernberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun issue pokok yang mendorong usaha untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara tegas dan tuntas antara lain, karena :
1. Negara Republik Indonesia telah dikenal sebagai negara yang tingkat korupsinya mencapai tingkat ketiga di dunia, dan sebagai akibat tingginya tingkat korupsi tersebut telah menyebabkan terpuruknya kehidupan perekonomian di Indonesia yang sangat menyengsarakan rakyat;
2. Kesejahteraan rakyat pada umumnya berada di bawah standar minimum kehidupan yang layak sebagai akibat merebaknya korupsi yang terjadi;
3. Selama ini telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat kepolisian dan kejaksaan yang secara nyata belum mampu dalam menuntaskan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi, sehingga kasus tindak pidana korupsi makin meningkat;
4. Pada saat ini tindak pidana korupsi tidak lagi dapat dikatagorikan sebagai “tindak pidana biasa” tetapi sudah merupakan “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crimes), karena telah terjadi secara sistematik dan meluas yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. o1eh karena itu, penanggulangannya harus juga dilakukan secara khusus, antara lain dengan menerapkan perangkat peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus pula. Perangkat peraturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi telah diperberat dengan sistem pembuktian terbalik yang sesungguhnya juga sudah merupakan pembatasan terhadap hak asasi terdakwa. Jika ada pendapat yang menyatakan bahwa substansi RUU ini tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip universal hukum pidana, menurut hemat Pemerintah, justru kekhususan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip universal tersebut. Karena kekhususan tersebut justru diperlukan untuk melindungi hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat yang lebih besar dan harus didahulukan daripada hak-hak seseorang tersangka, terdakwa sepanjang ditetapkan berdasarkan Undang-undang. Hal ini sejalan dengan Pasal 29 Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketentuan ini perlu dijadikan acuan kim semua dalam pemberantasan korupsi. Jika kita sama-sama sepakat dalam satu persepsi bahwa korupsi itu sendiri merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat yang secara universal pula diakui sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia, maka pemberantasan dengan cara yang luar biasa dan khusus sudah sewajarnya dilakukan. Penanggulangan secara Iuar biasa dan khusus tersebut, dimaksudkan agar usaha melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat mencapai tujuan, yakni diberantas secara tuntas sampai ke akar-akarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut dirasakan tidak memadai dengan hanya mengandalkan pada institusi penegak hukum yang telah ada yang kredibilitasnya telah diragukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu Komisi yang independen dan diberi kewenangan yang luas dan kekhususasn tertentu yang berbeda dengan ketentuan yang berlaku secara umum baik untuk hukum materil maupun hukum formilnya.
Perlu diingat pula mengenai berhasil atau tidaknya misi dan Komisi tersebut, lebih tergantung kepada “siapa” yang akan duduk sebagai anggota dalam Komisi ini. Untuk itu, dalam rekruitmen keanggotaan Komisi tersebut diperlukan persyaratan secara ketat, untuk mendapatkan orang-orang yang mempunyai dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk mengemban tugas yang sangat berat dan mulia dalam usaha memberantas korupsi, dengan harapan kesejahteraan masyarakat yang sangat kita dambakan bersama dapat diwujudkan.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Berikut ini Pemerintah mencoba memberikan penjelasan atas substansi RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendapat tanggapan dati Fraksi-fraksi.
I. JAWABAN TERHADAP FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA (F-KB)
1. F -KB menyatakan bahwa dalam konsiderans menimbang belum dijelaskan secara rinci alasan-alasan filosofis, sosiologis, dan ekonomis adanya RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa sebenarnya alasan-alasan filosofis, sosiologis, dan ekonomis tersebut te1ah terumuskan dalam konsiderans menimbang yang tercantum dalam butir a dan b.
2. Atas pernyataan F-KB dan F-PDIP mengenai pemberian perlindungan hukum terhadap masyarakat yang memberikan informasi atas kasus korupsi, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa perlindungan terhadap saksi telah diatur dalam Pasal 14 huruf a RUU, yakni meliputi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, penggantian identitas pelapor, atau melakukan evakuasi.
3. Mengenai ukuran dan kriteria independensi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang dinilai tidak jelas, Pemerintah kurang sependapat karena dalam Penjelasan Pasal 3 telah diatur dan hal tersebut telah diuraikan secara rinci.
4. Mengenai perlunya diatur secara lebih rinci dan jelas kewenangan Komisi untuk mengambil a1ih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta masalah penyitaan harta hasil korupsi, Pemerintah bersedia untuk membahas lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya.
5. Mengenai usul untuk me1akukan peninjauan ulang terhadap Pasa1 26 RUU, Pemerintah bersedia untuk mendiskusikan lebih lanjut.
6. Terhadap usul F-KB dan F-PDIP mengenai pembentukan Pengadilan ad-hoc anti korupsi, Pemerintah kurang sependapat, mengingat apabila berupa pengadilan Ad Hoc anti korupsi maka sifatnya hanya sementara, sedangkan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara terus menerus, dengan demikian pengadilannya harus bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 RUU.
7. Berkaitan dengan saran perlunya pengaturan mengenai sosialisasi dalam RUU ini, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan tersebut tidak perlu secara eksplisit diatur, karena di dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, secara tegas diatur mengenai kewajiban Pemerintah untuk melakukan sosialisasi baik masih RUU maupun setelah menjadi UU.
II. JAWABAN TERHADAP FRAKSI REFORMASI (F-REFORMASI)
1. Pemerintah sependapat bahwa pembentukan KPTPK adalah merupakan perwujudan dari komitmen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara tuntas.
2. F-Refomlasi, F-TNI/POLRI, F-KKI, F-PDKB, F-PDIP mengharapkan agar Undang-Undang ini dapat menghilangkan dualisme dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Pemerintah dapat menjelaskan, bahwa prinsipnya tidak terdapat dualisme apabila masing-masing institusi menyadari perannya ada koordinasi dalam setiap penyelesaian masalah yang sifatnya lintas sektoral atau yang multidimensional.
3. Disarankan agar pembentukan komisi ini mampu mengatasi hambatan dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta perlu ada pengaturan yang jelas antara tugas kejaksaan dengan KPTPK. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pengaturan tugas Komisi telah diatur dalam Pasa1 6 RUU, namun hila klausula yang tercantum dalam Pasal 6 dinilai belum memadai tentunya dapat didiskusikan bersama dalam pembahasan selanjutnya.
4. Perlu diatur mekanisme yang menjamin keterbukaan kerja KPTPK dengan memberi ketentuan yang jelas mengenai kewajiban komisi untuk melaporkan secara berkala kepada DPR. Atas tanggapan tersebut, Pemerintah menjelaskan bahwa hal tersebut telah diatur dalam Pasal 16 RUU.
5. Berkaitan dengan Pasal 5 RUU mengenai asas keterbukaan, Komisi dalam melaksanakan tugas dan wewemmgnya, disarankan perlu adanya penambahan “asas keadilan”. Pemerintah dapat menje1askan bahwa asas keadilan tersebut secara implisit telah tercakup dalam asas kepastian hukum dan hal tersebut te1ah diperjelas lagi dalam Penjelasan Pasal 5 RUU.
6. Berkaitan dengan Pasal 10 ayat (1) disarankan pada akhir kalimat diberi tambahan frasa ” … jika Komisi memperoleh petunjuk adanya kompromi yang dilakukan oleh pihak kejaksaan dan kepolisian”. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa apa yang disarankan tersebut sebenamya telah tersirat dalam frasa” ketidakinginan atau ketidakmampuan … “.
7. Berkaitan dengan Pasal 25 huruf e mengenai persyaratan umur, disarankan untuk diubah menjadi “berumur sekurang-kurangnya 30 tahun dan setinggi-tingginya 50 tahun”. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa dasar pemikiran dicantumkan usia minimal 40 (empat puluh) tahun adalah dengan pertimbangan bahwa seseorang yang lulus Sarjana pada usia 25 (dua pu]uh lima) tahun maka dianggap sudah mempunyai pengalaman dan keahlian dalam bidang hukum, ekonomi, atau perbankan, sekurang-kurangnya 15 (1ima belas) tahun, sehingga pada usia 40 tahun seseorang diperkirakan mampu me1aksanakan tugasnya berdasarkan keahlian dan pengalamannya.
8. Disarankan agar diatur mengenai mekanisme kontrol terhadap komisi dalam melaksanakan tugasnya. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan hahwa hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 16 RUU.
III. JAWABAN TERHADAP FRAKSI TNI/POLRI
1. Terhadap tanggapan F-TNI/POLRI dan F-PDU yang meminta penjelasan Pemerintah mengenai Pasal 35 dan Pasal 11 dikaitkan dengan Pasal 8 tentang kewenangan komisi yang sifatnya berlaku surut dalam hal membuka kembali penyelidikan, penyidikan dan penuntutan alas perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa Pasal 35 dan Pasal 11 merupakan kewenangan Komisi yang berlaku surut, namun terhadap Pasal 8 bukan merupakan tindakan yang berlaku surut, tetapi merupakan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali, sehingga konteks permasalahannya berbeda.
2. Terhadap pertanyaan F-TNI/POLRI dan F-PBB mengenai Pasal 21 ayat (1) jika dikaitkan dengan Pasa1 6 akan menimbulkan kerancuan. Karena Pasa1 21 ayat (1) menyebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas … dst”, sedangkan dalam Pasa1 6 menyebutkan “Komisi Pemberantas Korupsi mempunyai tugas…dst” . Atas dasar tersebut, F-TNI/POLRI mempertanyakan apakah Pasal 21 ayat (1) ditujukan hanya pada Pimpinan Komisi saja yang bertugas? Sehingga penyebutan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi dimaksudkan sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Keputusan KomisH Pemberantasan Korupsi. Atas pertanyaan tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa Pasa1 21 ayat (1) ditujukan untuk pengaturan tugas intern Komisi berkaitan dengan kebijakan intern organisasi sedangkan Pasal 6 merupakan kewenangan Komisi yang diberikan oleh RUU berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasa1 43 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
3. F-TNI/POLRI juga mempertanyakan apakah Anggota Tim Penasehat dan pegawas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah pejabat negara, bagaimana dengan status pegawai pada Sekretariat Komisi Pemberantasan Korupsi apakah pegawai negeri atau bukan, Pemerintah dapat menje1askan bahwa Anggota Tim Penasihat dan pegawai Komisi bukan merupakan pejabat negara. Sedangkan mengenai status pegawai Sekretariat Komisi, untuk syarat dan tata cam pengangkatrumya akan ditetapkan dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
4. F-TNI/POLRI meminta penjelasan mengenai sanksi yang akan dijatuhkan pada Anggota atau pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyalahi prosedur ketika melakukan penyidikan dan penyitaan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada Anggota atau pegawai Komisi telah diatur dalam Pasa1 57 dan Pasa1 58 RUU.
5. Meminta penjelasan mengenai biaya pelaksanaan tugas yang berasal dari APBN dan pengembalian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi, karena segala sesuatu pemberian yang berkaitan dengan pekerjaan dapat dikategorikan korupsi. Pemerintah dapat menje1askan bahwa pembiayaan yang didapat dari pengembalian keuangan negara yang berasal dari tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) penggunaannya tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak).
IV. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PARTAI BULAN BINTANG (F-PBB)
1. Meminta penjelasan mengenai batasan dari asas keterbukaan dan asas kerahasiaan dalam penyidikan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa hal tersebut tetap mengacu pada ketentuan Hukum Acara yang berlaku, sedangkan mengenai “keterbukaan” telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 5 huruf b.
2. Terhadap saran F-PBB mengenai ketentuan kerahasiaan dalam Undang-undang tentang Perbankan tidak diberlakukan terhadap Komisi dan perlu ada sanksi terhadap bank maupun tersangka yang tidak melaksanakan perintah Komisi. Atas saran tersebut, dalam RUU ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dan d.
3. Terhadap saran F-PBB agar ada batasan waktu atas kewenangan Komisi untuk memberhentikan sementara transaksi keuangan, perdagangan, untuk mencegah tindakan yang dapat merugikan seseorang yang beritikad baik. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan te1ah ditentukan batas waktunya dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sehingga kerja Komisi merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Disarankan agar jumlah Pimpinan dan anggota Komisi ditambah, dipertegas mengenai syarat keanggotaan panitia seleksi Tim Penasihat, rekruitmen pegawai, penyidik serta pemmtut dan kriteria pengangkatan pejabat-pejabat tersebut. Atas saran tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa kriteria rekruitmen pegawai maupun pejabat yang terkait dengan Komisi didasarkan pada kepakaran atau keahlian yang dimiliki oleh masing-masing orang yang direkrut. Dan mengenai jumlah anggo1ta Komisi dan persyaratan untuk menjadi panitia seleksi, Pemerintah bersedia membahas bersama dengan Anggota Dewan dalam rapat selanjutnya.
5. Terhadap pertanyaan F-PBB mengenai mengapa anggota atau mantan anggota partai politik tidak boleh menjadi anggota Komisi dan Komisi tidak boleh mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan, serta bagaimana terhadap perkara yang sedang disidik padahal tidak cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan. Atas pertanyaan tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa Komisi bersifat independen dan bebas dan pengaruh pihak manapun, sehingga dikhawatirkan apabila anggota atau mantan anggota partai politik yang ikut menjadi anggota Komisi akan menimbulkan conflict of interest.
V. JAWABAN TERHADAP FRAKSI KESATUAN KEBANGSAAN INDONESIA (F-KKI)
1. Menanggapi saran dari F-KKI agar pemberian kewenangan yang luar biasa kepada lembaga baru (KPTPK) jangan sampai mengganggu fungsi dan peran lembaga penegak hukum lainnya, Pemerintah dapat menjelaskan karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) maka pemberantasannya juga perlu dilakukan dengan eara luar biasa dan khusus.
2. Terhadap saran agar RUU ini mempunyai materi yang mencakup aspek preventif, represif, dan edukatif secara komprehensif Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketiga aspek tersebut telah tersurat dan tersirat dalam RUU ini antara lain:
a. Aspek preventif PasaI 6 hurufb, huruf c, dan huruf d;
b. Aspek represif Pasal 8 sampai dengan Pasal 12; dan
c. Aspek edukatif Pasal13.
3. Terhadap pertanyaan F-KKI dan F-PP, mengapa tugas Komisi Pemelfiksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) tidak persis sama dengan KPTPK, pada hal secara substansial tujuan kedua komisi ini adalah sama. Selanjutnya dalam RUU Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan pula adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KPTPPU) apakah belum waktunya dipikirkan untuk menyatukan komisi-komisi tersebut dalam rangka pembahasan RUU tindak pidana korupsi ini. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa baik pembentukan maupun pemberian tugas suatu Komisi dilaksanakan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang yang mendelegasikan pembentukannya. Selanjutnya terhadap pemikiran penyatuan ketiga Komisi, yakni KPKPN, KPTPK, dan KPTPPU. Pemerintah kurang sependapat karena dasar hukum pembentukannya berbeda satu sama lainnya.
VI. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PERSERIKATAN DAULATUL UMMAH (F-PDU)
1. Terhadap usul F-PDU berkaitan dengan Pasal 7 huruf f tentang kewenangan KPTPK, seharusnya ketentuan ini ditegaskan hanya terhadap penyelenggara negara yang diduga kuat dengan bukti permulaan yang cukup telah melakukan tindak pidana korupsi, Pemerintah dapat menje1askan mengenai proses dimulainya penyelidikan dilakukan berdasarkan KUHAP. Selanjutnya mengenai usu1 F-PDU terhadap Pasal 7 huruf g kiranya perlu memperhatikan secara sungguh-sungguh ketentuan Undang-undang tentang Perpajakan, Pemerintah dapat menyetujui usul tersebut, namun karena KPTPK merupakan lembaga khusus yang dibentuk untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), maka da]am melakukan tugasnya juga mempunyai kekhususan terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2. Terhadap pemyataan F-PDU bahwa Pasa] 8 ayat (1) sangat membingungkan karena rnernbuka perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berarti melanggar asas ne bis in idem, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa karena korupsi telah terjadi secara sistimatik dan meluas dan bukan hanya merupakan ancaman dan serangan yang merugikan keuangan negara, akan tetapi rnerupakan pe1anggaran terhadap hak-hak sosia1 dan ekonomi masyarakat secara luas, maka korupsi tidak dapat 1agi digo1ongan sebagai kejahatan biasa me1ainkan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu penanggulangan terhadap tindak pidana korupsi tidak lagi hanya semata-mata dapat diselesaikan dengan cara-cara biasa melainkan harus dengan cara yang luar biasa dan khusus. Se1anjutnya frasa “demi kepentingan hukum dan keadilan” dalam Pasa1 8 ayat (3), agar tidak disalahgunakan dan disalahartikan dikemudian hari perlu dijelaskan, menurut Pemerintah hal tersebut dapat dibahas bersama untuk mendapatkan rumusan yang memadai.
3. Perlu diperjelas mengenai kualitas dan kuantitas yang memadai dari Anggota Komisi berkaitan dengan Pasa117, Pasal 18, Pasal 20, dan Pasa1 22, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa setelah dicermati berkaitan dengan Pasa1 17, Pasal 18, Pasa1 20, dan Pasa1 22 hanya mengenai pimpinan KPTPK yang sudah ditentukan syarat-syaratnya dan jumlahnya tetapi untuk Tim Penasihat dan pegawai KPTPK belum ditentukan syaratsyaratnya, untuk itu Pemerintah bersedia mernbahas dalam Pernbicaraan Tingkat III.
VII. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PARTAI DEMOKRASI KASIH BANGSA (F-PDKB)
1. T erhadap saran F -PD KB yang menginginkan agar menganut kebijakan satu pintu (one gate policy) dimana kewenangan penyidikan dipercayakan pada komisi dan selanjutnya Komisi tersebut yang menetapkan keterlibatan kepolisian dan atau kejaksaan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2).
2. Sehubungan dengan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai wewenang Komisi mengadakan koordinasi dan supervisi, F-PDKB menyarankan seyogyanya bertanggung jawab kepada DPR, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa mengenai KPTPK menurut Pasal 16 RUU ayat (1) ditentukan bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara berkala kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden.
3. Terhadap perlunya sinkronisasi ketentuan minimum pidana denda dan pidana penjara antara RUU tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan RUU ini, Pemerintah dapat menje1askan bahwa ketentuan pidana sebagai ditentukan dalam Pasal 57 dan PasaI 58 RUU hanva berlaku untuk setiap anggota KPTPK dan pegawai pada KPTPK sedangkan dalam RUU tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 berlaku untuk setiap orang yakni orang perseorangan atau korporasi, sehingga perlu dibedakan.
4. Terhadap saran perlunya perbaikan rumusan Pasal 30 ayat (1) menjadi “Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama atan lkepercayaannya”, Pemerintah bersedia untuk membahas bersama Dewan yang terhormat.
VIII. JAWABAN TERHADAP FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (F-PDIP)
1. Terhadap saran bahwa perlunya pengaturan atas keikutsertaan elemen masyarakat dalam berbagai golongan dan kepentingan serta LSM yang dapat menciptakan supporting system bagi KPTPK, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk dibahas bersama atas saran tersebut dalam Pembicaraan Tingkat III.
2. Terhadap pemikiran bahwa perlunya dipertegas dan diperjelas institusi mana yang menjadi penyidik tunggal dan institusi mana yang berwenang mengajukan penuntutan serta institusi mana yang akan mengkoordinasi harus didasarkan pada fungsi-fungsi preventif, detektif, dan represif, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa dalam RUU ini ditentukan dalam tindak pidana korupsi pada prinsipnya penyidikan dilakukan oleh KPTPK, namun dalam hal tertentu KPTPK dapat melimpahkan perkara tindak pidana korupsi kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Agung Pasal41 ayat (4) RUU.
3. T erhadap pertanyaan apakah mampu KPTPK yang berkedudukan di ibukota negara dapat menangani kejahatan korupsi yang tersebar di wilayah negara R.I, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa KPTPK selain berkedudukan di Ibukota negara, perwakilan KPTPK dapat dibentuk juga di daerah provinsi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan di daerah.
4. Terhadap pertanyaan F-PDIP dan F-PBB mengenai apa dasar KPTPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana tersurat dalam Ketentuan Pasal 37 RUU, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 34 ayat (1) ditentukan bahwa ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPTPK kecuali Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian yang berwenang mengeluarkan surat penghentian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan adalah pemmtut umum (Pasal 140 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
5. Terhadap usulan perlu dibuatnya sebuah sistem yang integrated untuk mengakomodasi lembaga yang telah ada seperti badan-badan audit internal, sehingga Komisi initidak bekerja dari bawah lagi, Pemerintah dapat mempertimibangkan usulan tersebut untuk dibahas dalam Pembicaraan Tingkat III.
6. Terhadap saran bahwa perlunya memperhatikan peran MA dalam penyusunan RUU ini, sehingga KPTPK ini tidak menjadi lembaga otorian baru dalam bidang yudikatif yang dapat memunculkan ketidakpastian hukum baru, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa peran MA telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) RUU, yakni dalam hal perkara tindak pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dibuka kembali hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan MA.
7. Terhadap pemikiran dalam hal pembentukan sebuah KPTPK perlu memperhatikan hubungan hukum antara lembaga yang akan dibentuk dan yang telah ada, hukum acaranya, penerapan sistem pembuktian terbalik, kedudukan Komisi dan bagaimana peran Komisi dalam berbagai tingkat proses pengadilan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa hal tersebut telah diatur dalam Pasal 47 RUU.
8. Terhadap per1unya konsepsi Integrated Criminal Justice System dijadikan pertimbangan dalam pembentukan Komisi, sehingga dalam pembentukannya tidak keluar dari sistem hukum pidana secara holistik, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pembentukan KPTPK ini dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan mengenai hukum acara yang digunakan dalam pelaksanaan tugasnya tetap mengacu pada KUHAP kecuali ditentukan lain dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian tetap memperhatikan adanya konsepsi Integrated Criminal Justice System tersebut.
9. Hal-hal yang perlu diadopsi dalam RUU ini adalah :
a. Sebagai undang-undang yang bersifat khusus, RUU ini harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang ada, seperti asas dan ketentuan prinsipil dalam KUHAP, guna menghindari kekacauan dalam penegakan hukum. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa asas dan ketentuan dalam KUHAP sepanjang kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan telah terakomodasi dalam Pasal 34 RUU yang tetap dijadikan landasan dalam pe1aksanaan tugasnya, kecuali ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP.
b. Perlu diperje1as mekanisme pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kompsi yang memegang jabatan tertentu, misalnya sebagai pejabat negara, anggota TNI, dan sebagainya. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa mekanisme pemeriksaan tetap mengacu pada hukum acara yang berlaku.
IX. FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG)
1. Terhadap pemikiran yang tidak sependapat apabila Komisi ini menjadi super body, yang keberadaan, kedudukan dan kewenangannya menjadi lebih kuasa dan lebih tinggi dari jajaran POLRI dan Kejaksaan Agung, begitu pula halnya apabila menjadi permanent body yang memiliki struktur organisasi yang tidak jauh berbeda dengan organisasi Pemerintah pada umumnya, dan yang memiliki kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan dalam satu tangan mulai dari pusat sampai daerah, serta merekrut tenaga penyelidik dan penyidik hanya cukup diatur oleh Komisi itu sendiri. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa Komisi ini dibentuk dengan ide dasar untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara tegas dan tuntas, sehingga perlu diberi kewenangan yang khusus mengenai hal ini telah dijelaskan oleh Pemerintah dalam memberikan penjelasan secara umum atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi.
2. Berkaitan dengan Pasa1 3 bagaimana kedudukan dan fungsi Komisi dalam sistem hukum tata negara kita dan benarkah fungsi dan kedudukannya terlepas dari cabang kekuasaan eksekutif sebagai bagian dari mekanisme checks and balances dalam hukum tata negara kita, bukankah Presiden juga mempertanggtmgjawabkan proses penegakan hukum kepada MPR. Atau dengan perkataan lain RUU ini menjadikan Komisi lebih kuasa dari eksekutif dan lepas dari konsepsi pengaturan cabang-cabang kekuasaan negara pada umumnya. Terhadap pemikiran yang dikemukakan oleh F-PG, Pemerintah telah menjelaskan dalam Penjelasan Umum mengapa diperlukannya Komisi yang independen.
X. FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (F-PPP)
1. Memenuhi harapan F-PPP agar dalam Pembahasan Tingkat III dibentuk Panitia khusus yang akan membahas RUU inisiatif DPR dan RUU inisiatif Pemerintah, serta RUU tentang Penlbahan Undang-undang Nomor 31 Tahoo 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga diharapkan terjadi sinkronisasi yang lebih baik antara undang-undang yang satu dengan undang-undang lainnya. Mengenai hal tersebut Pemerintah menyerahkan kepada kebijaksanaan Dewan untuk menentukan mekanisme mana yang terbaik.
2. Terhadap pendapat yang didasarkan pada jabaran Pasa1 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, berarti di samping adanya Komisi ini, masih terdapat instansi lain yang melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang akan disupervisi dan dikoordinasi oleh Komisi ini. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pengertian koordinasi dan supervisi da]am Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam penje1asan Pasa1 6 RUU ini
3. Terhadap pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman Pemerintah yang dianggap salah menerapkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 daIam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 yang selanjutnya dibatalkan Putusan Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review, menjadi hikmah bahwa untuk menegakkan hukum tidak harus dengan melanggar Imkum, dan dalam RUU ini hendaknya ketentuan Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 perlu dijabarkan lebih jelas, tidak hanya seperti yang dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (2) RUU ini. Memenuhi harapan F-PPP Pemerintah dapat menjelaskan bahwa rumusan Pasal 7 ayat (2) sudah cukup memadai dan tidak melanggar hukum, mengingat salah satu tugas dan wewenang yang melekat pada KPTPK adaIah melakukan koordinasi.
4. Sehubungan dengan keinginan F-PPP yang mendasarkan pada keterkaitan pengaturan ketentuan-ketentuan dalam Bab V, Bab VI , Pasal 57, Pasa1 58 RUU. Dan terhadap Pasal 32 RUU dapat juga dilakukan oleh Polisi dan Jaksa yang melaksanakan wewenangnya memberantas korupsi, dapat dijadikan pertimbangan adanya keterkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, sehingga sebaiknya dilakukan penyatuan atau dikompilasikan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahlln 1999 yang saat ini akan direvisi. Memenuhi keinginan F-PPP, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pengaturan ketentuan-ketentuan tersebut dalam RUU ini merupakan bagian yang integral dalam RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhomat,
Demikianlah jawaban Pemerintah yang dapat kami sampaikan sehubungan dengan Pemandangan Umum Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat RepubIik Indonesia terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa jawaban ini masih jauh dari memuaskan para Anggota Dewan yang terhonnat, karena substansinya belum menjangkau seluruh permasalahan yang dikemukakan oleh Fraksi-fraksi. Untuk itu, Pemerintah menyarankan agar masalah-masalah tersebut dijadikan bahan acuan dalam Pembicaraan Tingkat III.
Akhirnya Pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat dalam mengikuti penyampaian jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para wartawan media massa, baik cetak maupun elektronik yang telah meliput pembahasan RUU ini, untuk disampaikan kepada masyarakat.
Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada Sekretariat lenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang telah membantu kelancaran dalam rangka pelaksanaan pembahasan RUU ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita sekalian, sehingga dapat menyelesaikan tugas yang mulia ini dengan sebaik-baiknya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, 17 September 2001

ATAS NAMA PEMERINTAH
MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
YUSRIL IHZA MAHENDRA





KETERANGAN PEMERINTAH
DI HADAPAN RAPAT PARIPURNA
DEWAN PERWAK:ILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MENGENAI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TANGGAL, 30 AGUSTUS 2001
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Hadirin dan Sidang yang kami muliakan,
Assalamualaikum Wr.Wb.
Pertama-tama marilah kita mcngucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, dan karunia-Nya, sehingga pada hari yang berbahagia ini, Kamis 30 Agustus 2001, kita mendapat kesempatan untuk bertemu kembali dalam sidang yang mulia ini dalam rangka mengabdi kepadabangsa dan negara yang sarna-sarna kita cintai.
Selanjutnya perkenankan kami atas nama Pemerintah merigucapkan terima kasih kepada Dewan yang terhonnat atas kesempatan yang dilberikan kepada kami untuk menyampaikan Keterangan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah disampaikan oleh Presiden kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dehgan Amanat Presiden Nomor R.13/PU/VII2001 tanggal5 Jlilni 2001.
Ucapan terima kasih secara khusus kami sampaikan atas kesediaan Dewan yang terhonnat, yang tetap memberikan perhatian yang khusus dengan menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran guna membahas Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kami yakin bahwa semua ini karena adanya komitmen para Anggota Dewan yang terhormat terhadap pembangunan di bidang hukrun yang mempunyai fungsi strategis dalam mendukung dan memberikan arahan yang jelas untuk melanjutkan pembangunan nasional.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Berdasarkan Ketetapan Majelis Pennusyawaratan Rakyat Nomor XIIMPRIl998 tentang PenyeJenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, KoJusi dan Nepotisme, yang merupakan perwujudan dari kehendak rakyat, telah diundangkan Undang-undang Nomor 28 Tabun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-undang Nomor 31 Tabun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pi dana Korupsi Penyelesaian perkara tindak pi dana korupsi sampai saat ini masih terdapat berbagai kenda1a dan kesulitan baik untuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan pelaku tindak pi dana korupsi.
Bahkan tindak pidana korupsi yang selama ini tetjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya berupa keuangan negara, tetapi juga te1ab merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosia] dan ekonomi masyarakat secara luas masih tetap berlangsung dan bagailkan penyakit kanker yang sulit untuk disembuhkan, dan hal tersebut menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas kesungguhan aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, dengan adanya kendala pelaksanaan dalam pemberantasan tindak pi dana korupsi dan berdasarkan pertimbangan yuridis terutama Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendelegasikan pedu dibentuknya suatu lembaga yang menangani secara khusus pemberantasan tindak pidana korupsi secara profesional, dari mulai penyelidikan sampai dengan penuntutan, dengan anggota yang mempunyai komitmen yang bulat dan integritas moral yang tangguh, dapat memelihara kejujuran, dan kepribadian yang utuh serta disiplin yang kuat, yang mampu meningkatkan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Perkenankan kami di hadapan sidang yang mulia ini menyampaikan beberapa pokok pikiran yang melandasi penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pokok-pokok materi yang diaturnya.
Pokok-pokok pikiran yang mellandasi penyusunan Rancangan Undang-undang tersebut adalah :
Pertama, bahwa untuk lebih meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat, maka diperlukan landasan hukum yang kuat, yang menjamin untuk mewujudkan penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan, kebenaran” dan kepastian hukun.
Kedua. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini teIjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan peJanggaran temadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilaksanakan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Ketiga, bahwa perIu adanya lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi yang berfimgsi secara intensif, efektif, efisien, profesional, independen, dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.
Keempat, bahwa Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana KOTUpsi telah mendelegasikan untuk membentuk suatu ]embaga yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam snatu Undang-undang, sekaligus menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telahdiputus oleh Mahkamah Agung melalui hak uji materiiJ dengan Putusan Nomor 03PIHUM/2000, yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah NomoT 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta Peraturan Pemerintah tersebut harns dicabut oleh Pemerintah. Dengan demikian Rancangan Undang-undang dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum dan mengisi kekosongan hukum serta memberikan perlindungan hak -hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Dengan berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, maka akan kami sampaikan pokok-pokok materi dari Rancangan Undang-mndang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Kruppsi kami anggap penting, yaitu :
1. Asas dan Sifat Pembentukan Komisi
Dalam Rancangan Undang-undang tnt diatur mengenat asas pembentukan Komisi yaitu asas kepastian hukmn, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan ummn, dan proporsionalitas. Komisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun;
2. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi
Dalam Rancangan Undang-undang ini juga diatur tugas Komisi antara lain melakukan penyelidikan, penyiidikan, penuntutan tindak pidana korupsi, melakukan supervisi dan koordinasi dengan instansi terkait yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pi dana korupsi, serta melakukan tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Sedangkan wewenang Komisi diatur secara luas, tennasuk melakukan berbagai tindakan yang selama ini merupakan kewenangan polisi dan jaksa, antara llain melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Selain mempunyai tugas dan kewenangan, Komisi mempunyai kewajiban antara lain membe:rikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan pengaduan, laporan, ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
3. Keanggotaan Komisi
Keanggotaan Komisi terdiri dar Pimpinan Komisi merangkap anggota Komisi sebanyak 3 (tiga) ora!lg, Tim Pelaksana yang terdiri dari 5 (lima) orang, dan pegawai Koinisi sebagai pelaksana tugas. Kesemua anggota dalam keanggotaan Komisi diangkat berdasarkan kepakaran atau keahlian yang dimiliki masing-masing dan berasal dari unsur Pemerintah dan masyarakat.
4. Rehabilitasi, Kompensasi, dan Restitusi
Dalam Rancangan Undang-undang ini diatur mengenai pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi. RehabiIitasi, kompensasi, dan restitusi diberikan apabila seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikall, penyidikan, atau penuntutan yang bertentangan dengan Undang-undang ini atau hukum yang berlaku, yang dilakukan oleh Komisi.
5. Ketentuan Pidana
Dalam Rancangan Undang-undang ini diatur mengenai ketentuan pidana. Ketentuan ini dliberlakukan bagi anggota atau pegawai Komisi yang melakukan pe]anggaran terhadap larangan-Iarangan yang ditentukan, antara lain mengumumkan proses dan hasil penyelidikan dan penyidikan Komisi tanpa seizin Pimpinan Komisi.
6. Pengadilan Khusus
Untuk penyelesaian proses peradilan secara efektif dan efisien, dibentuk pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang berada di lingkungan Peradilan Umum pada Pengadilan Negeri di setiap daerah provmsl. Pengadilan ini berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi.
Sehubungan dengan pokok-pokok pikiran yang diatur tersebut, mengingat Rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat diperlukan sebagai landasan hukum untuk penegakan supremasi hukum dan penegakan dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka kami mohon kepada Anggota Dewan untuk membahas Rancangan Undang-undang tersebut dengan penuh kehati-hatian, kecermatan, dan ketelitian.
Saudara Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhormat,
Demikian Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas nama Pemerintah sekali lagi kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Saudara Pimpinan dan para Anggota Dewan yang terhormat atas segala perhatian dan kesabarannya untuk mengikuti penyampaian Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindalk Pidana Korupsi.
Demikian juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para wartawan media massa, baik cetak maupun elektronik yang telah meliput pembahasan Rancangan Undang-undang ini untuk disampaikan kepada masyarakat.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dapat menyelesaikan tugas yang mulia ini dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu.
Semoga amal ibadah dan amal pembangunan kita sekalian mendapat ridho Allah SWT.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 30 Agustus 2001
ATAS NAMA PEMERINTAH
MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA
AD INTERIM
HARI SABARNO, M.B.A., M.M.