Beranda

Minggu, 17 Februari 2013

Sistem peradilan pidana progresif



BAB I
PENDAHULUAN

A .  Latar Belakang

Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang seyogyanya  dapat diterima oleh  semua insan yang ada di dalamnya.
Cara pandang legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya.
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, bahkan dunia internasional menilai lembaga pengadilan Indonesia sangat buruk, terutama yang dilakukan oleh elemen-elemen penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim sampai para petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Peradilan merupakan  hal yang menunjuk pada segala aktivitas pengadilan dalam menjalankan fungsinya yakni penegakan hukum dan penegakan keadilan.[1] Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya memerankan fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan, dapat menjadi sarana rekayasa social (social engineering) bagi masyarakat. Kenyataannya malah menimbulkan anarkhi sosial yang berkepanjangan. Tidak sedikit polisi yang bertindak tidak dengan hati nurani, tapi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, tidak jarang pula jaksa, hakim yang memeras dan merubah perkara hanya demi mendapatkan keuntungan yang bersifat materi. Putusan- putusan pengadilan sering tidak diterima masyarakat. Keadaan-keadaan seperti itu diperparah dengan perilaku oknum aparat penegak hukum yang kurang terpuji dan melakukan perbuatan yang mencoreng diri dan lembaganya sendiri. Kasus suap yang terjadi di hakim  Agung . Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa penegakan hukum di Indonesia memang sedang dihadapkan pada masalah besar.
Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gagasan hukum progresif serta penerapannya dalam konteks sistem peradilan pidana ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Penerapan Hukum Progresif  dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara sederhana sistem peradilan pidana merupakan suatu sarana penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan.  Secara eksplisit, pengertian sistem peradilan pidana itu menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam peradilan, sehingga dikenal dengan sebutan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).[2] Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan istilah law enforcement system,[3]
Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu terdapat kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat.
1)         Gagsan hukum progresif di Lembaga Kepolisian
 Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian,  tidak lain berupa penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status quo dari hukum. polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum yang menjadi “majikannya”.
Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama.  Ketika polisi menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang-undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.[4]
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan community policing.[5]
 Memang  berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan paradigm polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak antara lain; mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
 Di samping  gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum. Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenanganformal yang diberikan tidak otomatis memberi kekuasaan kepada badan badan untuk mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.[6] Jika konsep ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.

2)         Gagasan hukum progresif  di lembaga kejaksaan.
Kejaksaan ada dua hal yang melekat  yaitu: birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hirarkhis dan berlaku sistem komando. Keempat karakter ini diturunkan dari doktrin bahwa “kejaksaan adalah satu” (een en ondeelbaar).
Karakter birokratis, menghendaki penanganan perkara dilakukan dengan pentahapan- pentahapan yang tegas, berurutan dan berjenjang, yang dilaksanakan oleh bidang yang berbeda (penyelidikan oleh intelijen dan penyidikan- penuntutan oleh bagian pidana khusus).
Karakter sentralistik menghendaki semua tahap penanganan perkara (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) dikendalikan dan didasarkan atas kebijaksanaan serta petunjuk pimpinan secara hierarkhis. Sistem komando, menempatkan birokrasi di tingkat yang lebih tinggi sebagai komandan yang dapat memberikan perintah kepada birokrasi tingkat bawah, dan birokrasi level bawah wajib menjalankan perintah. Pengendalian penanganan perkara dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) hingga Kepala Jaksa Agung (Kejagung), yang diwujudkan dalam bentuk: (1) pembuatan laporan penanganan perkara (hasil penyelidikan, hasil penyidikan, hasil persidangan); (2) ekspose (hasil penyelidikan, hasil penyidikan, rencana dakwaan); (3) pembuatanrencana dakwaan sebelum dilimpahkan ke pengadilan; (4) pengajuan rencana tuntutan (rentut) sebelum pembacaan tuntutan pidana.[7]
Karakteristik lembaga kejaksaan di atas, tentu saja masih pro status qou dalam arti masih menghamba pada aturan-aturan hukum formal dengan paradigma positivisme yang menjadi meanstream utamanya. Sistem yang diterapkan tidak memberikan kebebasan kepada aktor-aktor jaksa untuk melakukan kreasi khususnya berkaitan dengan mekanisme penyusunan dakwaan dan penuntutan.
Hukum progresif melakukan upaya pembebasan terhadap konsep-konsep yang dianggap mapan, dimana kekakuan sistem dan aturan formal masih membelenggu dan menjadi pusat perhatian, tapi beralih pada manusia sebagai titik sentralnya, karena hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya. Karakteristik yang demikian, menurut Satjipto Rahardjo, merupakan karakteristik dari hukum modern yang telah menimbulkan perubahan paradigmatic dari orde keadilan menjadi orde undang-undang dan prosedur dengan adanya rasionalisasi strukturisasi, formulasi serta birokratisasi. Fokus perhatian juga bergeser dari manusia dan kemanusiaan, kearah penegakan pada peraturan, struktur dan prosedur.[8]
 Dengan pemahaman seperti ini, jaksa menjadi titik sentral. Ketika ia menghadapi penjahat, yang ada dalam pikirannya bukan pada bagaimana menerapkan aturan yang terdapat dalam rumusan pasal, tapi mementingkan aspek manusia, empati, hati nurani, dan keberanian, karena hukum progresif melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum.  menyangkut budaya aparat penegak hukum (jaksa) di dalam mengkonstruksi pandangan mereka ketika menegakkan hukum, yang tidak menyerahkan bulat-bulat kepada aturan, tetapi kepada unsur lain di luar hukum. Keberanian dibutuhkan di sini, karena hukum progresif membutuhkan keberanian di dalamnya. Penegakan hukum ada kaitannya dengan keberanian. Lebih-lebih menghadapi suatu keadaan luar biasa dewasa ini, yang dibutuhkan sungguh adalah penegakan yang progresif. Penegakan hukum progresif oleh Jaksa tidak bisa diserahkan kepada caracara konvensional sistem pencet tombol, melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan yang penuh greget (compassion, empathy, commitment, dandare atau courage). Oleh karena itu, faktor keberanian pun menjadi penting dan mendapat tempat.[9]
 Keberanian ini meliputi keberanian untuk menghukum seseorang yang telah nyata melakukan perbuatan yang merugikan dan bertentangan dengan perasaan keadilan dan hati nurani masyarakat, dan keberanian untuk tidak meneruskan perkara ke pengadilan. Hal yang terakhir ini lazim disebut dengan diskresi. Diskresi merupakan salah satu bagian dari gagasan hukum progresif, karena terkait dengan masalah hati nurani, empati dan kemanusiaan. Hukum progresif menolak anggapan bahwa manusia untuk hukum, tapi hukum untuk manusia. Ketika jaksa berpandangan bahwa membawa suatu perkara ke pengadilan hanya akan membuat seseorang (penjahat) semakin sengsara, maka dengan keberanian, empati, kejujuran yang dimiliki, ia bisa saja tidak melakukan itu. Ia memberontak dari kungkungan aturan-aturan formal yang serba formal, prosedural dan sentralistik.
3)            Gagasan Hukum progresif di  Lembaga pengadilan.
Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.[10] Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem hukum formal yang terlepas dengan masyarakat, sehingga tidak heran kalau dikatakan, pengadilan terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan itu berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke kediktatoran pengadian (judicial dictatorship), oleh karena pengadilan sebagai lembaga  memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengdilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dari tubuh itu.[11]
Tidak sedikit dari putusan-putusan pengadilan yang malah jauh dari dinamika masyarakat.  Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case). Praktik yang berlandaskan filsafat liberal ini makin meluas dilakukan dunia sehingga sedikit banyak menjadi standar. Bangsa yang mencoba mengotak-atik kemapanan dari sistem liberal itu akan dicap sebagai tidak beradab, melanggar prinsip universal, hak asasi dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan ini, pengadilan progresif menolak pemahaman , dengan suatu maksim “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim bukan hanya teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sesunggunya mulia karena bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya,[12] sehingga tidak salah ungkapan yang mengatakan, bahwa penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan. Ungkapan di atas menggambarkan betapa berat dan terkurasnya hakim saat menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu pergulatan batin. Suasana ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan yang sering tidak mudah. Hakim harus menyadari benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan dihadapkan aturan hukum, fakta-fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa atau advokat, dan lebih dari itu masih harus meletakkan dirinya di jantung masyarakat. Ada suatu ungkapan indah yang mengatakan bahwa hakim juga harus mewakili suara rakyat yang diam, yang tidak terwakili, dan yang tidak terdengar (unrepresented dan under-represented).
 Alangkah mulia sebenarnya tugas hakim. Mendengarkan, melihat, membaca, kemudian menjatuhkan pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan karena itu menguras tenaga dan pikiran. Dalam keadaan sekarang, masih ditambah dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan ke arah dunia materiil.[13]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sistem peradilan pidana dalam  hukum progresif  harus menjadi ruh dalam penegakan hukum pidana  khususnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Karena , “hukum   untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Gagasan ini merupakan antitesa dari karakteristik sistem peradilan pidana yang masih “mengkultuskan” hukum  modern, sehingga dianggap tidak mampu lagi mendatangkan keadilan bagi pencari  keadilan. Kebanyakan dari polisi, jaksa dan  hakim masih menjadikan aturan-aturan formal sebagai “majikan” yang  selalu  “disembah” dan dijadikan patokan di dalam menyelesaikan suatu perkara.  Jika gagasan ini diterapkan, akan ada cara pandang baru dalam penegakan hukum di Indonesia, yang tidak hanya bertolak pada aturan-aturan formal, tapi juga melihat hal-hal yang di luar itu.  Misalnya Kesabaran, kejujuran, empati, dedikasi, komitmen, keberanian dan hati nurani menjadi bagian penting dalam penegakan hukum.
B.     Saran

sistem peradilan pidana dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan merupakan lembaga penegak hukum dan penegak keadilan, maka lembaga-lembaga tersebut di tuntut untuk berada pada garda terdepan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum demi menjaga independensinya  untuk menjadi   sistem peradilan pidana yang baik dan berhati nurani, untuk mewujudkanya bukan saja tangung jawab kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tetapi  menjadi kewajiban kita semua untuk bersama-sama menjaga ketertiban . Artinya, tidak hanya menjadi tugas dan kewajiban para penegak hukum yang ada dalam sistem peradilan pidana saja, tapi juga tugas dan kewajiban kita semua.


[1]  Sidik Sunaryo, 2005, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit UMM Press, Malang, , hlm 56.
[2] Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetk. Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang , hlm 1
[3] Bryan A. Garner, 2004.Black’s Law Dictionary, ,  Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika Serikat, , hlm. 901
[4] Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta,  hlm. 30-31
[5] Ibid  hlm, 33
[6] Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 45-46
[7] Rekonstruksi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, dalam www.antikorupsi.org, diakses tanggal 28 november  2012
[8] Satjipto Rahardjo, 2005 “Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia”, artikel pada Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1 No. 1 , hlm. 1
[9] Satjipto Rahardjo,2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 63.
[11] Ibid., hlm. 38
[12] Ibid., hlm. 56
[13] Satjipto Rahardjo, “Perang di Balik Toga Hakim”, artikel pada Harian Kompas, 9 Juli 2003 http://www.google.com/s=Perang+di+Balik+Toga+Hakim”%2C+artikel+pada+Harian+Kompas di akses 17 Desember 2012

MEMBANGUN KONSTRUKSI POLITIK HUKUM MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai sarana Integrasi sosial, yang berupa penyelesaian konflik-konflik kepentingan dalam hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan hukum sebagai integrasi sosial diwujudkan dengan lembaga pengadilan yang berfungsi mengintegrasikan dan menyelesaikan konflik tersebut, sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan kembali nyaman dan tenteram. Bekerjanya lembaga peradilan dalam proses peradilan pidana berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Proses peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat berfokus pada pelaku tindak pidana, baik mengenai kedudukannya sejak tersangka sampai menjadi terpidana maupun hak-haknya sebagai tersangka atau pun terdakwa sangat dilindungi oleh KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa proses peradilan pidana sesuai KUHAP adalah Offender minded/ Offender Oriented Criminal Justice Process. Oleh karena sangat berfokus pada kepentingan pelaku tindak pidana maka kepentingan korban (victim's interests) tidak mendapat tempat di dalam KUHAP.
KUHP sebenarnya telah mengatur kepentingan korban untuk memperoleh ganti kerugian kepada pelaku melalui keputusan hakim yang berupa pidana bersyarat, di mana mengganti kerugian kepada korban dijadikan sebagai syarat khususnya. Namun demikian karena hanya sebagai syarat khusus dari pidana bersyarat maka seringkali tidak diterapkan
Dewasa ini perkembangan internasional dalam konsep peradilan pidana dan prosedur penanganan kasus pidana di beberapa negara telah dikenal adanya mediasi penal.[1] (penal mediation, mediation penale, mediation in criminal matters, Victim – Offender Mediation) yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Mediasi yang sebelumnya hanya dikenal dalam hukum perdata, telah sering digunakan di beberapa negara untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana. Mediasi penal merupakan bentuk perwujudan dari konsep restorative justice, yang hendak memulihkan hak - hak korban. Dalam mediasi penal penyelesaian kasus pidana dilakukan tanpa melalui proses peradilan pidana formal/tradisional, karena itu dikenal sebagai Penal Mediation atau Victim – Offender Mediation (VOM), Offender-victim Arrangement (OVA), atau Mediation in Criminal Matters, atau dalam bahasa Jerman  Der AuĂźergerichtliche Tatausgleich” (disingkat ATA1) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pĂ©nale”. Täter-Opfer-Ausgleich (TOA).[2]
Dalam penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir sama dengan yang kita kenal diskresi (discretion) yang dimiliki oleh lembaga sistem peradilan pidana kita, seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk untuk tidak meneruskan sebagian kasus tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun demikian terdapat esensi yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi penal lebih mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan korban, sehingga tercapai win-win solution yang menguntungkan pelaku tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan secara langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya sehingga dihasilkan perdamaian para pihak.
Melalui mediasi penal proses penanganan perkara dilakukan dengan transparan sehingga dapat mengurangi permainan kotor yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana tradisional. Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal, sebagaimana telah dipraktikan di beberapa negara, maka diperlukan upaya berupa kajian untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka  permasalahan yang menjadi fokus dalam makalh  ini adalah sebagai berikut : 
-   Bagaimanakah praktik mediasi penal di dalam masyarakat Indonesia pada saat ini?
Bagaimanakah konstruksi politik hukum mediasi penal sebagai alternatif dalam penyelesaian 
      perkara    pidana di masa yang akan datang ?


 BAB II
PEMBAHASAN


A.          Praktek Mediasi Penal di Indonesia

1.      Pengertian Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal
Pengertian konstruksi dalam konteks teknik arsitektur dan sipil, diartikan sebagai kegiatan membangun sarana dan pra sarana yang merupakan satu kegiatan yang terdiri dari pekerjaan yan berbeda- beda.[3] Sementara itu politik hukum menurut A.Apeldorn mempunyai pengertian sebagai politik perundang – undangan, yang berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan (pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja).

Dengan demikian konstruksi politik hukum dapat diartikan sebagai kegiatan atau pekerjaan membangun perundang-undangan yaitu dengan menetapkan tujuan dan isi peraturan perundangundangan. Selanjutnya pengertian konstruksi politik hukum mediasi penal dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan menciptakan atau membangun perundang- undangan tentang mediasi penal dan  pelaksanaannya, sehingga meliputi kegiatan formulasi tentang mediasi penal dan kegiatan memformulasikan aplikasi atau pelaksanaan (formulasi aplikatif) mediasi penal di masa mendatang.

2.      Posisi Mediasi Penal Dalam Proses Peradilan Pidana
Hulsman mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan masalah sosial (social problem) dengan alasan :[4]


1)      The criminal justice system inflicts suffering;
2)       The criminal justice system does not work in terms of its own declared aims;
3)       Fundamental uncontrolability of criminal justice system.
4)       Criminal justice system approach is fundamentally flawed .

Sistem peradilan pidana merupakan sistem yang terdiri atas sub-sub sistem seperti lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga pengadilandan lembaga pemasyarakatan, bahkan termasuk penasihat hukum. Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia berlandaskan pada Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai hukum formil untuk melaksanakan hukum pidana materiil. Dalam proses peradilan pidana, bekerjanya sistem peradilan pidana terdapat saling kebergantungan (interdepency) antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan secara lebih luas. Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang mewakili korban, dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku dan negara (Jaksa penuntut umum).
Restorative justice menuntut proses peradilan pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.

3.      Mediasi Penal Sebagai Alternatif  Dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Mediasi penal menurut European Forum For Victim Service digambarkan sebagai process which involves contact between the victim and the offender, either directly or through the mediator. The process of mediation is generally regarded as part of the broader issue of restorative justice.[5] 
Sementara itu Undang-Undang Acara pidana di Belgia the Belgian Law of 22 Juni 2005 Menggambarkan mediation in criminal matter “as a process that allows people involved in a conflict to have voluntary, active participation in a fully confidential process for solving difficulties that arise from a criminal offence, with the help of a neutral third person and based on a certain methodology. The goal of mediation is to facilitate communication and to help parties to come to an agreement by themselves concerning pacification and restoration.”
Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan pihak - pihak yang menginginkan untuk merekonstruksi model peradilan pidana yang sangat panjang dengan model resolusi, yang akan memperkuat posisi korban dan mencari alternatif pidana, serta mencari cara untuk mengurangi kerugian dan beban berat pada sistem peradilan pidana mengingat sistem ini lebih efektif dan efisien.[6]

4.      Prinsip Kerja Mediasi Penal
Mediasi pidana yang dikembangkan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:[7]
a)            Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung);
b)            Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientie-rung);
c)             Proses informal (Informal Proceeding - Informalität);
d)           Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autono-mous Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung)[8]
Sementara itu European Forum For Victim Service memberikan Guiding Principles dalam mediasi sebagai yakni : [9]
Mediasi membutuhkan keterlibatan korban dan oleh karena itu penting bahwa kepentingan mereka dianggap sepenuhnya, proses Mediasi hanya boleh digunakan dengan persetujuan tanpa paksaan dari para pihak dan pihak harus dapat menarik persetujuan pada setiap mediasi Korban / pelaku kriminal. Proses mediasi harus mencakup tanggung jawab pelaku menerima atas tindakan dan pengakuan serta konsekuensi merugikan dari kejahatan,  bagi korban sangat penting  semua orang yang terlibat dalam proses mediasi telah menerima pelatihan yang tepat pada isu-isu khusus mengenai korban kejahatan yang akan relevan dengan proses mediasi.

5.         Keuntungan-Keuntungan Mediasi Penal
Berdasarkan pengalaman dalam praktik mediasi penal yang dikembangkan di North Carolina yang pelaksanaannya didasarkan pada G.S. 7A-38.3D and the Supreme Court's Rules Implementing Mediation in Matters Pending In District Criminal Court, alasanalasan dipilihnya mediasi karena beberapa keuntungan yang dinyatakan sebagai berikut:[10]
There are many reasons why you should consider mediation. Mediation is usually less stressful and time consuming than a trial. You will not have to take the stand and testify, nor will you have to bring witnesses. You don't even need a lawyer. Mediation offers you and the other party(ies) the opportunity to be in control of the outcome of your dispute. Some research indicates that people are more likely to follow through on agreements that they make as opposed to ones forced upon them by a court If you are a defendant, a successful mediation may mean that you can avoid a criminal record and more expensive fines and costs. If you are a complaining witness, an opportunity to sit down with others involved in the dispute and work out your conflicts may provide more satisfaction than a judge's verdict. Sometimes mediation can help bring people together. If those involved in a dispute are relatives, neighbors, or were once friends, talking about and working through conflict can often be an important first step in repairing damaged relationships. People may be angry or hurt when they come to mediation and the mediator(s) will try to help everyone understand the differing perspectives of those involved in the conflict. When underlying causes of a conflict are brought to light, people often settle the case at hand and also learn how to avoid future conflicts

6.      Model – Model Mediasi Penal
Dalam “Explanatory memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No.R 99/ 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut : [11]
a.             Model "informal mediation"
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan.
b.            Model "Traditional village or tribal moots"
Model ini seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik pidana di antara warganya.
c.             Model "victim-offender mediation"
-                Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi.
-                Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap pemeriksaan di kepolisian, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.


d.            Model ”Reparation negotiation programmes"
-                Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan.
-                Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materi.
e.             Model "Community panels or courts"
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f.              Model "Family and community group conferences"
-                Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban.
-                Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

7.      Korban Dalam Pelaksanaan Mediasi Penal
Konsep restorative justice merupakan konsep yang memperbaiki peradilan pidana tradisional dengan keuntungan dan pergeseran konsep sebagai berikut:[12]
It views criminal acts more comprehensively: rather than defining crime only as lawbreaking, it recognizes that offenders harm victims, communities and even themselves. it involves more parties: rather than giving key roles only to government and the offender, it includes victims and communities as well. it measures success differently: rather than measuring how much punishment has been inflicted, it measures how much harm has been repaired or prevented. it recognizes the importance of community involvement and initiative in responding to and reducing crime, rather than leaving the problem of crime to the government alone.
Restorative justice adalah konsep penyelesaian masalah-masalah kejahatan secara lebih menyeluruh, hal ini dapat dilihat dari program-program dalam proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan konsep restorative justice yang berupa :[13]
victim-offender reconciliation/mediation programs use trained mediators to bring victims and their offenders together in order to discuss the crime, its aftermath, and the steps needed to make things right .conferencing programs are similar to victim-offender reconciliation/mediation, but differ in that they involve not only the offender and victim, but also their family members and community representatives .
victim-offender panels bring together groups of unrelated victims and offenders, linked by a common kind of crime but not by the particular crimes that have involved the others. victim assistance programs provide services to crime victims as they recover from the crime and proceed through the criminal justice process . prisoner assistance programs provide services to offenders while they are in prison and on their release . community crime prevention programs reduce crime by addressing its underlying causes .

8.      Praktik Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Lembaga Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah suatu perbuatan diteruskan atau tidak diteruskan dalam proses peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Dalam perkara lalu lintas misalnya  dalam kecelakaan lalu lintas, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil atau luka yang kecil biasanya diselesaikan dengan mediasi di antara pelaku dan korban, dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan korban. Namun demikian jika kecelakaan akibat kelalaian tersebut menimbulkan kerugian yang besar seperti, nyawa maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan yang nantinya digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa.[14] Dengan demikian kesepakatan mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan diproses dalam sistem peradilan pidana. Selanjutnya  bahwa proses mediasi penal yang dilakukan oleh lembaga kepolisian dalam tindak pidana tertentu, bukanlah bentuk diskresi kepolisian, karena dalam diskresi kepolisian keputusan yang diambil justru bertentangan dengan peraturan sehingga melalui pertimbangan yang sangat banyak dan strategis untuk kepentingan orang banyak.
Di sini pun peran polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan perdamaian.[15] Di samping delik aduan biasanya masyarakat menyelesaikan sendiri perkara pidana dengan mediasi yaitu misalnya dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan merupakan delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan semua pihak dan keutuhan rumah tangga maka penyelesaian secara mediasi seringkali menjadi pilihan. Dalam mediasi ini pihak korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila terjadi kesepakatan dari pihak korban dan pelaku untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan tetap di tangan hakim. Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori 'delik biasa', seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian seperti dalam Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain), serta dalam tindak pidana terhadap harta benda seperti Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang penipuan yang biasanya antara korban dan pelaku sudah saling mengenal, maka dapat dilakukan mediasi di mana korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Namun demikian meskipun telah dilakukan kesepakatan mengganti kerugian kepada korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tetap dilakukan, dengan alasan kejaksaan bekerja berdasarkan aturan normatifnya, selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi penal dalam penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah dilakukan pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu alasan pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum tuntutannya.[16]
Dalam hukum pidana tidak dikenal mediasi penal, namun demikian ada kesempatan bagi korban untuk menggugat ganti kerugian kepada pelaku melalui gugatan perdata dan proses peradilan pidana tetap dijalankan. Namun sebenarnya apabila kita mempermasalahkan mediasi penal dalam hal penentuan pengganti kerugian dari pelaku kepada korban hal ini dimungkinkan, yang dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat. Ganti kerugian terhadap korban dalam pidana bersyarat merupakan salah satu syarat khusus yang telah dilakukan oleh terpidana, di samping ketentuan pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim tidak lebih dari 1 (satu) tahun untuk pidana penjara.
Masyarakat sebenarnya membutuhkan lembaga mediasi penal, khususnya untuk delik-delik aduan, seperti penghinaan, tindak pidana pencurian yang melibatkan anggota keluarga, kasus-kasus yang unsur pidananya tidak jelas, dan kasus-kasus dengan nilai kerugian yang ringan atau sedikit. Dalam kasus-kasus seperti ini apabila tetap diproses dalam peradilan pidana justru akan lebih banyak nilai kerugiannya. Pengalaman praktik mediasi penal oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena tidak ada peraturan normatif yang mengaturnya, biasanya hal-hal yang menyangkut kesepakatan para pelaku dan korban ada pada tingkat penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan dalam surat dakwaan yang salah satunya kesepakatan yang dicapai melalui mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Temuan praktik mediasi di tingkat Mahkamah Agung RI, bahwa mediasi penal di lingkungan Mahkamah Agung telah dipraktikan dalam kasus tindak pidana yang pelakunya anak di bawah umur. Pelaksanaan mediasi penal untuk pelaku anak di bawah umur ini didasarkan pada Kesepakatan Antara Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan Para Ketua Muda Mahkamah Agung dalam Rapat Pimpinan Mahkamah Agung RI di Novotel Hotel Bagor, 17 mei 2009 yang membahas tentang temuan hukum serta Permasalahan-Permasalahan yang Timbul di Mahkamah Agung dan Jajaran Peradilan di Bawahnya. Praktik mediasi penal untuk pelaku anak di bawah umur telah diujicobakan di lingkungan Pengadilan Negeri Jawa Barat.[17]
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebenarnya telah banyak dilakukan praktik mediasi penal dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana meskipun tidak mengemuka, sehingga kasus tersebut tidak sampai pada proses peradilan pidana. Praktik mediasi penal yang dilakukan oleh masyarakat biasanya menggunakan tokoh masyarakat atau tokoh agama sebagai mediatornya. Namun demikian meskipun telah diselesaikan secara mediasi penal, tidak menghapuskan kewenangan penyidik untuk melakukan penyidikan jika suatu saat diketahui oleh penyidik telah terjadi tindak pidana yang termasuk katagori delik biasa yang telah didamaikan. Dengan demikian kedudukan akta kesepakatan damai tetap lemah, karena masih dapat dilakukan penuntutan, namun demikian keberadaan akta kesepakatan damai tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk memperingan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Jadi apabila diketahui oleh aparat penegak hukum proses peradilan pidana terhadap pelaku tetap diadakan, sehingga tidak menghapuskan penuntutan.

B.           Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Di Masa Mendatang

Kebijakan-kebijakan untuk menetapkan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana yang merupakan bagian dari proses peradilan pidana sangat dibutuhkan, sehingga mediasi penal dapat menjadi sarana penyelesaian perkara pidana yang sah dan hasil kesepakatannya bersifat mengikat terhadap para pihak, aparat penegak hukum, dan masyarakat sehingga tindak pidana yang diselesaikan melalui mediasi penal menghapuskan kewenangan untuk menuntut. Berlakunya mediasi penal sebagai alasan hapusnya kewenangan melakukan penuntutan di masa mendatang adalah sejalan dengan kebijakan konsep KUHP 2008 tentang gugur atau hapusnya kewenangan menuntut tindak pidana, sebagaimana tertuang dalam Pasal 145 huruf d, e, dan f yang menentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika : (d). Penyelesaian di luar proses. (e). Maksimum pidana denda dibayar dengan suka rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak katagori II. (f). Maksimum pidana denda dibayar dengan suka rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Sementara itu sebagai alasan menghapus kewenangan menjalankan pidana bagi pelaku yang telah dijatuhi putusan hakim berupa pidana penjara, mediasi penal dalam tahapan eksekusi ini sejalan dengan Pasal 57 RUU KUHP tentang perubahan atau penyesuaian pidana, yang dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.[18]
Adapun penentuan kebijakan-kebijakan dalam konstruksi politik hukum mediasi penal yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang meliputi :

1)            Penentuan Kebijakan Formulasi Pengertian Yuridis Mediasi Penal
Pengertian yuridis mediasi penal hendaknya dirumuskan dengan tidak meninggalkan arti sebenarnya dari mediasi penal sebagaimana pertama kali dicetuskan pada tanggal 15 September 1999, oleh Council Of Europe Committee Of Ministers dalam Recommendation No. R (99) 19 Of The Committee Of Ministers To Member States Concerning Mediation In Penal Matters sebagai dasar hukum penegakan mediasi penal di negara-negara Eropa, sebagai berikut : “Penal mediation is any process whereby the victim and the offender are enabled, if they freely consent, to participate actively in the resolution of matters arising from the crime through the help of an impartial third party (mediator)”.[19]

2)      Kebijakan Penentuan Asas-Asas Mediasi Penal
Dalam penyusunan politik hukum tentang mediasi penal, diperlukan formulasi tentang asas-asas dan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam proses mediasi penal. Asas-asas dalam mediasi penal yang perlu dirumuskan meliputi :

a)Asas Bebas dan Suka rela
Bahwa pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada kehendak bebas dan suka rela dari korban dan pelaku tindak pidana, sehingga dalam memutuskan apakah perkara pidananya akan dimediasikan atau pun tidak harus berdasarkan persetujuan bebas (freely consent) dari para pihak.
b)            Kebebasan Para Pihak Untuk Menarik Diri Selama Proses Mediasi
Selama proses mediasi penal berlangsung, para pihak baik korban maupun pelaku dibebaskan untuk menarik dirinya dari proses mediasi kapan saja.
c)Asas Kerahasiaan (Confidential)
Proses mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para pihak baik korban, pelaku tindak pidana maupun mediator harus memegang kerahasiaan yang terjadi selama proses mediasi, termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan para pihak, alasan-alasan jika tidak tercapai kesepakatan maupun hal-hal lain yang timbul saat proses mediasi penal berlangsung. Kecuali jika timbul hal-hal yang membahayakan para pihak, seperti ancaman dan penyerangan fisik dari satu pihak kepada pihak lain, maka hal tersebut dapat dilaporkan kepada penyidik Namun jika proses mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator hanya boleh menyampaikan kepada hakim bahwa mediasi tidak mencapai kesepakatan tanpa menguraikan alasan-alasannya, begitu pula mediator tidak dapat bertindak sebagai saksi terhadap pernyataan-pernyataan para pihak dalam proses peradilan .

Sementara itu tujuan mediasi penal dapat dirumuskan sebagai berikut :
a)            Menyelesaikan konflik pidana dengan mengadakan rekonsiliasi antar pelaku tindak pidana dan korban.
b)            Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepantingan korban berupa restitusi dan ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
c)            Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara pelaku dan korban karena adanya tindak pidana.
d)           Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan martabat korban.

3)      Kebijakan Penentuan Tindak Pidana Yang Dapat Dimediasi
Kebijakan penentuan tindak-tindak pidana yang dapat dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut :
a)             Ancaman pidana yang rendah Tindak pidana yang dapat dimediasikan hendaknya tindak pidana yang hanya diancam dengan ancaman pidana denda atau ancaman pidana penjara paling lama satu (1) tahun dan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun untuk tindak pidana tertentu seperti Pasal 359 KUHP (kelalaian berakibat matinya orang lain) dan Pasal 360 KUHP (kelalaian mengakibatkan orang lain luka berat).
b)            Tingkat kerugian yang ditimbulkan Tindak pidana yang dapat dimediasikan haruslah tindak pidana yang menimbulkan kerugian yang kecil saja, seperti dalam pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan ringan. Contohnya : tindak pidana pencurian ringan, penganiayaan ringan, penipuan ringan dan penggelapan ringan.
c)            Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian dapat dimediasikan, hal ini menyangkut sikap batin pelaku tindak pidana. Dalam kelalaian tindak pidana dan akibat yang terjadi bukan karena kehendak pelaku, melainkan karena kekurangan penghati-hatian
d)           Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut maupun relatif. Tindak pidana aduan dapat dimediasikan karena penuntutannya didasarkan pada ada atau tidak adanya pengaduan, dan adanya kesempatan bagi korban atau pengadu untuk mencabut pengaduannya sehingga proses tidak sampai berlanjut pada peradilan pidana. Contoh : delik zina, penghinaan dan lain-lain.
e)            Tindak Pidana Yang Melibatkan Anggota Keluarga Sebagai Pelaku/Korban Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi penal yaitu mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat kembali hubungan antara pelaku tindak pidana dan korban. Dengan demikian apabila terjadi tindak pidana yang melibatkan anggota keluarga maka dimungkinkan untuk dilakukan proses mediasi penal.
f)             Tindak Pidana Di Mana Pelakunya Anak di Bawah Umur Terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana terdapat ketentuan khusus, sehingga proses peradilan pidana yang dijalaninya tidak menimbulkan trauma berkepanjangan yang akan mengganggu perkembangan psikisnya, sehingga dibuka kemungkinan besar untuk penyelesaian dengan jalan proses mediasi penal.

4)      Penentuan Kebijakan Pelaksanaan Mediasi Penal Sebagai Bagian Dari Proses Peradilan Pidana
 Mediasi penal dapat dilakukan dengan dua cara atau bentuk yaitu :[20]

a)            Mediasi penal di luar proses peradilan pidana (out of criminal justice process) Di sini diperlukan landasan hukum berupa kebijakan atau aturan hukum yang menetapkan tentang :
1)            Tindak pidana yang dapat dimediasikan di luar proses peradilan pidana.
2)            Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak pelaku dan korban di luar pengadilan  untuk tindak-tindak pidana tertentu diakui keabsahannya jika dilakukan secara suka rela.
3)            Mediasi penal difasilitasi oleh mediator yang telah bersertifikasi .
4)            Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak pelaku dan korban, sebagai keputusan yang sah dan final sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu dikuatkan melalui penetapan pengadilan cukup apabila disahkan dengan materai dan tanda tangan semua pihak. Hal ini mengingat bahwa pelaksanaan mediasi penal adalah bersifat suka rela.
5)            Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai alasan hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah dimediasikan.

b)      Penal Sebagai Bagian Proses Peradilan
Pidana (Within Criminal Justice Process) Mediasi pada tahap penyidikan ini merupakan kombinasi model mediasi informal mediation, victim-offender mediation dan reparation negotiation programmes. Pada tahap ini dapat ditetapkan cara kerja mediasi penal sebagai berikut :
1)            Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan kriteria-kriteria tertentu ( diuraikan dalam bahasa tindak pidana yang dapat dimediasikan), maka pihak penyidik memanggil pelaku dan korban untuk menawarkan alternative penyelesaian perkara pidananya di luar proses peradilan.
2)            Mediasi penal harus dilakukan secara suka rela dari semua pihak yang terlibat, oleh karena itu jika ada pernyataan baik dari pelaku maupun korban untuk melakukan mediasi penal, selanjutnya pihak penyidik menyerahkan perkara tersebut kepada korban dengan menginformasikan jasa mediator penal yang akan membantu menyelesaikan perkaranya.
3)            Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama proses mediasi termasuk mediator. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses peradilan pidana atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi dan sebabsebab mediasi tidak mencapai kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.
4)            Pada kesempatan mediasi inilah pelaku dan korban dipertemukan untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Pihak korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku sebesar kerugian yang dideritanya dan menuntut pemulihan martabatnya, dengan difasilitasi oleh mediator.
5)            Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta diakui oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh karena itu mediator tidak bersifat perorangan melainkan suatu badan atau lembaga yang secara khusus menjalankan tugas mediasi.
6)             Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
7)            Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final, sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan.
8)            Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP kepada penuntut. Dalam pelaksanaan mediasi penal di tahap penuntutan ini dilakukan sekaligus negosiasi ganti kerugian antara pelaku dan korban. Mediasi penal pada tahap penuntutan ini merupakan kombinasi antara bentuk Victim- Offender Mediation dan Reparation Negotiation Programme.

Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan dapat digambarkan sebagai berikut :
1)            Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dapat menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak pidana.
2)            Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari pelaku dan korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui untuk dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi diberikan kepada jaksa penuntut umum.
3)            Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang bersertifikasi.
4)            Mediator mempertemukan pihak pelaku  dan korban tindak pidana.
5)            Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti semua peristiwa yang terjadi dan pernyataanpernyataan yang muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua pihak yang terlibat.
6)            Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran ganti kerugian kepada korban.
7)            Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak pidanannya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas tidak tercapainya kesepakatan mediasi maupun atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi.
8)            Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan.
Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat digunakan sebagai alasan untuk menghapuskan menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap ini bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah gabungan dari model Victim-Offender Mediation dan Reparation Negotiation Programmes.

Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai berikut :
1)            Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para pihak.
2)            Jika para pihak menyetujui, maka diadakan persetujuan secara suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara mediasi baik oleh pelaku maupun oleh korban.
3)            Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan bersertifikasi.
4)            Mediasi mempertemukan pihak pelaku dan korban, pada kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, serta dilakukan pembayaranganti kerugian yang diderita korban.
5)            Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak termasuk mediator.
6)            Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana mestinya.
7)            Jika tercapai kesepakatan di mana para pihak saling menerima hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi berkekuatan tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final, sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam proses peradilan pidana.

Mediasi yang dilakukan pada tahap pelaku sedang menjalani pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika pelaku telah menjalankan sebagian pidananya.

Adapun pelaksanaan pada tahapan eksekusi adalah sebagai berikut :
1)            Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna meringankan pidananya.
2)            Jika korban menyetujui permintaan mediasi dari pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa penuntut umum sebagai eksekutor.
3)            Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan disetujuinya mediasi penal.
4)            Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi.
5)             Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan (confindentiality) sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam mediasi bersifat rahasia.
6)            Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan tersebut berfungsi sebagai alasan utuk menghapuskan kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan.
7)            Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian kepada korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang belum dijalaninya.


















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mediasi penal telah dipraktikan baik oleh anggota masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu, maupun oleh aparat penegak hukum dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu pula. Namun demikian praktik mediasi penal di sini tidak menghapuskan kewenangan penuntutan maupun menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana.
Konstruksi politik hukum mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di masa mendatang adalah bangunan pengaturan tentang pelaksanaan mediasi penal yang terdiri atas kebijakan formulasi dan kebijakan pelaksanaan mediasi penal. Adapun kebijakan pelaksanaan (applicative policy) mediasi penal meliputi mediasi penal di luar proses peradilan pidana (Penal mediation out of Criminal Justice Process) dan mediasi penal di dalam proses peradilan pidana (Penal Mediation Within Criminal Justice System) yang meliputi mediasi pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan saat terpidana menjalankan pidananya.

B.           Saran
Mengingat praktik-praktik mediasi penal yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat dalam menyelesaikan perkara pidana guna menghindari kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam proses peradilan pidana yang panjang, menunjukkan kebutuhan masyarakat untuk adanya alternatifalternatif dalam menyelesaikan perkara pidana yang dialaminya, maka  untuk melembagakan praktik mediasi penal sebagai lembaga penyelesaian perkara pidana yang legal dengan memberikan payung hukum dalam bentuk perundang-undangan guna menentukan kekuatan hukum hasil kesepakatan dalam mediasi penal sebagai alasan hapusnya kewenangan menuntut pidana atau sebagai alasan hapusnya kewenangan menjalankan pidana bagi pelaku. Mediasi penal sebagai terobosan dalam penyelesaian perkara pidana hendaknya dilembagakan dan diberi peraturan sebagai payung hukum pelaksanannya, sebagai salah satu cara untuk mengurangi penumpukan perkara pidana di lembaga pengadilan, mengurangi permainan kotor dalam proses peradilan, serta mengurangi beban administrasi pengadilan.


[2] http://www.lppm.undip.ac.id/ Umi Rozah, Eko Soponyono, Membangun Model Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana di akses 23/12/2012
[3] Sudarto, dalam Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.159

    [4] Hulsman ; Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sistem Peradilan Pidana: dalam sistem perbandingan hukum, Jakarta, Rajawali, hlm. 46

[5] Statement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, the Executive Committee of the European Forum for Victim Services, November 2003
[6] Recommendation No. R (99) 19. (the Committee of Ministers of the Council of Europe) 15 September 1999
[7] Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Mediation - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www.iuscrim.mpg.de/ orsch/krim/traenkle_e.html
[8] Aditama Soedarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni  hlm 36
[9] Ibid
[10]  Frequently Asked Questions about Criminal District Court Mediation, www.mnnc.org/pg1.cfm
[11] http://search.conduit.comMediation in-Penal-Matters html di akses 28 Desember 2012
[12]  Ibid
[13]  www//http RJ.Library Online, Restorative Justice di akses 24 desember 20012
[14] Lexy Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. hlm. 43
[15] Atmasasmita, Romli, 2008, ”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi – Jaksa: Menuju Integrasi, di Auditorium Bumi Putera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Indonesia, Depok, 17 April 2008

[16] www/http Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, akses  tanggal 25 desember  2012
[18]  Lihat KUHP
[19] Barda Nawawi Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral.
[20] www.lppm.undip.ac.id  Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana ,Tahun 2009.