BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu fungsi hukum
adalah sebagai sarana Integrasi sosial, yang berupa penyelesaian konflik-konflik
kepentingan dalam hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan hukum
sebagai integrasi sosial diwujudkan dengan lembaga pengadilan yang berfungsi
mengintegrasikan dan menyelesaikan konflik tersebut, sehingga kehidupan sosial
kemasyarakatan kembali nyaman dan tenteram. Bekerjanya lembaga peradilan dalam
proses peradilan pidana berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP. Proses peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat berfokus pada
pelaku tindak pidana, baik mengenai kedudukannya sejak tersangka sampai menjadi
terpidana maupun hak-haknya sebagai tersangka atau pun terdakwa sangat dilindungi
oleh KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa proses peradilan pidana sesuai KUHAP
adalah Offender minded/ Offender Oriented Criminal Justice Process.
Oleh karena sangat berfokus pada kepentingan pelaku tindak pidana maka
kepentingan korban (victim's interests) tidak mendapat tempat di
dalam KUHAP.
KUHP sebenarnya telah
mengatur kepentingan korban untuk memperoleh ganti kerugian kepada pelaku
melalui keputusan hakim yang berupa pidana bersyarat, di mana mengganti
kerugian kepada korban dijadikan sebagai syarat khususnya. Namun demikian
karena hanya sebagai syarat khusus dari pidana bersyarat maka seringkali tidak
diterapkan
Dewasa ini perkembangan
internasional dalam konsep peradilan pidana dan prosedur penanganan kasus
pidana di beberapa negara telah dikenal adanya mediasi penal.
(penal mediation, mediation penale, mediation in criminal matters,
Victim – Offender Mediation) yang merupakan bagian dari sistem
peradilan pidana. Mediasi yang sebelumnya hanya dikenal dalam hukum perdata,
telah sering digunakan di beberapa negara untuk menyelesaikan perkara-perkara
pidana. Mediasi penal merupakan bentuk perwujudan dari konsep restorative
justice, yang hendak memulihkan hak - hak korban. Dalam mediasi penal
penyelesaian kasus pidana dilakukan tanpa melalui proses peradilan pidana
formal/tradisional, karena itu dikenal sebagai Penal Mediation atau
Victim – Offender Mediation (VOM), Offender-victim Arrangement (OVA),
atau Mediation in Criminal Matters, atau dalam bahasa Jerman Der AuĂźergerichtliche Tatausgleich”
(disingkat ATA1) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pĂ©nale”.
Täter-Opfer-Ausgleich (TOA).
Dalam penanganan kasus
pidana, sekilas mediasi penal hampir sama dengan yang kita kenal diskresi (discretion)
yang dimiliki oleh lembaga sistem peradilan pidana kita, seperti kepolisian dan
kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk untuk tidak meneruskan
sebagian kasus tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun demikian
terdapat esensi yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi penal
lebih mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan
korban, sehingga tercapai win-win solution yang menguntungkan
pelaku tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan secara
langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya sehingga
dihasilkan perdamaian para pihak.
Melalui mediasi penal
proses penanganan perkara dilakukan dengan transparan sehingga dapat mengurangi
permainan kotor yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana
tradisional. Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal,
sebagaimana telah dipraktikan di beberapa negara, maka diperlukan upaya berupa kajian
untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai
bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang di atas maka permasalahan
yang menjadi fokus dalam makalh ini
adalah sebagai berikut :
- Bagaimanakah praktik mediasi penal di
dalam masyarakat Indonesia pada saat ini?
- Bagaimanakah
konstruksi politik hukum mediasi penal sebagai alternatif dalam penyelesaian
perkara
pidana di masa yang akan datang ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Praktek
Mediasi Penal di Indonesia
1. Pengertian
Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal
Pengertian konstruksi
dalam konteks teknik arsitektur dan sipil, diartikan sebagai kegiatan membangun
sarana dan pra sarana yang merupakan satu kegiatan yang terdiri dari pekerjaan
yan berbeda- beda.
Sementara itu politik hukum menurut A.Apeldorn mempunyai pengertian sebagai
politik perundang – undangan, yang berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan
perundang – undangan (pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis
saja).
Dengan demikian
konstruksi politik hukum dapat diartikan sebagai kegiatan atau pekerjaan membangun
perundang-undangan yaitu dengan menetapkan tujuan dan isi peraturan
perundangundangan. Selanjutnya pengertian konstruksi politik hukum mediasi
penal dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan menciptakan atau membangun
perundang- undangan tentang mediasi penal dan
pelaksanaannya, sehingga meliputi kegiatan formulasi tentang mediasi
penal dan kegiatan memformulasikan aplikasi atau pelaksanaan (formulasi
aplikatif) mediasi penal di masa mendatang.
2. Posisi
Mediasi Penal Dalam Proses Peradilan Pidana
Hulsman mengemukakan
bahwa sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan masalah sosial (social
problem) dengan alasan :
1) The
criminal justice system inflicts suffering;
2) The criminal justice system does not work in terms
of its own declared aims;
3) Fundamental uncontrolability of criminal
justice system.
4) Criminal justice system approach is fundamentally
flawed .
Sistem peradilan pidana
merupakan sistem yang terdiri atas sub-sub sistem seperti lembaga kepolisian,
lembaga kejaksaan, lembaga pengadilandan lembaga pemasyarakatan, bahkan
termasuk penasihat hukum. Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia
berlandaskan pada Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai hukum formil untuk melaksanakan hukum
pidana materiil. Dalam proses peradilan pidana, bekerjanya sistem peradilan
pidana terdapat saling kebergantungan (interdepency) antara sub sistem
satu dengan sub sistem lainnya. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari
pelaksanaan restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan
secara lebih luas. Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana
bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang mewakili
korban, dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku dan negara
(Jaksa penuntut umum).
Restorative
justice menuntut proses peradilan pidana untuk memberikan
pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan akibat
perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan
untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
3. Mediasi
Penal Sebagai Alternatif Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana
Mediasi penal menurut
European Forum For Victim Service digambarkan sebagai process which involves
contact between the victim and the offender, either directly or through
the mediator. The process of mediation is generally regarded as part of
the broader issue of restorative justice.
Sementara itu
Undang-Undang Acara pidana di Belgia the Belgian Law of 22 Juni 2005 Menggambarkan
mediation in criminal matter “as a process that allows people
involved in a conflict to have voluntary, active participation in a
fully confidential process for solving difficulties that arise from
a criminal offence, with the help of a neutral third person and based on
a certain methodology. The goal of mediation is to facilitate
communication and to help parties to come to an agreement by themselves
concerning pacification and restoration.”
Ide yang mendasari
mediasi penal adalah menyatukan pihak - pihak yang menginginkan untuk merekonstruksi
model peradilan pidana yang sangat panjang dengan model resolusi, yang akan
memperkuat posisi korban dan mencari alternatif pidana, serta mencari cara
untuk mengurangi kerugian dan beban berat pada sistem peradilan pidana
mengingat sistem ini lebih efektif dan efisien.
4. Prinsip
Kerja Mediasi Penal
Mediasi pidana yang
dikembangkan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles)
sebagai berikut:
a)
Penanganan konflik (Conflict
Handling/ Konfliktbearbeitung);
b)
Berorientasi pada proses (Process
Orientation; Prozessorientie-rung);
c)
Proses informal (Informal Proceeding -
Informalität);
d)
Ada partisipasi aktif dan otonom para
pihak (Active and Autono-mous Participation -
Parteiautonomie/Subjektivierung)
Sementara itu European
Forum For Victim Service memberikan Guiding Principles dalam
mediasi sebagai yakni :
Mediasi membutuhkan keterlibatan korban dan oleh karena itu penting bahwa kepentingan mereka dianggap sepenuhnya, proses Mediasi hanya boleh digunakan dengan persetujuan tanpa paksaan
dari para pihak dan pihak harus dapat menarik persetujuan pada setiap mediasi Korban
/ pelaku kriminal.
Proses mediasi harus mencakup tanggung jawab pelaku menerima atas
tindakan dan pengakuan serta konsekuensi merugikan dari kejahatan, bagi korban sangat penting semua orang yang
terlibat dalam proses mediasi telah menerima pelatihan
yang tepat pada isu-isu khusus
mengenai korban kejahatan yang
akan relevan dengan proses mediasi.
5.
Keuntungan-Keuntungan Mediasi Penal
Berdasarkan pengalaman
dalam praktik mediasi penal yang dikembangkan di North Carolina yang
pelaksanaannya didasarkan pada G.S. 7A-38.3D and the Supreme Court's Rules
Implementing Mediation in Matters Pending In District Criminal Court,
alasanalasan dipilihnya mediasi karena beberapa keuntungan yang
dinyatakan sebagai berikut:
There are many reasons why you should consider
mediation. Mediation is usually less stressful and time consuming than a trial.
You will not have to take the stand and testify, nor will you have to bring
witnesses. You don't even need a lawyer. Mediation offers you and the other
party(ies) the opportunity to be in control of the outcome of your dispute.
Some research indicates that people are more likely to follow through on
agreements that they make as opposed to ones forced upon them by a court If you
are a defendant, a successful mediation may mean that you can avoid a criminal record
and more expensive fines and costs. If you are a complaining witness, an opportunity
to sit down with others involved in the dispute and work out your conflicts may
provide more satisfaction than a judge's verdict. Sometimes mediation can help
bring people together. If those involved in a dispute are relatives, neighbors,
or were once friends, talking about and working through conflict can often be
an important first step in repairing damaged relationships. People may be angry
or hurt when they come to mediation and the mediator(s) will try to help
everyone understand the differing perspectives of those involved in the
conflict. When underlying causes of a conflict are brought to light, people
often settle the case at hand and also learn how to avoid future conflicts
6. Model
– Model Mediasi Penal
Dalam “Explanatory
memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No.R 99/ 19 tentang “Mediation
in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut
:
a.
Model "informal mediation"
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan
pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan
oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan
penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila
tercapai kesepakatan.
b.
Model "Traditional village or
tribal moots"
Model ini seluruh masyarakat bertemu
untuk memecahkan konflik pidana di antara warganya.
c.
Model "victim-offender mediation"
-
Model ini melibatkan berbagai pihak yang
bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model
ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau
kombinasi.
-
Mediasi ini dapat diadakan pada setiap
tahapan proses, baik pada tahap pemeriksaan di kepolisian, tahap penuntutan,
tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.
d.
Model ”Reparation negotiation
programmes"
-
Model ini semata-mata untuk menaksir/
menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana
kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan.
-
Program ini tidak berhubungan dengan
rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan
perbaikan materi.
e.
Model "Community panels or
courts"
Model ini merupakan program untuk membelokkan
kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih
fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f.
Model "Family and community
group conferences"
-
Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku
tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya,
pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban.
-
Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan
kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk
menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
7. Korban
Dalam Pelaksanaan Mediasi Penal
Konsep restorative justice merupakan konsep
yang memperbaiki peradilan pidana tradisional dengan keuntungan dan pergeseran
konsep sebagai berikut:
It views criminal acts more
comprehensively: rather than defining crime only as lawbreaking, it recognizes
that offenders harm victims, communities and even themselves. it involves more
parties: rather than giving key roles only to government and the offender, it
includes victims and communities as well. it measures success differently:
rather than measuring how much punishment has been inflicted, it measures how
much harm has been repaired or prevented. it recognizes the importance of
community involvement and initiative in responding to and reducing crime,
rather than leaving the problem of crime to the government alone.
Restorative justice adalah
konsep penyelesaian masalah-masalah kejahatan secara lebih menyeluruh, hal ini
dapat dilihat dari program-program dalam proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan
konsep restorative justice yang berupa
:
victim-offender reconciliation/mediation
programs use trained mediators to bring victims and their offenders together in
order to discuss the crime, its aftermath, and the steps needed to make things
right
.conferencing programs are similar to victim-offender reconciliation/mediation,
but differ in that they involve not only the offender and victim, but also
their family members and community representatives .
victim-offender panels
bring together groups of unrelated victims and offenders, linked by a common kind
of crime but not by the particular crimes that have involved the others.
victim assistance programs provide services to crime victims as they recover
from the crime and proceed through the criminal justice process . prisoner
assistance programs provide services to offenders while they are in prison and
on their release . community crime prevention programs reduce crime by
addressing its underlying causes .
8. Praktik
Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Lembaga Kepolisian
mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah suatu perbuatan diteruskan atau
tidak diteruskan dalam proses peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Dalam
perkara lalu lintas misalnya dalam
kecelakaan lalu lintas, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil atau luka
yang kecil biasanya diselesaikan dengan mediasi di antara pelaku dan korban,
dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak
diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan korban. Namun
demikian jika kecelakaan akibat kelalaian tersebut menimbulkan kerugian yang
besar seperti, nyawa maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun pembayaran
ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan jenazah korban hanya
sebagai salah satu pertimbangan yang nantinya digunakan oleh hakim dalam
menjatuhkan putusan kepada terdakwa.
Dengan demikian kesepakatan mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak
pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan diproses dalam sistem peradilan
pidana. Selanjutnya bahwa proses mediasi
penal yang dilakukan oleh lembaga kepolisian dalam tindak pidana tertentu,
bukanlah bentuk diskresi kepolisian, karena dalam diskresi kepolisian keputusan
yang diambil justru bertentangan dengan peraturan sehingga melalui pertimbangan
yang sangat banyak dan strategis untuk kepentingan orang banyak.
Di sini pun peran
polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan
diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan perdamaian.
Di samping delik aduan biasanya masyarakat menyelesaikan sendiri perkara pidana
dengan mediasi yaitu misalnya dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan merupakan
delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan semua pihak dan
keutuhan rumah tangga maka penyelesaian secara mediasi seringkali menjadi
pilihan. Dalam mediasi ini pihak korban dapat meminta ganti kerugian kepada
pelaku, namun demikian apabila terjadi kesepakatan dari pihak korban dan pelaku
untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan,
sehingga proses peradilan tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan kesepakatan
ganti kerugian hanya bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan
penuntutan, keputusan tetap di tangan hakim. Mediasi penal di sini hanya
bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undang-undang yang
mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil
mediasi penal. Jadi pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan.
Sementara itu dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori
'delik biasa', seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian seperti
dalam Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain),
serta dalam tindak pidana terhadap harta benda seperti Pasal 372 KUHP tentang
penggelapan dan Pasal 378 tentang penipuan yang biasanya antara korban dan
pelaku sudah saling mengenal, maka dapat dilakukan mediasi di mana korban dapat
meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah
dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Namun demikian meskipun
telah dilakukan kesepakatan mengganti kerugian kepada korban, proses penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana tetap dilakukan, dengan alasan kejaksaan bekerja
berdasarkan aturan normatifnya, selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan
mediasi penal dalam penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah
dilakukan pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu alasan
pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum tuntutannya.
Dalam hukum pidana
tidak dikenal mediasi penal, namun demikian ada kesempatan bagi korban untuk
menggugat ganti kerugian kepada pelaku melalui gugatan perdata dan proses
peradilan pidana tetap dijalankan. Namun sebenarnya apabila kita mempermasalahkan
mediasi penal dalam hal penentuan pengganti kerugian dari pelaku kepada korban
hal ini dimungkinkan, yang dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana bersyarat. Ganti kerugian terhadap korban dalam pidana
bersyarat merupakan salah satu syarat khusus yang telah dilakukan oleh
terpidana, di samping ketentuan pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim tidak
lebih dari 1 (satu) tahun untuk pidana penjara.
Masyarakat sebenarnya
membutuhkan lembaga mediasi penal, khususnya untuk delik-delik aduan, seperti
penghinaan, tindak pidana pencurian yang melibatkan anggota keluarga,
kasus-kasus yang unsur pidananya tidak jelas, dan kasus-kasus dengan nilai
kerugian yang ringan atau sedikit. Dalam kasus-kasus seperti ini apabila tetap
diproses dalam peradilan pidana justru akan lebih banyak nilai kerugiannya.
Pengalaman praktik mediasi penal oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena
tidak ada peraturan normatif yang mengaturnya, biasanya hal-hal yang menyangkut
kesepakatan para pelaku dan korban ada pada tingkat penyidikan dan penuntutan,
hakim hanya memberikan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang
dikemukakan dalam surat dakwaan yang salah satunya kesepakatan yang dicapai
melalui mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Temuan praktik mediasi
di tingkat Mahkamah Agung RI, bahwa mediasi penal di lingkungan Mahkamah Agung
telah dipraktikan dalam kasus tindak pidana yang pelakunya anak di bawah umur.
Pelaksanaan mediasi penal untuk pelaku anak di bawah umur ini didasarkan pada
Kesepakatan Antara Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan Para
Ketua Muda Mahkamah Agung dalam Rapat Pimpinan Mahkamah Agung RI di Novotel Hotel Bagor, 17 mei 2009 yang
membahas tentang temuan hukum serta Permasalahan-Permasalahan yang Timbul di
Mahkamah Agung dan Jajaran Peradilan di Bawahnya. Praktik mediasi penal untuk
pelaku anak di bawah umur telah diujicobakan di lingkungan Pengadilan Negeri
Jawa Barat.
Dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sebenarnya telah banyak dilakukan praktik mediasi penal
dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana meskipun tidak mengemuka, sehingga kasus
tersebut tidak sampai pada proses peradilan pidana. Praktik mediasi penal yang
dilakukan oleh masyarakat biasanya menggunakan tokoh masyarakat atau tokoh agama
sebagai mediatornya. Namun demikian meskipun telah diselesaikan secara mediasi
penal, tidak menghapuskan kewenangan penyidik untuk melakukan penyidikan jika
suatu saat diketahui oleh penyidik telah terjadi tindak pidana yang termasuk
katagori delik biasa yang telah didamaikan. Dengan demikian kedudukan akta
kesepakatan damai tetap lemah, karena masih dapat dilakukan penuntutan, namun
demikian keberadaan akta kesepakatan damai tersebut dapat dijadikan sebagai
salah satu pertimbangan untuk memperingan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Jadi
apabila diketahui oleh aparat penegak hukum proses peradilan pidana terhadap
pelaku tetap diadakan, sehingga tidak menghapuskan penuntutan.
B.
Konstruksi Politik Hukum Mediasi
Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Di Masa Mendatang
Kebijakan-kebijakan
untuk menetapkan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana
yang merupakan bagian dari proses peradilan pidana sangat dibutuhkan, sehingga
mediasi penal dapat menjadi sarana penyelesaian perkara pidana yang sah dan hasil
kesepakatannya bersifat mengikat terhadap para pihak, aparat penegak hukum, dan
masyarakat sehingga tindak pidana yang diselesaikan melalui mediasi penal
menghapuskan kewenangan untuk menuntut. Berlakunya mediasi penal sebagai alasan
hapusnya kewenangan melakukan penuntutan di masa mendatang adalah sejalan
dengan kebijakan konsep KUHP 2008 tentang gugur atau hapusnya kewenangan
menuntut tindak pidana, sebagaimana tertuang dalam Pasal 145 huruf d, e, dan f
yang menentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika : (d). Penyelesaian di
luar proses. (e). Maksimum pidana denda dibayar dengan suka rela bagi tindak
pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak katagori
II. (f). Maksimum pidana denda dibayar dengan suka rela bagi tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori III.
Sementara itu sebagai
alasan menghapus kewenangan menjalankan pidana bagi pelaku yang telah dijatuhi
putusan hakim berupa pidana penjara, mediasi penal dalam tahapan eksekusi ini
sejalan dengan Pasal 57 RUU KUHP tentang perubahan atau penyesuaian pidana,
yang dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan dan
penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
Adapun penentuan kebijakan-kebijakan
dalam konstruksi politik hukum mediasi penal yang harus diperhatikan oleh
pembuat undang-undang meliputi :
1)
Penentuan Kebijakan Formulasi Pengertian
Yuridis Mediasi Penal
Pengertian
yuridis mediasi penal hendaknya dirumuskan dengan tidak meninggalkan arti sebenarnya
dari mediasi penal sebagaimana pertama kali dicetuskan pada tanggal 15
September 1999, oleh Council Of Europe Committee Of Ministers dalam Recommendation
No. R (99) 19 Of The Committee Of Ministers To Member States Concerning Mediation
In Penal Matters sebagai dasar hukum penegakan mediasi penal di
negara-negara Eropa, sebagai berikut : “Penal mediation is any process
whereby the victim and the offender are enabled, if they freely consent, to
participate actively in the resolution of matters arising from the crime
through the help of an impartial third party (mediator)”.
2) Kebijakan
Penentuan Asas-Asas Mediasi Penal
Dalam
penyusunan politik hukum tentang mediasi penal, diperlukan formulasi tentang
asas-asas dan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam proses mediasi penal. Asas-asas
dalam mediasi penal yang perlu dirumuskan meliputi :
a)Asas
Bebas dan Suka rela
Bahwa
pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada kehendak bebas dan suka rela dari
korban dan pelaku tindak pidana, sehingga dalam memutuskan apakah perkara
pidananya akan dimediasikan atau pun tidak harus berdasarkan persetujuan bebas (freely
consent) dari para pihak.
b)
Kebebasan Para Pihak Untuk Menarik Diri
Selama Proses Mediasi
Selama
proses mediasi penal berlangsung, para pihak baik korban maupun pelaku
dibebaskan untuk menarik dirinya dari proses mediasi kapan saja.
c)Asas
Kerahasiaan (Confidential)
Proses
mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para pihak baik korban, pelaku
tindak pidana maupun mediator harus memegang kerahasiaan yang terjadi selama
proses mediasi, termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan para
pihak, alasan-alasan jika tidak tercapai kesepakatan maupun hal-hal lain yang
timbul saat proses mediasi penal berlangsung. Kecuali jika timbul hal-hal yang membahayakan
para pihak, seperti ancaman dan penyerangan fisik dari satu pihak kepada pihak
lain, maka hal tersebut dapat dilaporkan kepada penyidik Namun jika proses
mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator hanya boleh menyampaikan kepada
hakim bahwa mediasi tidak mencapai kesepakatan tanpa menguraikan
alasan-alasannya, begitu pula mediator tidak dapat bertindak sebagai saksi
terhadap pernyataan-pernyataan para pihak dalam proses peradilan .
Sementara
itu tujuan mediasi penal dapat dirumuskan sebagai berikut :
a)
Menyelesaikan konflik pidana dengan mengadakan
rekonsiliasi antar pelaku tindak pidana dan korban.
b)
Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepantingan
korban berupa restitusi dan ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
c)
Merekatkan kembali hubungan yang
terganggu antara pelaku dan korban karena adanya tindak pidana.
d)
Memperlancar proses rehabilitasi pelaku
dan pemulihan martabat korban.
3) Kebijakan
Penentuan Tindak Pidana Yang Dapat Dimediasi
Kebijakan
penentuan tindak-tindak pidana yang dapat dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria
sebagai berikut :
a)
Ancaman pidana yang rendah Tindak pidana yang
dapat dimediasikan hendaknya tindak pidana yang hanya diancam dengan ancaman
pidana denda atau ancaman pidana penjara paling lama satu (1) tahun dan tindak
pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun untuk tindak pidana
tertentu seperti Pasal 359 KUHP (kelalaian berakibat matinya orang lain) dan
Pasal 360 KUHP (kelalaian mengakibatkan orang lain luka berat).
b)
Tingkat kerugian yang ditimbulkan Tindak
pidana yang dapat dimediasikan haruslah tindak pidana yang menimbulkan kerugian
yang kecil saja, seperti dalam pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan ringan.
Contohnya : tindak pidana pencurian ringan, penganiayaan ringan, penipuan
ringan dan penggelapan ringan.
c)
Tindak pidana yang dilakukan karena
kelalaian dapat dimediasikan, hal ini menyangkut sikap batin pelaku tindak
pidana. Dalam kelalaian tindak pidana dan akibat yang terjadi bukan karena kehendak
pelaku, melainkan karena kekurangan penghati-hatian
d)
Tindak pidana yang merupakan delik aduan
baik absolut maupun relatif. Tindak pidana aduan dapat
dimediasikan karena penuntutannya didasarkan pada ada atau tidak adanya
pengaduan, dan adanya kesempatan bagi korban atau pengadu untuk mencabut
pengaduannya sehingga proses tidak sampai berlanjut pada peradilan pidana.
Contoh : delik zina, penghinaan dan lain-lain.
e)
Tindak Pidana Yang Melibatkan Anggota
Keluarga Sebagai Pelaku/Korban Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi
penal yaitu mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat kembali hubungan
antara pelaku tindak pidana dan korban. Dengan demikian apabila terjadi tindak
pidana yang melibatkan anggota keluarga maka dimungkinkan untuk dilakukan
proses mediasi penal.
f)
Tindak Pidana Di Mana Pelakunya Anak di
Bawah Umur Terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana terdapat
ketentuan khusus, sehingga proses peradilan pidana yang dijalaninya tidak
menimbulkan trauma berkepanjangan yang akan mengganggu perkembangan psikisnya,
sehingga dibuka kemungkinan besar untuk penyelesaian dengan jalan proses
mediasi penal.
4)
Penentuan Kebijakan Pelaksanaan Mediasi Penal
Sebagai Bagian Dari Proses Peradilan Pidana
Mediasi penal dapat dilakukan dengan dua cara
atau bentuk yaitu :
a)
Mediasi penal di luar proses peradilan
pidana (out of criminal justice process) Di sini diperlukan landasan
hukum berupa kebijakan atau aturan hukum yang menetapkan tentang :
1)
Tindak pidana yang dapat dimediasikan di
luar proses peradilan pidana.
2)
Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak pelaku
dan korban di luar pengadilan untuk
tindak-tindak pidana tertentu diakui keabsahannya jika dilakukan secara suka
rela.
3)
Mediasi penal difasilitasi oleh mediator
yang telah bersertifikasi .
4)
Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang
dicapai oleh pihak pelaku dan korban, sebagai keputusan yang sah dan final
sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu dikuatkan melalui penetapan
pengadilan cukup apabila disahkan dengan materai dan tanda tangan semua pihak.
Hal ini mengingat bahwa pelaksanaan mediasi penal adalah bersifat suka rela.
5)
Hasil kesepakatan yang dicapai dalam
mediasi penal sebagai alasan hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah
dimediasikan.
b) Penal
Sebagai Bagian Proses Peradilan
Pidana (Within
Criminal Justice Process) Mediasi pada tahap penyidikan ini merupakan
kombinasi model mediasi informal mediation, victim-offender mediation dan
reparation negotiation programmes. Pada tahap ini dapat ditetapkan cara
kerja mediasi penal sebagai berikut :
1)
Setelah melihat dan mempelajari kasus
atau tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan kriteria-kriteria tertentu
( diuraikan dalam bahasa tindak pidana yang dapat dimediasikan), maka pihak
penyidik memanggil pelaku dan korban untuk menawarkan alternative penyelesaian
perkara pidananya di luar proses peradilan.
2)
Mediasi penal harus dilakukan secara
suka rela dari semua pihak yang terlibat, oleh karena itu jika ada pernyataan
baik dari pelaku maupun korban untuk melakukan mediasi penal, selanjutnya pihak
penyidik menyerahkan perkara tersebut kepada korban dengan menginformasikan
jasa mediator penal yang akan membantu menyelesaikan perkaranya.
3)
Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan
prinsip confidentiality. Segala yang
terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama proses mediasi termasuk
mediator. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses peradilan pidana atas
segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi dan sebabsebab mediasi tidak
mencapai kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.
4)
Pada kesempatan mediasi inilah pelaku
dan korban dipertemukan untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Pihak
korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku sebesar kerugian
yang dideritanya dan menuntut pemulihan martabatnya, dengan difasilitasi oleh
mediator.
5)
Mediator harus mempunyai sertifikasi dan
terlatih serta diakui oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh karena itu
mediator tidak bersifat perorangan melainkan suatu badan atau lembaga yang
secara khusus menjalankan tugas mediasi.
6)
Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan,
maka mediator memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai kesepakatan
melalui mediasi dengan pembayaran ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
7)
Hasil kesepakatan mediasi penal
merupakan putusan final, sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan.
8)
Dengan adanya hasil kesepakatan maka
penyidik menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP kepada
penuntut. Dalam pelaksanaan mediasi penal di tahap penuntutan ini dilakukan
sekaligus negosiasi ganti kerugian antara pelaku dan korban. Mediasi penal pada
tahap penuntutan ini merupakan kombinasi antara bentuk Victim- Offender
Mediation dan Reparation Negotiation Programme.
Adapun
pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan dapat digambarkan sebagai
berikut :
1)
Jaksa penuntut umum dengan mempelajari
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu, dapat menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak pidana.
2)
Mediasi dilakukan berdasarkan
persetujuan secara suka rela dari pelaku dan korban tindak pidana. Jika kedua
pihak menyetujui untuk dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi
diberikan kepada jaksa penuntut umum.
3)
Jaksa penuntut umum dapat berposisi
sebagai mediator maupun dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang
bersertifikasi.
4)
Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak pidana.
5)
Pelaksanaan proses mediasi dilakukan
secara rahasia, dalam arti semua peristiwa yang terjadi dan
pernyataanpernyataan yang muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh
semua pihak yang terlibat.
6)
Dalam mediasi penal ini diadakan
rekonsiliasi dan pembayaran ganti kerugian kepada korban.
7)
Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan,
maka perkara pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang
pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak pidanannya. Dalam hal
ini mediator tidak dapat bersaksi atas tidak tercapainya kesepakatan mediasi maupun
atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi.
8)
Jika mediasi mencapai kesepakatan damai
yang diterima oleh semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai putusan
yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat berfungsi
sebagai alasan penghapus penuntutan.
Mediasi ini jika
mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat digunakan sebagai alasan untuk
menghapuskan menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap
ini bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan yang telah
mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah gabungan dari model Victim-Offender
Mediation dan Reparation Negotiation Programmes.
Adapun
pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai berikut :
1)
Hakim setelah mempelajari kasus dan
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal
sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para pihak.
2)
Jika para pihak menyetujui, maka
diadakan persetujuan secara suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara
dengan cara mediasi baik oleh pelaku maupun oleh korban.
3)
Hakim dapat bertindak sebagai mediator
ataupun dengan mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan
bersertifikasi.
4)
Mediasi mempertemukan pihak pelaku dan
korban, pada kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku,
serta dilakukan pembayaranganti kerugian yang diderita korban.
5)
Mediasi penal dilakukan berdasarkan
prinsip rahasia, sehingga segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan
yang muncul dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak termasuk
mediator.
6)
Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan
maka proses pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana
mestinya.
7)
Jika tercapai kesepakatan di mana para
pihak saling menerima hasil kesepakatan (rekonsiliasi)
dan disepakati pembayaran ganti kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil
kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi berkekuatan tetap
sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final, sehingga pelaku tidak dapat
dituntut dan diadili kembali dalam proses peradilan pidana.
Mediasi yang dilakukan
pada tahap pelaku sedang menjalani pidananya khususnya pidana penjara,
berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian
pidana jika pelaku telah menjalankan sebagian pidananya.
Adapun pelaksanaan pada
tahapan eksekusi adalah sebagai berikut :
1)
Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku
dapat menawarkan kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna meringankan
pidananya.
2)
Jika korban menyetujui permintaan mediasi
dari pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa
penuntut umum sebagai eksekutor.
3)
Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari
kemungkinan disetujuinya mediasi penal.
4)
Jika telah disepakati persetujuan mediasi
maka mediasi dapat dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun
mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi.
5)
Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan (confindentiality) sehingga segala
peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam mediasi bersifat rahasia.
6)
Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk
berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan
tersebut berfungsi sebagai alasan utuk menghapuskan kewenangan menjalankan
pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan.
7)
Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran
ganti kerugian kepada korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang bersifat
final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang
belum dijalaninya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mediasi penal telah dipraktikan
baik oleh anggota masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu, maupun
oleh aparat penegak hukum dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu pula.
Namun demikian praktik mediasi penal di sini tidak menghapuskan kewenangan penuntutan
maupun menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana.
Konstruksi politik
hukum mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di masa mendatang
adalah bangunan pengaturan tentang pelaksanaan mediasi penal yang terdiri atas kebijakan
formulasi dan kebijakan pelaksanaan mediasi penal. Adapun kebijakan pelaksanaan
(applicative policy) mediasi penal meliputi mediasi penal di luar proses
peradilan pidana (Penal mediation out of Criminal Justice Process)
dan mediasi penal di dalam proses peradilan pidana (Penal Mediation Within
Criminal Justice System) yang meliputi mediasi pada tahap penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di muka pengadilan dan saat terpidana menjalankan pidananya.
B.
Saran
Mengingat
praktik-praktik mediasi penal yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat
dalam menyelesaikan perkara pidana guna menghindari kesulitan-kesulitan yang
terjadi dalam proses peradilan pidana yang panjang, menunjukkan kebutuhan
masyarakat untuk adanya alternatifalternatif
dalam menyelesaikan perkara pidana yang dialaminya, maka untuk melembagakan praktik mediasi penal
sebagai lembaga penyelesaian perkara pidana yang legal dengan memberikan payung
hukum dalam bentuk perundang-undangan guna menentukan kekuatan hukum hasil
kesepakatan dalam mediasi penal sebagai alasan hapusnya kewenangan menuntut
pidana atau sebagai alasan hapusnya kewenangan menjalankan pidana bagi pelaku.
Mediasi penal sebagai terobosan dalam penyelesaian perkara pidana hendaknya dilembagakan
dan diberi peraturan sebagai payung hukum pelaksanannya, sebagai salah satu
cara untuk mengurangi penumpukan perkara pidana di lembaga pengadilan,
mengurangi permainan kotor dalam proses peradilan, serta mengurangi beban
administrasi pengadilan.
Hulsman ; Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sistem Peradilan Pidana: dalam sistem perbandingan hukum, Jakarta,
Rajawali, hlm. 46
Stefanie
Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender
Mediation - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on
Examples of the Mediation Process in Germany and France,
http://www.iuscrim.mpg.de/ orsch/krim/traenkle_e.html
Aditama Soedarto,
1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni hlm 36
Atmasasmita, Romli, 2008,
”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia,” Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi – Jaksa: Menuju
Integrasi, di Auditorium Bumi Putera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univ. Indonesia, Depok, 17 April 2008
Barda Nawawi
Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi
Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan
Program Doktoral.
www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana ,Tahun 2009.